TIDAK biasanya, di masjid sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di sebuah kota di Kalimantan Timur, ada taklim bakda shalat ashar. Awalnya saya mau langsung keluar.
Berbisik di hati agak ragu, “Ikut mendengarkan kajian atau keluar untuk menunggui istri yang sedang berbaring di kamar rumah sakit.”
Ada juga pikiran kecil yang menggoda, “Ah, saya, kan, ustadz juga yang sudah biasa mengisi taklim di beberapa masjid, bisa juga baca sendiri kitab, buku, atau di internet….”
“Insyaallah malaikat maklum saja kalau (saya) tidak ikut taklim karena darurat menunggu orang sakit dan beberapa orang juga keluar masjid,” pikiran-pikiran itu datang silih berganti.
Setelah beberapa detik, Bismillah…, saya putuskan untuk ikut taklim dulu, memangkas kesombongan dalam diri dan guna mendapatkan berkah kemuliaan majelis taklim sekaligus menambah spirit pengetahuan keislaman.
Ternyata, ustadz yang mengisi taklim datang dari Jakarta. Wah, jadi semangat, dengan sedikit menggeser tempat duduk agak ke depan.
Setelah mukadimah dan perkenalan sekilas, Ustadz Zulfikar namanya, menyampaikan tema tentang “bersyukur”.
“Ini, kan, masjid rumah sakit, jamaah pastinya keluarga pasien yang lagi sedih atau berduka, mestinya tema ‘sabar’ bukan tema ‘syukur’. Apa yang disyukuri?” protes saya dalam hati.
Tapi saya terus menyimak ayat per ayat, Hadits, dan penjelasan sang ustadz tentang syukur dan beberapa contohnya.
Di situlah Allah menambah ilmu dan memberikan pemahaman baru. Alhamdulillah tidak ada ruginya ikut taklim.
Setelah selesai taklim, saya kembali ke ruangan tempat perawatan istri, sambil merenung sejenak.
Subhanallah! Ternyata terlalu banyak nikmat yang diberikan Allah meskipun sedang sakit atau di rumah sakit.
Baca: Sakit dan Mati Itu Indah
Renungan “Mensyukuri Sakit”
Sakit itu harus disyukuri. Karena dengan sakit, kita bisa menyadari bahwa sehat itu ternyata mahal, merasakan bahwa manusia itu lemah dan bertambah keyakinan bahwa hanya Allah yang Maha Kuasa, tempat bergantung.
Sakit ternyata bentuk kasih sayang Allah untuk “memaksa” manusia menyadari akan kelemahannya. Jika sehat terus, cenderung lalai bahkan sombong, merasa lebih ‘tuhan’ daripada Tuhan yang sebenarnya, seperti kesombongan Firaun.
Masih mending “sekadar” sakit. Ada sebagian orang lain tidak diberi sakit tapi langsung meninggal dunia sehingga tidak sempat istighfar, muhasabah.
Seringkali dalam doa kita lebih banyak meminta rezeki yang banyak daripada badan yang sehat.
Kita selama ini tidak minta sehat tapi Allah memberikan kesehatan tanpa diminta. Sudah sempat disyukuri atau belum?
Baca: Riset: Banyak Bersyukur Sehatkan Jantung dan Tambah Bahagia
Kebanyakan manusia lalai terhadap nikmat sehat ini. Sebagaimana Hadits Rasulullah; ada dua nikmat yang sering dilakukan yaitu nikmat sehat dan waktu luang.
Sehingga, setelah sakit di rumah sakit, baru menyadari bahwa sehat lebih penting dibandingkan kekayaan yang dimintanya. Terbukti orang rela mengeluarkan banyak hartanya, bahkan jual sana sini, untuk menebus obat dan biaya perawatan agar bisa sehat dan keluar dari rumah sakit.
Maka kesadaran terkait syukur harus senantiasa dijaga dan ditingkatkan. Sudah terlalu banyak nikmat yang Allah berikan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dan tidak ada yang mampu menghitungnya, secerdas apapun otak manusia dan sehebat apapun kalkulatornya. Karena keduanya bagian dari nikmat Allah juga.
Kemudian, cara bersyukur yang paling mudah adalah mengucapkan Alhamdulillah. Namun anehnya sedikit yang mau bersyukur, padahal nikmatnya tak terhitung dan caranya mudah.
Dalam kesyukuran itulah akan melahirkan jiwa-jiwa yang sabar. Tidak bisa mencapai karakter sabar kalau belum bisa bersyukur.
Jadi syukur dan sabar itu satu paket, satu keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Ternyata di rumah sakit banyak nikmat-nikmat yang Allah. Termasuk rasa sakit dan menunggu orang sakit itu juga nikmat yang patut disyukuri.
Renungan ini ditulis di pinggir ranjang istri yang masih terbaring sakit, pertengahan Agustus 2017 lalu.* Diceritakan kepada hidayatullah.com oleh Abdul Ghofar, aktivis pendidikan di Kaltim