Hidayatullah.com | SEHARI menjelang keberangkatan haji, ibuku mendadak sakit dan harus dirawat di ICU. Kisah ini sepenggal pengalaman yang membuatku semakin percaya bahwa Allah SWT benar-benar akan mengabulkan doa-doa setiap hamba-Nya. Apalagi jika doa itu dilakukan dengan bersujud dan memohon di sepertiga malam.
Aku terlonjak gembira ketika itu. Sekitar pertengahan tahun 2008, pemberitahuan itu tiba. Yakni aku dan ibuku masuk dalam daftar jamaah haji Kota Manado untuk jadwal keberangkatan tahun 2009.
Hatiku betul-betul bahagia, setelah terakhir mengunjungi Makkah untuk umrah pada tahun 2004 silam. Akhirnya aku akan bisa kembali lagi ke sana untuk menyempurnakan keislamanku, berhaji.
Kebahagian semakin terasa sempurna karena aku akan berangkat bersama ibuku tercinta. Artinya, kerinduanku yang merebak-rebak dalam hati pada Tanah Suci dan cita-citaku serta saudara-saudariku untuk memberangkatkan haji ibu akan segera terpenuhi.
Ketika itu aku langsung menghubungi ibu dan saudara-saudariku yang berdomisili di Kota Balikpapan. Mendengar berita tersebut, mereka juga terlonjak gembira.
Aku dan saudara-saudaraku sepakat berpatungan untuk memberangkatkan haji ibu ke Baitullah. Rencana sebelumnya, beliau akan diberangkatkan lewat Balikpapan sesuai dengan domisilinya. Namun karena kuota haji di kota itu terlalu penuh, kami memutuskan untuk mendaftarkan ibu lewat Manado, tempat aku tinggal.
Akhirnya aku dan ibuku mendaftarkan diri lewat kota yang mayoritas non-Muslim ini. Artinya, aku harus mengurus berkas-berkas perpindahan ibuku dari Balikpapan ke Manado.
Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar hingga pemberitahuan itu tiba. Berarti ibuku harus segera ke Manado untuk mengikuti persiapan dan prosedur yang ada.
Nyaris Tidak Berangkat
Keadaan fisik ibuku yang gigih itu sudah sangat rentan. Umurnya pun hampir berkepala delapan. Namun semangat dan keseriusannya dalam mempersiapkan diri betul-betul maksimal.
Hampir seluruh rangkaian manasik haji diikuti. Seluruh arahan pembimbing dilakukan. Seluruh masukan didengarkan.
Hal ini membuatku sangat bangga. Ibuku tercinta di usia senjanya benar-benar ingin menyempurnakan keislamannya.
Aku selalu memperhatikan kondisi kesehatan ibu. Melihat hasil tes kesehatan dari dokter, ibu diharuskan untuk menjaga stamina dan ketahanan tubuhnya agar selalu fit dan sehat.
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggupun akan segera tiba. Tepatnya sehari sebelum keberangkatan. Seluruh barang bawaan telah terbungkus rapi dalam koper dan ransel. Tak lupa juga paspor dan berkas-berkas lainnya telah siap.
Hatiku betul-betul bahagia saat itu karena sebentar lagi aku akan kembali bertemu dengan Rumah Allah. Aku rindu mencium Hajar Aswad, aku rindu berwudhu dengan air zam-zam, dan aku rindu semua yang ada di Kota Suci.
Namun malam terakhir sebelum keberangkatan, hal yang paling aku takuti terjadi. Ibu pingsan tak sadarkan diri dan harus dibawa ke rumah Sakit. Ya Allah, ya Rabb.
Malam itu tepat pukul 01.00 dini hari. Saya dan keluargaku mengantarkan ibu ke rumah sakit dengan hati bergetar. Hilang sudah kegembiraanku.
Aku segera menghubungi seluruh saudara-saudariku di Balikpapan. Malam itu juga beberapa dari mereka segera menuju ke Manado. Sementara keadaan ibu semakin kritis, dokter memutuskan untuk memasukkan ibu ke dalam ruangan ICU.
Malam itu aku menangis sejadi-jadinya hingga pukul 03.00. Aku bingung entah apa yang harus kulakukan. Aku hampir putus asa. Kalau ibu tidak bisa berangkat, terpaksa ia akan digantikan oleh istriku.
Tiba-tiba saat itu aku beristighfar. Ya Allah, aku melupakan-Mu. Aku punya Tuhan. Aku punya Allah yang bisa membantu semua masalahku.
Aku segera menuju mushala rumah sakit itu, mengambil air wudhu, dan shalat tahajud. Dalam sujud terakhirku aku meminta:
“Ya Allah, jika memang ibuku tidak bisa berangkat menuju rumah-Mu saat ini, maka berikanlah ia kesempatan di lain waktu untuk berkunjung ke tempat suci-Mu. Tapi jika engkau berkehendak dan meridhainya, maka tolong sembuhkanlah ia dan berikanlah kekuatan untuk berangkat menuju rumah-Mu.”
Aku terus bersimpuh dan bermunajat kepada-Nya hingga waktu Shubuh tiba. Aku pasrahkan semuanya kepada Allah SWT.
Setelah shalat Shubuh, ponselku berdering. Saudaraku menelpon bahwa ibu telah siuman.
Aku langsung bersujud syukur. Terimakasih ya Allah.
Aku segera berlari menuju ruangan tempat ibu dirawat. Tampaklah ibu yang, subhanallah, betul-betul terlihat sehat. Dokter pun menyatakan bahwa ibu dibolehkan untuk berangkat haji.
Keesokan harinya, aku dan ibuku diantar keluargaku menuju bandara. Hatiku terus berdzikir kepada-Nya, hingga kami tiba di kota Makkah.
Segala puji dan syukur tak henti-hentinya kuucapkan. Hanya Allah yang memberikan kebesaran-Nya kepadaku dan ibuku. Akhirnya, cita-citaku dan saudara-saudariku tercapai.
Dan ternyata, khasiat tahajud belum selesai. Ketika sa’i dari Shafa ke Marwa, pada putaran pertama ibu harus aku pandu dengan kursi roda. Namun ketika putaran kedua, sungguh ajaib, ibu bisa berjalan sendiri hingga selesai sa’i.
Subhanallah walhamdulillah Allahuakbar. Mahabesar Allah dengan segala rencana-Nya.* Seperti yang ditutur oleh Abu Wahid kepada Suara Hidayatullah