Sambungan dari kisah pertama
ALHAMDULILLAH! Saya sungguh bersyukur, Allah masih menyayangiku. Sehingga diri ini mampu lepas dari kubangan kemaksiatan itu. Kesyukuran itu bermula dari kegalauanku menjelang kelulusan SMA.
Entah mengapa, batinku merintih dengan kondisi yang kuhadapi. “Ke mana saya akan melanjutkan selepas lulus?
Haruskah saya terus menjalani hidup seperti ini?
Apa jadinya nanti ke depan bila saya tidak berubah?”
Pertanyaan-pertanyaan ini terus berjubel di benakku. Hingga akhirnya kuputuskan untuk menghungi pamanku yang lain, di pulau Jawa. Kutahu dia seorang pengajar di sebuah pesantren di Jawa Timur.
Saya pun menghubunginya dan kuutarakan keinginanku untuk mengikutinya, yaitu melanjutkan kuliah yang gratis.
Tak banyak bicara, paman justru menantang balik diriku.
“Kalau kamu serius mau ikut paman, belajar mengaji. Kamu harus bisa mengaji. Silakan cari guru. Kalau kamu malu untuk melakukan itu semua, karena kamu sudah dewasa, berarti kamu bohong ingin bersungguh-sungguh ikut paman,” tegasnya.
Apa yang disampaikan paman akhirnya menjadi renunganku. Kubulatkanlah tekad mencari guru mengaji. Alhamdulillah, ketemu guru yang siap mengajari secara pribadi, tidak bercampur dengan murid-murid lainnya yang rata-rata masih usia SD.
Selain sabar menuntunku mengaji, sang guru juga sesekali menyampaikan nasihatnya padaku. Mulai dari pentingnya mengaji bagi seorang Muslim, penegakan shalat, dan sebagainya. Beliau memang alumni sebuah pesantren.
Atas izin Allah, nasihat-nasihat itu masuk ke relung hatiku. Meski belum totalitas, tapi shalat sudah mulai saya kerjakan.
Titik Balik
Selepas Idhul Fitri lalu, akhirnya bersama paman saya berangkat ke Jawa. Singkat cerita, ketika sampai di pesantren yang dituju, ternyata ujian penerimaan mahasiswa baru masih satu bulan lagi. Itu artinya, saya harus menanti sampai dibukanya ujian masuk.
Selama menunggu ujian, paman mengusulkan saya untuk sementara memondok di sebuah pesantren penghafal al-Qur’an kenalannya, yang juga gratis.
Saya pun langsung mengiyakan. Nah, semenjak menginjakkan kaki di pesantren tahfizh inilah, saya benar-benar memulai kehidupan baru. Al-Qur’an yang kupelajari dan kuhafal, seakan membimbingku untuk menanggalkan segala jenis keburukan yang pernah kulakukan sebelumnya.
Nasihat-nasihat para ustadz, pun petuah paman, menjadi penopang agar saya terus berdiri kuat dan istiqomah dalam kebaikan.
Hingga timbullah harapan besar bagiku ingin menjadi penghafal al-Qur’an (hafizh). Saya teriming-imingi oleh hadits-hadits Nabi yang disampaikan oleh para ustadz.
Salah satu inti hadits itu bahwa seorang hafizh kelak di akhirat akan memberikan mahkota di kepala kedua orangtuanya.
Termotivasi dari hadits itu, akhirnya saya mengambil keputusan untuk tetap tinggal terlebih dahulu di pesantren tahfizh, dan mengenyampingkan obsesiku untuk kuliah.
Saat ini, Alhamdulillah, setelah belajar teknik membaca dengan benar (tajwid), saya telah beranjak ke jenjang hafalan al-Qur’an.
Saya selalu berdoa, “Ya Allah, ampunilah segala kesalahanku dan kedua orangtuaku, dan permudahkanlah hajatku untuk menghafal (serta mengamalkan) ayat-ayat suci-Mu. Aamiin!”*/ Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Abdullah (nama samaran) kepada Khairul Hibri, hidayatullah.com