Hidayatullah.com–Hari itu adalah hari dimulainya Intifada I tahun 1997. Waktu menunjukkan pukul 9 malam. Yesser Abu Daqa dan sahabatnya mengendarai mobil mereka di kota Khan Younis, wilayah utara Jalur Gaza. Sebuah jeep Israel mengejar mereka, hingga mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon.
Keduanya dibawa ke Rumah Sakit Nasser. Sahabat Abu Daqa dalam keadaan cukup baik. Namun, para dokter tidak bisa merawat Abu Daqa karena luka-lukanya parah. Ia lantas dipindah ke sebuah rumah sakit di wilayah Israel. Di sana Abu Daqa dirawat selama 22 hari, dengan harapan bisa pulih seperti sediakala. Kemudian ia pun dipindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Namun, semua upaya penyembuhannya tidak membuahkan hasil. Ia lumpuh total, kecuali bagian leher hingga kepala.
Enambelas tahun sudah ia menjadi penyandang cacat, dengan hanya ditemani seorang keponakannya, Muhammad. Teman-teman sudah banyak yang meninggalkannya. Selama enam tahun, Muhammad membawa pamannya ke mana pun ia mau, dengan menggunakan sebuah kursi roda elektrik pemberian mendiang Presiden Palestina Yasser Arafat. Jika kursi roda itu rusak, maka sulit bagi Abu Daqa untuk pergi keluar rumah.
Satu hari, Abu Daqa melihat sebuah alat yang bisa dipakai untuk mengoperasikan komputer tanpa tangan, di rumah tetangganya.
Seorang kawan berkenan berikan alat itu untuknya. “Begini cara kerjanya, sebuah kamera dihubungkan dengan komputer. Kemudian, saya memberikan perintah ke komputer melalui kamera dengan menggerakkan mata dan kepala ke arah sebuah file atau apapun yang ingin dibuka atau digunakan. File itu akan merespon perintah kurang dari satu detik, hanya dengan satu gerakan kepala saja.”
Abu Daqa, yang kini berusia 33 tahun, menyukai berita politik dan olahraga, baik lokal maupun internasional. Ia adalah seorang hafiz Al-Quran. Dia senang membantu tetangganya yang membutuhkan informasi, dan tidak sungkan menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan seputar masalah komputer dan internet.
Ibu yang biasa membantunya, telah wafat hampir tujuh tahun silam. Sejak itu, keponakan perempuannya yang berusia 21 tahun, Tahani, membantunya memasak dan menemaninya bercengkrama di waktu senggang.
“Tidak ada yang bisa menghalangi apa yang ingin saya lakukan, karena kita hidup hanya sekali saja. Dan Palestina berhak mendapatkan lebih dari itu,” pungkasnya optimis. [di/plt/hidayatullah.com]