HOBIKU bercocok tanam. Hal ini juga yang kemudian mengilhamiku untuk mengambil jurusan serupa; pertanian, ketika menginjak jenjang kuliah.
Perpaduan antara hobi dan ilmu yang kudapat di bangku kuliah ini, menjadi batu loncatan meroketnya karir di dunia pertanian. Tidak hanya sebagai praktisi, namun juga sebagai konsultan pertanian yang diundang ke beberapa tempat untuk mengisi penyuluhan.
Puncaknya, ketika suatu saat datang kesempatan untuk bertandang ke Negeri Sakura, Jepang, guna magang di sana beberapa bulan, yang diinisiatori oleh salah satu lembaga negara.
Tak tergambar riang hati mendapat tawaran itu. Bersama beberapa anak negeri lainnya yang berasal dari berbagai daerah, akhirnya terbang ke negeri yang juga dikenal dengan teknologi otomotifnya ini.
Di sana, aku dibina langsung oleh seorang insinyur pertanian. Di rumahnya pula aku bertempat tinggal. Kekagumanku terhadap perkembangan pertanian di Jepang luar biasa. Penghasilan yang diperoleh oleh para petani di sana melimpah ruah dengan sistem pengolahan dan teknologi yang digunakan.
Singkat cerita, selama delapan bulan belajar di sana banyak hal yang kudapat, terkait dengan mengembangkan pertanian secara profesional. Hal ini pula yang selanjutnya memunculkan ide di benak untuk mengembangkannya di tanah air, sepulang dari tugas belajar.
Maka tidak tanggung-tanggung, sekembalinya ke tanah air, mega proyek pertanian langsung kurencanakan. Beberapa instansi pemerintah dan swasta juga bersedia kuajak bekerja sama.
Planning yang direncanakan; menanam pohon-pohon berproduksi tinggi, semisal kapuk randu, rambutan, mangga dan sebagainya di sepanjang jalan utama desa.
Setelah ke sana ke mari mencari bibit, akhirnya terkumpul sebanyak 15 ribu macam bibit pohon telah siap ditanam. Hitung-hitungan keuntungan matematis di atas kertas nampak begitu nyata. Asapun membumbung tinggi.
Namun apa mau dikata, Allah jua penentu segala sesuatu. Di luar prediksi, proyek yang kukerjakan gagal total. Angan-angan mendapatkan keuntungan hancur lebur.
Tidak hanya kerugian finansial yang kuderita. Lebih dari itu, mentalku pun mengalami guncangan nan dahsyat. Terlebih, kudapati tidak sedikit masyarakat desa yang menyoal dan mencibir kegagalanku.
Rasa malu menggelayuti diri. Aku mengalami depresi. Aku malu untuk menemui orang. Gairah hidupku pudar. Aku hanya berdiam diri di rumah. Tidak berani lagi menjalin hubungan sosial di masyarakat. Dan keadaan ini berjalan cukup lama, sampai satu setengah tahunan lamanya.
Beruntung, Allah yang Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya, masih berkenan kengulurkan pertolongan-Nya untuk mengangkatku dari keterpurukan hidup.
Bertepatan di dekat rumah tempat tinggalku, itu ada pondok besar. Muridnya berjumlah ribuan. Pak Kiai sendiri cukup kenal denganku, karena memang sering bersilaturrahim dan sesekali mengikuti kajian rutin yang beliau adakan.
Ternyata, secara diam-diam, beliau memperhatikan perkembanganku. Mungkin karena melihat kondisiku yang semakin meemburuk itulah, suatu hari, beliau memanggilku dan meminta untuk berkhidmat di pondok, membimbing para santri mengurusi perkebunan pesantren.
Karena yang meminta adalah pak Kiai, aku tak kuasa menolak. Kuterima tawaran beliau.
Berdiam di pondok ternyata membawa angin segar bagi kehidupanku. Suasana islami dan disibukkan dengan rutinitas yang mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah, telah memberi ketenangan dan kesejukan bagi jiwa.
Jujur, sebelumnya aku tidak pernah memprioritaskan urusan agama. Bagiku, yang penting kewajiban sudah ditunaikan, maka selesai, seolah tidak ada beban lagi.
Kondisi yang sangat berbeda setelah bermukim di pondok. Urusan agama selalu menjadi prioritas, terutama soal sholat. Sesubuk apapun, ketika telah berkumandang azan, maka kutinggalkan kegiatan untuk menegakkan sholat jamaah.
Pesan ini pula yang sering disampaikan oleh pak Kiai dalam setiap wejangannya.
Lambat laun aku mulai mampu melepaskan diri dari belenggu kegagalan masa lalu. Kajian-kajian yang disampaikan oleh pak Kiai melalui ceramah-ceramahnya, juga telah mampu memberi pemandangan baru akan arti kehidupan di dunia ini yang sesungguhnya, termasuk soal rizki.
Dijelaskan bahwa yang menganugerahkan rizki itu adalah hak mutlak Allah, dan Dia berikan kepada siapa saja yaang Dia kehendaki. Sedangkan manusia, hanya bisa berupaya, sebagai bentuk ikhtiar, untuk menerima curahan rizki yang memang telah diperuntukkan untuknya, sesuai dengan takaran yang telah ditetapkan-Nya.
Prinsip ini pulalah yang kini menjadi pijakanku dalam mencari rizki, sehingga tak mudah lagi dipresi ketika mengalami kegagalan. Terimakasih, ya Allah.*/Khairul Hibri, sebagaimana yang dikisahkan oleh pak Sulam (bukan nama sebenarnya) asala Bondowoso, Jawa Timur