Oleh: Jurnalis Sarungan*
DALAM suatu perjalanan darat, serombongan rakyat menjumpai banyak poster, spanduk, dan baliho para caleg bertebaran di sepanjang jalur Sukabumi – Bogor, Jawa Barat. Biasanya, para calon legislatif mengkampanyekan dirinya sebagai sosok merakyat. Misalnya dengan jargon “Peduli dan bekerja menolong sesama”, “Wujudkan Indonesia Baru Bersama Partai Baru”, atau dengan foto pemberian bantuan di daerah korban bencana.
Namun, Kamis, 5 Rabiul Awal 1435 H (6/2/2014) siang itu, rombongan tadi mendapati poster tak biasa. Yaitu gambar seorang caleg sedang bergaya di samping sebuah mobil yang tampak ‘cling’. Mirip-mirip model iklan otomotif.
Aneh, begitu sekilas dalam benak rombongan tadi. Tak ayal, berbagai prasangka dan pertanyaan pun berseliweran; “Maksudnya apa mejeng di depan mobil?” Atau “Gaya banget kampanye dengan mobil?”, dan lain-lain.
Seorang dari mereka yang dituakan, Ustadz Lalu Mabrur, nyeletuk. “Jangan su’udzon dulu!” ujarnya mengingatkan rekan-rekannya untuk tidak segera berprasangka buruk. Menurutnya, lebih baik mendahulukan husnuzhon, prasangka baik, sebelum berprasangka buruk. Sebab, bisa saja ada hal baik yang belum diketahui di balik “keanehan” gambar caleg tersebut.
“Saya tuh lebih mudah ber-husnuzhon. (Caranya,) cari dulu 10 pertanyaan untuk dijawab sebelum ber-su’udzon, misalnya caleg tadi, siapa tahu dia pengusaha mobil,” ujarnya.
Para penumpang mobil pun manggut-manggut. Suheri yang bertindak sebagai sopir menimpali nasihat ustadz. Dia mencontohkan salah satu “pertanyaan” husnuzhon atas caleg yang dimaksud.
“Siapa tahu, mungkin dia ingin membuktikan pada rakyat, kalau dia terpilih tidak akan korupsi karena dia sudah kaya (punya mobil),” ujar Suheri.
“Mungkin dia ingin mengubah semua angkot jadi seperti mobilnya,” timpal yang lain.
“Mungkin dia ingin memakmurkan pengusaha cuci mobil,” mereka saling melontarkan husnuzhon masing-masing.
Tak berselang lama, dalam perjalanan agak macet itu, seorang lainnya memperhatikan baik-baik tulisan pada poster sang buah bibir yang memang banyak tersebar. Lantas dia mengungkap, ternyata caleg tersebut adalah seorang tokoh permobilan.
“Ir. H. Dasep Ahmadi. Tokoh Mobil Listrik Nasional. Putera Daerah Sukabumi yang Berprestasi,” demikian bunyi tulisan pada poster sebesar koran itu. Dua kalimat terakhir berukuran kecil, wajar jika sekilas terlihat kurang jelas.
Mengetahui itu, rombongan tadi langsung ber-“ooooooh” ria. Pantas saja, rupanya sang caleg tengah mengkampanyekannya mobil listrik temuannya. Listrik memang sumber energi alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM) –yang dikhawatirkan semakin langka. Kampanye positif tentunya.
Masih dalam perjalanan pulang menuju Jakarta itu, sang ustadz kembali menyampaikan nasihat akan pentingnya mendahulukan prasangka baik ketimbang prasangka buruk. Tahu-tahu seseorang nyeletuk.
“Tapi kalau saya selama di Jakarta dan sekitarnya, agak susah berprasangka baik. Biasanya kalau ketemu orang baru kenal, saya berprasangka buruk dulu,” ujar Masyhid, pria tersebut.
Masyhid memang pernah tertipu, barang-barang berharganya ludes dibawa dua orang pemuda. Peristiwa di kawasan Jakarta Selatan itu terjadi karena dia terlalu percaya dengan mereka. Maka kini Masyhid punya prinsip, berprasangka baik harus diiringi kewaspadaan berpikir.
Celetukan Masyhid ditanggapi sang ustadz. Lelaki asal Lombok, NTB ini lantas menceritakan sebuah peristiwa penipuan yang menimpa yayasan tempatnya mengasuh. Ceritanya, ada seseorang yang mengaku bernama H Ridwan datang ke kantor yayasan, hendak menyumbang sepeda motor dan makanan. Dengan penampilan, tutur kata, dan janji-janji yang disampaikan Ridwan, Ustadz Mabrur dan pengurus yayasan lainnya tak berprasangka buruk dengan calon penyumbang itu.
Singkat cerita, ternyata sumbangan yang dijanjikan hanya tipuan. Bukannya mendapat sepeda motor dan makanan, yayasan itu malah kehilangan duit berjuta-juta rupiah yang dibawa lari Ridwan. Kasus ini pernah dimuat Hidayatullah.com dalam artikel “Panti Anak Yatim Ditipu Pria Mirip Pelatih Timnas U-23” (9/12/2013).
Prasangka dan Logika
Hikmah dari potongan cerita-cerita di atas, bahwa berbagai prasangka patut ditempatkan pada situasi yang tepat. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa….” (Al-Hujurat [49]:12).
Menilik ayat ini, bisa dipahami, sebagian sikap prasangka adalah dosa, dan sebagian prasangka lain tidak berdosa. Jika menemui seseorang atau sesuatu yang belum dikenal dan diketahui secara jelas, prasangka baik tentu harus dikedepankan. Sekaligus, logika berpikir tetap berjalan.
Begitu pula saat menemui para caleg dan peserta Pemilu 2014 dalam berbagai kampanye, yang kebanyakan mereka belum dikenal rakyat Indonesia. Sebagai Muslim yang mengaku beriman kepada Allah, kita berprasangka baik saja, bahwa kelak para caleg pemilu tahun ini menepati janji-janji yang mereka usung.
Meski, jika belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya, rakyat kerap tertipu oleh janji-janji kampanye. Tertipu oleh penampilan dan gambar-gambar. Tertipu oleh “zhon”, oleh prasangka politik rakyat itu sendiri. Semoga tak lagi terjadi!*
Penulis adalah wartawan dan santri Hidayatullah, pemilik situs www.eskaer.com