PAGI itu perjalanan dua jam berkendara sepeda motor terasa begitu singkat. Jarak puluhan kilometer seolah jadi begitu dekat. Rumaisha, putriku, terlihat cemas. Semalam, ia bahkan nyaris tak bisa tidur. Ada tekad yang membuncah, ingin jadi hafizhah (penghafal) al-Qur’an.
Tapi jujur, ada kekhawatiran yang menyelip, bagaimana jika ternyata tidak diterima nanti. Padahal sejak tiga puluh hari lalu, semuanya sudah dipersiapkan di sela kesibukan Ujian Nasional (UN).
Alhamdulillah, singkat kata, Rumaisha dinyatakan lulus sebagai santri di Pondok Tahfizh al-Qur’an di satu kota besar di Kalimantan Timur. Namun seiring waktu, tiba-tiba perubahan itu mulai terjadi. Rumaisha yang dulu semangat kini jadi gampang mengeluh.
“Rumaisha tidak sanggup, mau pulang saja,” rengekan itu berulang kali terdengar melalui sambungan telepon.
Sebagai ibunya, aku tentu saja kaget. Karena ia sendiri yang memutuskan lanjut sekolah ke pondok penghafal. Ia pun bersemangat saat itu. Bahkan sejak masih kelas enam SD dulu, acap kami lewat depan Pesantren Penghafal itu, Rumaisha selalu menengok kubah masjid pesantren itu hingga hilang di tikungan.
“Pokoknya mau sekolah di situ nanti,” ucap Rumaisha, ditirukan ibunya.
Bersama suami, beberapa kali aku datang menjenguknya di asrama. Pelan-pelan kami menasihatinya. Mungkin hanya butuh adaptasi saja dengan lingkungan yang berbeda. Suasana baru, kawan dan guru baru, semuanya tentu butuh proses penyesuaian. Apalagi kini ia tinggal di asrama bersama kawan-kawan seusianya tanpa keluarga yang menemani.
Selang beberapa waktu, ternyata rengekannya tak juga berhenti. Bahkan nyaris tambah kencang. Akibatnya hafalanpun tersendat tak lagi bertambah. Rumaisha mengaku tidak mampu lagi menghafal meski setengah lembar sehari.
Sebagai ibu sekaligus guru di sebuah sekolah, aku paham betul bagaimana karakter putriku. Rumaisha dikenal prestasinya rajin berkarya untuk sekolahnya dulu. Ia pasif secara verbal namun aktif secara kognitif. “Jadi apa yang terjadi sesungguhnya?” Ah, batinku mulai gamang juga.
Alhamdulillah, satu yang kusyukuri. Para guru dan pengasuh punya perhatian baik kepada semua santri, termasuk putriku yang sedang “bermasalah”. Dari seorang ustadzah, akhirnya saya dapat sebuah nasihat berharga. Pesannya singkat tapi rasanya menohok hingga ke ulu hati.
“Rumaisha itu tidak boleh dibiarkan berjuang menghafal sendiri. Sebab pola hidup orangtua dan keluarganya saling berkaitan dan sangat berpengaruh padanya,” ujar ustadzah menasihati. “Jika orangtuanya istiqamah, niscaya anaknya dimudahkan urusannya. Tapi kalau mereka sibuk bekerja untuk dunia dan lalai beribadah, tentu itu berpengaruh kepada anaknya juga,” tambahnya lagi.
Aku cuma bisa terdiam. Segala tumpukan kesombongan ilmu dan kesibukan bekerja seolah runtuh seketika. Terbayang hari-hari yang padat setiap waktu. Pagi mengajar, siang urus toko sampai malam. Belum lagi kesibukan lain yang menyita waktu. Tiap hari begitu terus. Entah kapan aku pernah menikmati rukuk dan sujud kepada-Nya.
Tiba di rumah, kata-kata itu masih saja terus mengiang-ngiang. Aku segera mengambil agenda pribadi dan menulis besar-besar.
“Ingat, anak saya sekarang sedang berjuang. Perbaiki dan evaluasi diri (agar) lebih baik dari sebelumnya.”
Alhamdulillah, pelan-pelan aku mulai kurangi kesibukan dan menggantinya dengan yang lebih bermanfaat. Mushaf al-Qur’an yang sebelumnya seminggu sekali, itupun kalau sempat, kini mulai dimujahadahkan untuk membaca satu juz setiap hari. Sesibuk apapun dan dalam kondisi apapun.
Tidak mudah memang, tapi inilah tekad dan pengorbananku sebagai ibu dari seorang pejuang penghafal al-Qur’an. Sebab ada tuntutan sebagai guru wali kelas dengan puluhan jam mengajar setiap pekan. Belum lagi mengelola administrasi dan urusan sekolah dan lainnya. Kadang itu semua membuatku lembur hingga tengah malam.
Apalagi saat tengah malam. Masa dimana sekujur badan terasa remuk dan butuh istirahat. Tapi bisikan itu senantiasa hadir, anakmu sedang berjuang. Ia berjihad menghafal al-Qur’an. Ia butuh doa-doa yang dimunajatkan secara khusyuk oleh orangtuanya.
“Ah, bagaimana mungkin kamu bisa tidur-tiduran sedang anakmu berjihad untuk memberimu mahkota kemuliaan kelak?” bisikan itu menghampiri kembali.
Alhamdulillah. Allah Maha Mendengar rintihan tangis hamba-Nya. Keceriaan wajah Rumaisha mulai terlihat lagi. Tak ada lagi rengekan ingin pulang ke rumah dan pindah sekolah. Hafalannya pun mulai bertambah kembali. Terakhir, kabar dari guru dan pengasuhnya, Rumaisha kini dinyatakan lulus dari setoran hafalan 20 juz al-Qur’an, sekali duduk.
Kami sebagai orangtua hanya bisa berdoa. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan berkah buat seluruh ustadz/ustadzah yang telah membantu anak kami jadi Penghafal al-Qur’an. Semoga kita semua dibahagiakan di dunia dan Akhirat dengan dengan Rahmat al-Qur’an.* Seperti diceritakan oleh orangtua santri Ma’had Tahfizhul Qur’an Usrah Mujaddidah, Balikpapan