Hidayatullah.com–Vonis dokter yang menimpa bayiku yang baru berusia seminggu itu bak belati yang menyayat hati. Perih rasanya. Seketika kebahagiaan sebagai pasangan suami istri yang baru saja diberi momongan terusik.
“Anak ibu terserang tumor mata,” ucap dokter.
Peristiwa itu bermula, ketika suatu hari kami dapati ada keanehan di kedua mata putra kami. Nampak ada titik putih di bagian retinanya. Tak ingin terjadi hal buruk, diperiksakanlah ke berbagai tempat, mulai dari puskesmas hingga rumah sakit.
Mulanya deagnosa dokter berbeda-beda, hingga dilakukan rontgen khusus mata. Jatuhlah vonis getir itu. belumlah reda kekagetan, dokter merekomendasikan operasi pengangkatan salah satu mata, agar tumor tidak mengalami pertumbuhan.
Terang sebuah alternatif yang sangat berat untuk diterima. Oleh karena itu, setelah bermusyawarah, keluarga sepakat untuk tidak menindaklanjuti rekomendasi dokter. Pertimbagannya, langkah itu sama sekali tidak memberi pengarus terhadap penglihatan sang anak.
Setahun berselang. Secara kasat mata, nampak tidak ada perkembangan berarti pada tumor bayi kami. Kamipun kembali ke rumah sakit untuk memeriksakan. Sungguh di luar dugaan, kali ini dokter berbicara lebih garang, mengenai langkah operasi.
“Mau pilih mata atau pilih nyawa?!” sengatnya.
“Ini kalau tidak dilakukan tindakan operasi,” sambungnya dengan nada masih meninggi. “Tumor akan membesar dan membahayakan nyawa.”
Mendapat teguran keras demikian, aku akhirnya berubah pikiran. Adapun suami masih bergeming dengan sikap semula. Tapi ia mengalah. Jadwal operasipun ditentukan. Tapi di sela-sela penantian, kami aktif berkonsultasi ke berbagai dokter/praktisi kesehatan, mengenai efektifitas operasi dengan kesehatan bayi.
Pada akhirnya, tepat sehari sebelum eksekusi, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan operasi. Meski demikian, kekhawatiran akan semakin memburuk kesehatan bayi kami belum sirna. Sebagai ikhtiar penyembuhan pengobatan alternatif menjadi pilihan.
Di luar itu, secara pribadi, aku senantiasa bermunajat kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam setiap sujud, agar Dia mencukupkan bayi kami kebutaannya bila itu telah menjadi ketettapan-Nya. Tidak ditambah dengan rasa sakit tumor. Kami ikhlas.
Allah Maha Pengijabah doa, mengabulkan permintaan hamba-Nya ini. Tahun demi tahun berlalu, tidak ada perkembangan tumor di mata si buah hati. Kecuali kebutaan kedua mata, kesehatan organ tubuh lainnya normal-normal saja.
Menginjak tahun ke lima, aku dikarunia anak kedua. Alhamdulillah normal. Tidak berkurang sesuatu apapun dalam hal fisik. Tapi jujur, sebelumnya aku dan suami telah menyiapkan mental. Apapun takdir Allah Subhanahu Wata’ala terkait dengan kondisi bayi, akan ridha dan ikhlas menerimanya. Karena bagiku, takdir Allah adalah yang terbaik bagi setiap hamba-Nya.
Lima tahun berikutnya, anak ketiga lahir. Takdir Allah pula yang menentukan, kondisinya persis dengan si sulung; buta. Demikian pula dengan anak yang keempat, lahir setahun setelahnya. Jadilah tiga dari empat putra kami mengidap tunanetra.
Modal Pertahanan
Harus diakui memiliki tiga anak tunanetra bukan perkara mudah untuk mengarahkan/membimbing mereka. Harus awas. Ini belum menyangkut perkataan miring dari pihak luar. Tapi secara pribadi aku tidak pernah menyoal. Bagaimana pun kondisi bagiku mereka adalah anugerah terbaik dari sisi Allah. Hanya sebatas pandangan manusia mengalami kekurangan.
Sepirit inilah yang membuatku dan suami kuat/ikhlas menjalani semua ujian ini. yakin, bahwa Allah hanya memandang ketakwaan seseorang, bukan fisik.Tak pernah aku berkeluh-kesah dalam menyikapi kekurangan fisik anak-anak. Mereka tetaplah special dan anugerah terindah yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala kepada kami.
Kami menyimpulkan demikian, karena bukan mustahil, dengan diberi pengelihatan, anak-anak bisa terjerumus ke pergaulan bebas seperti saat ini yang begitu masif. Na’udzubillah min dzalik. Tapi dengan kondisi seperti ini, Insya Allah mereka terjauhkan. Ini hikmah yang kami ambil.
Kunci lainnya agar untuk menghadapi ujian ini, aku dan suami tak pernah mengubris penilaian negatif orang lain terhadap anak-anak. Bagi kami itu semua tidak penting. Lebih baik fokus mendidik mereka sebaik mungkin, atau menyeriusi bisnis pakaian yang tengah dijalankan.
Dua Bekal
Sebagai orangtua, aku dan suami memahami betul akan tantangan ketiga anak kami di masa mendatang. Lambat laun, mereka akan menyadari bahwa mereka terlahir secara special. Tidak sama dengan anak-anak pada umumnya. Selain itu, seiring dengan bertambahnya usia, tidak mungkin selalu menggantungkan keperluan kepada orangtua.
Suatu saat mereka pasti akan hidup sendiri. Entah disebabkan kami sebagai orangtua meninggal terlebih dahulu. Atau lain sebagainya. Tapi itu pasti menjadi keniscayaan yang tak bisa dielakkan.
Sebagai ‘sangu’ untuk menghadapi hari itu, aku dan suami senantiasa membekali mereka sedini mungkin. Nilai-nilai agama menjadi modal utama. Wa bil khusus pelajaran ikhlas untuk menerima takdir Allah. Agar mereka ridho dengan segala ketetapan-Nya.
Kami jelaskan, bahwa semua manusia itu diciptakan Allah beserta dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada yang tidak punya tangan, kaki, bahkan tidak bisa bergerak sama sekali disebabkan lumpuh total.
Syukur Alhamdulillah, Allah beri kemudahan kepada anak-anak untuk menerima pesan yang disampaikan. Mereka tumbuh sebagai pribadi tidak mudah tersinggung. Sebagai contoh, M Sattar al-Mubarrak, putra ketiga. Ia pernah dibilang mirip hantu oleh kawan-kawannya di sekolah.
Dengan santai Sattar menimpali “Biar aja. Wong Allah telah menakdirkan begini. Disyukuri aja apa adanya. Yang penting masih manusia.”
Baca: Kisah Muslimah Tunadaksa, Demi Jadi Guru “Gadaikan” Ijazah kepada Allah
Selain itu, kami juga membiasakan anak-anak beribadah, seperti; sholat, mengaji (al-Qur’an Braille), hingga setoran hafalan al-Qur’an. Untuk membaca, aku sendiri telah belajar membaca huruf Braille. Sehingga ketika di rumah mampu membimbing anak-anak.
Adapun dalam upaya membangun kemandirian, kami melatih anak-anak melakukan aktivitas secara mandiri. Misal mandi. Langkah lainnya, agar memiliki kemampuan bersosialisai baik di masyarakat, membiarkan anak-anak berinteraksi dengan warga. Bahkan, belajar pun di masukkan di sekolah umum, bersama anak-anak normal lainnya.
Terlepas dari segala ikhtiar, hal terpenting dalam pembangunan mental anak, orangtua yang terlebih dahulu kudu bermental baja. Kalau orangtua lemah mentalnya, maka anak akan lebih rapuh. Umpama, mau mendaftarkan ke sekolah, malu. Mau membiarkan bergaul di masyarakat malu. Apa-apa malu.
Alhamdulillah pada perkembangannya, dengan pola pengasuhan demikian, ketiga anak anak kami yang tunanetra bisa dbilang cukup lues dalam bergaul. Tidak minder. Tidak mudah tersinggung dengan ejekan kawan. Bahkan si kecil, Ghilman Nizar Ali (4), mampu membawa sepeda angin ke beberapa tempat yang telah ia kuasai medannya.
Soal prestasi, kami juga bersyukur.Ketiganya sudah hafal beberapa juz al-Qur’an. Terkhusus untuk si sulung, Nabiel, selain telah hafal 10 juz al-Qur’an secara acak, ia juga telah menerbitkan sebuah novel berjudul ‘Nafas Sang pekat’ yang berisi kisah perjalanannya.
Sudah beberapa kali melakukan bedah buku. Setiap kali tampil, ada saja peserta yang terharu dengan prestasi yang diraihnya dengan melihat latar belakang sebagai anak tunanetra. Mudah-mudahan semuanya menjadi anak sholih yang diridhai oleh Allah kehidupannya, di dunia dan akhirat. amiin.*/Sebagaimana yang dikisahkan Muslimah, Ibu asal Bojonegoro kepada hidayatullah.com. (Robinsah)