Hidayatullah.com | DUA hal yang mengambarkan perjuangan aku ke kuliah di sebuah perguran tinggi Islam (berbasis pesantren) yaitu kesabaran, dan janji Allah. Di tahun 2019 kemarin adalah tahun yang aku nantikan. Karena di tahun itu aku tamat dari Sekolah Menengah Kejuruan.
Di kala teman-teman mencari perguruan tinggi yang bagus, dan efektif bagi mereka. Aku pun tidak mau kalah, dan berkeinginan masuk juga perguruan tinggi yang bagus. Tetapi qadarullah kedua orang tuaku tidak menyetujui aku untuk kuliah jauh.
Ketika itu aku cukup kecewa dengan keputusan mereka, susana hati yang tidak mendukung membuat aku memutuskan untuk mondok saja. Inti dari semua itu aku harus keluar dari tempatku tinggal, dengan merantau mencari ilmu agama.
Ketika aku memberitahukan keinginan mondok kepada orang tuaku, Allhamdulillah ayah setuju dan ayah menyarankan aku mondok di sebuah Pesantren Hidayatullah Bau-Bau. Mendengar keputusan bapak, aku cukup senang.
Hari demi silih berganti dan hari yang aku tunggu-tunggu telah tiba, dengan memastikan kembali aku bertanya kepada ayah. “Yah jadi kah juga aku mondok ke Bau-Bau?”
Ayah pun menjawab dengan suara yang lantang. “Jangan mondok, toh percuma juga sekolah jurusan farmasi bisa menghafal, tidak nyambung dengan jurusanmu sekarang, Nak.”
Mendengar ayah bicara begitu aku pun menjelaskan, “Insya Allah, aku bisa kok. Kan tidak mungkin saya langsung pandai dalam belajar, butuh proses dan kesabaran dalam menuntut ilmu.”
Mereka tidak ada yang memperdulikan apa yang aku katakan tadi. Sampai akhirnya aku berpikir apabila tidak melakukan sesuatu, maka cita-cita itu tidak akan tergapai. Untuk itu aku mengambil keputusan yang sangat berat, memikirkanya saja butuh proses satu minggu.
Akhirnya aku harus melakukan hal itu, aku kabur dari rumah menuju Bau-Bau untuk mencari PP Hidayatullah. Aku hanya beranikan diri, yang kutinggalkan hanya selembar surat untuk mama.
Keputusanku mungkin salah tapi itu harus kulakukan. Pergi seorang diri tanpa ada yang menemani, tidak membuatku takut dan goyah. Di dalam pikiran ini bahwa Allah akan selalu menjagaku, Allah akan menolongku.
Apa yang aku pikirkan betul terjadi, Allah memberikan pertolongan. Ketika pangilan adzan zuhur, aku telah tiba di Bau-Bau, yang pertama kucari yaitu masjid terdekat. Ketika di jalan ada seorang wanita sebayaku berhenti di depanku, dan bertanya, “Mau ke mana, Dik?”
Aku pun menjawab, “Saya sedang mencari masjid, Kak.”
Dia melihatku dengan raut wajah bingung. Dia berkata, “Dik, mari kakak antar ke masjid. Sepertinya kamu orang baru ya. Bahaya loh di sini jalan sendirian.”
Aku sedikit ragu dengan kakak itu, tapi hatiku dikuatkan bahwa dia akan menolongku. Aku pun ikut bersamanya dan menceritakan semua keinginanku ke Bau-Bau. Meski kakak perempuan itu agak ragu dengan apa yang aku ceritakan, tetapi dia tetap menolongku mencari pondok Hidayatullah.
Ketika telah sampai ke tempat tujan, aku pun bertanya dengan warga sekitar perihal penerimaan santri di pondok tersebut. Orang yang ada di sekitar PP Hidayatullah Bau-Bau pun berkata, “Dik, di sini hanya menerima santri tingkatan MTS dan Aliyah.”
Aku pun berkata, “Saya sudah tamat, Pak, saya hanya ingin mondok saja.”
Bapak itu pun berkata, “Maaf, di sini hanya menerima tingkatan MTS dan Aliyah.”
Sedikit kecewa mendengar jawaban bapak yang kutemui tadi. Tapi rasa ingin mondok itu belum hilang.
“Apabila Allah belum menakdirkan aku di sini, maka aku akan pergi mencari lagi dan lagi sampai aku mendapatkan tempat yang cocok,” gumamku dalam hati.
Perjalanan panjangku belum kuakhiri, di saat aku berpikir di mana aku akan tinggal untuk berteduh selama beberapa hari. Seketika kakak yang menolongku tadi menawarkanku tempat tinggal. Dia juga membantuku mencarikan pekerjaan untuk tambahan uang mencari pondok yang akan Allah takdirkan untukku.
Ayah dan mama telah membaca selembar suratku. Mereka marah dan kecewa padaku, mereka menelepon dan menanyakan di mana keberadaanku saat ini. Aku pun berbicara bahwa aku ingin mencari pondok yang mau terima aku.
Ayah pun berkata, “Percuma kamu niat mencari ilmu tapi tanpa akhlak, wadah yang tadinya dituangi ilmu apabila tanpa akhlak wadah itu isinya akan sia-sia.”
Mendengar hal itu aku hanya menangis, ternyata pilihan yang kujalani salah. Satu hal yang aku minta pada Allah ketika itu, aku ingin orang tuaku mengizinkan diriku mencari ilmu agama yang baik, dengan menempuh belajar di pondok pesantren.
Inilah awal mula muhasabah atau evaluasi diriku. Aku mulai dengan hanya mengandalkan Allah. Aku memutuskan tidak akan meninggalkan Bau-Bau sebelum Ayah berubah pikiran. Ternyata Allah menolongku dengan hanya bersabar. Allah mengetuk hati Ayah.
Akhirnya, ayahku menyarankanku agar sekolah tinggi Islam di Balikpapan. Awalnya tidak percaya, di dalam pikiranku pasti ini akal-akalan ayah agar aku balik dan akan dimarahi. Ternyata setelah menulusuri, sekolah tinggi ini memang ada. Dengan cepat dan sigap aku pun mulai mencari nomor yang dapat ditanyakan tentang PTS tersebut.
Allhamdulillah, ada seorang ustadz yang menjelaskan tentang kampus itu. Tak sungkan-sungkan aku menanyakan nomor ustadzah yang bisa dihubungi, agar lebih lancar penjelasannya tentangnya.
Sang Ustadzah menjelaskan bagaimana cara pendaftaran dan apa-apa saja persyaratan masuk. Aku pun mengikuti arahan dan akhirnya aku mendaftar online.
Perjalananku menuju kampus itupun kunanti, tetapi aku tidak terlalu berharap. Agar tidak ada rasa kecewa dan aku hanya berharap kepada Allah apabila PTI itu adalah tempat yang baik, maka Allah akan menempatkanku di sana.
Menunggu kepergianku ke Kalimantan, aku memutuskan tinggal dulu di Bau-Bau. Untuk bekerja mencari tambahan uang agar tidak menyusahkan orang tua.
Aku bekerja di kedai minuman Thai Teh. Allhamdulillah aku mendapatkan gaji yang cukup untuk meringankan sedikit biaya yang dikeluarkan ayah dan mama. Satu bulan aku tinggal di Bau-Bau, akhirnya aku pun pulang ke kampung halaman. Dengan berharap orang tuaku akan mengizinkanku menuntut ilmu di Balikpapan.
Tidak lama aku di kampung halaman ketika hari raya Idul Fitri berakhir. Aku langsung bergegas berkata kepada kedua orang tuaku bahwa aku secepatnya pergi ke Kalimantan. Karena menurutku mereka akan berubah pikiran lagi. Allhamdulillah hari yang ditunggu telah tiba. Keberangkatanku sudah di depan mata.
Aku berangkat sendiri tanpa pengantar. Bagi seorang yang berusia 18 tahun pasti agak takut berangkat sendiri. Apalagi perginya naik kapal sendiri selama 3 hari tiga malam. Namun, tidak demikian dengan diriku. Aku berangkat ke Bau-Bau untuk menunggu kapal ke Kalimantan.
Ketika telah sampai ke Bau-Bau, ternyata aku kecepatan datangnya. Sehingga aku harus bermalam di ruang tunggu sendiri selama dua hari. Aku selalu yakin bahwa Allah gak akan biarkan aku sendiri. Selain itu terdapat seorang wanita yang menemaniku. Pertama ketemu agak cangung, tetapi ketika mendengarkanku bercerita dan menanggapinya, akhirnya kami akrab.
Akhirnya perempuan itu bersamaku selama sehari, dan seterusnya. Begitu pula ketika sampai di kapal, selalu saja ada yang membantuku meski aku sendiri. Walaupun ada rasa takut, tapi aku yakin Allah selalu melindungiku dalam setiap perjalananku.
Sesampainya di Kalimantan, aku pun dijemput oleh paman yang seumur hidup belum bertemu sebelumnya. Aku tinggal di rumah beliau selama sebulan. Aku berkunjung ke Gutem untuk membawa formulir pendaftaran. Tak lama beberapa hari kemudian, tiba-tiba aku mendapatkan pesan dari Grup Mahasiswi Baru. Bahwa tanggal masuknya dipercepat.
Hari pertama di kampus cukup menyenangkan, bertemu kawan-kawan baru. Perkenalan nama bersama kawan-kawan baru dan para kakak seniornya. Terkadang aku mendapatkan kawan yang suka menangis. Aku selalu menghiburnya.
Dan ketika dia telah biasa dengan suasana baru, aku pun mencari lagi kawan yang bersedih. Agar mereka tidak berlarut dalam kerinduan dengan ayah dan mama. Ketika hari istirahat bagi mahasiswi baru atau disingkat dengan Maba, telah berakhir.
Datanglah hari yang aku tunggu-tunggu. Dauroh 30 hari, aku penasaran dengan hari tersebut. Satu per satu, secara berurut kegiatan yang dilaksanakan dibacakan oleh kakak DEMA. Peraturan yang harus dijalani dalam menjalani proses dauroh. Kegiatan itu sangat menarik, karena kami dilatih untuk bisa melakukan segala hal.
Apa yang aku lihat dalam kegiatan tersebut, tidak pernah dilakukan oleh perempuan di luar. Terutama dalam hal kedisplinan, kekompakan dalam kelompok, makan dengan cara sunnah Rasullullah ﷺ, melakukan kegiatan yang menantang menurutku.
Berbagai hal yang kami lakukan menurutku sangat bermanfaat, mulai dari menghilangkan rasa sombong dalam diri. Apa yang kita laksanakan sangat melekat sekali dalam hati. Kadang kala menguras tenaga dan kesehatan dikarenakan kegiatan yang cukup padat, kita dipacuh lebih berinteraksi dengan Al-Qur’an dan hafalan matan.
Bercermin dalam suatu keadaan yang dilangsungkan tersebut, membuatku sadar bahwa mencari ilmu itu tidak segampang pikiran setiap sudut pandang manusia. Satu hal yang selalu kuingat sampai saat ini, yaitu pertanyaan suatu dosen yang menurutku cukup aneh, karena setiap pertanyaan pasti terdapat jawaban yang masuk di akal.
Beliau bertanya “Kenapa kita harus masuk kampus ini? Apa yang kita cari? Apa keistimewaan? Apakah hanya karena ingin menghafal Al-Qur’an? Di luar banyak pondok yang lebih baik dari kampus ini, apakah ingin menjadi lebih baik? Di luar sana banyak orang bisa menjadi lebih baik, Apakah karena ingin mencari ilmu agama? Di luar sana banyak cara untuk mencari ilmu agama.”
Semua pertanyaan beliau tidak langsung memberikan jawaban. Sebab hal Itu menjadi tugas untuk kami. Karena jawabannya akan didapatkan selama dauroh berlangsung.
Beliau juga berkata bahwa nanti akan ada orang-orang yang akan terpilih dalam seleksi alam. Ini membuat saya semakin bingung dalam hati bertanya, “Mengapa ada kata seleksi alam?”
Selanjutnya, kami melakukan kegiatan seperti biasanya. Saat istirahat berlangsung aku menatap setiap dedaunan pohon di sekitar empang. Dedaunan itu berjatuhan seiring waktu dan hari. Dalam hatiku apakah ini yang namanya seleksi alam yang bertahan di sini hanya yang kuat. Bagaikan daun tersebut yang tersisa sedikit, tetapi mereka kuat walau diterpa angin. Hari demi hari seleksi alam itu nyata, satu persatu kawanku pulang, tidak sangup dengan keadaan.
Aku mulai paham apa yang dimaksud oleh ustadz tersebut. Seiring berlalunya waktu, aku tertimpa seleksi alam pula, ujian yang sangat tak mampu kulewati. Tadinya aku tangguh dalam segala sesuatu, tiba-tiba Allah memberikan sedikit ujian, aku hanya sendiri dalam menghadapi ujian tersebut.
Kawan-kawan yang banyak tadi menghilang sekejap mata. Aku sendiri dalam kesedihan, namun aku tersadar aku berada di kampus ini karena Allah, apabila ini cara Allah ingin melihat aku, sanggup atau tidak bertahan. Aku tak pernah bercerita dengan siapa pun orang tua juga tidak mengetahui. Terkait kegelisahan ini.
Qodarullah seleksi alam itu berakhir, aku hanya terus memperkuat harapan dengan Allah. Akhirnya Allah lah yang membantuku dalam masalah tersebut, hanya Allah tempatku bersandar. Akhirnya ujian masuk kampus sudah di depan mata. Saat ujian aku jawab tanpa paham dengan arti soal.
Aku hanya berdoa dan berkata kalau tidak masuk semester tidak masalah, intinya aku tetap di Hidayatullah ini. Ketika pembacaan hasil nilai, aku lupa nomor ujianku. Sehingga tidak tahu bahwa aku lulus atau tidak. Ketika ustadzah memberikan nomor ujianku, maka aku bergegas menuju papan pengumuman dan melihat nomor ujianku apakah aku lulus atau tidak, dan hasilnya Alhamdulillah memuaskan, aku lulus.
Hari-hari dauroh belum berakhir, masih dilakukan dalam kegiatan biasa. Melakukan perlombaan yang diadakan oleh kakak DEMA. Sangat menarik, sebab kegiatan tersebut menyatukan ukhuwah kebersamaan seluruh santri.
Hari dauroh telah berakhir, dan Alhamdulillah telah resmi menjadi mahasantrinya. Hal yang sangat mengenang selama 10 bulan di kampus ini, yaitu kebersamaan, yang tidak akan kudapatkan di luar; kekompakan; ustadzah yang bagaikan orang tua sendiri. Didikan yang tidak akan aku dapatkan di luar. Ibadah yang selalu di tekankan, menjalankan amanah dengan ikhlas.
Dunia kampus telah mengajarkan kami untuk mendapatkan spirit yang selalu didorong agar menjadi seorang yang tidak lalai dengan ibadahnya, bermanfaat bagi umat dan dapat menjadi contoh. Ibarat bara api yang bekobar didorong agar menjadi kader yang tangguh.
Terus mendalami Al-Qur’an dan hadits yang menjadi petunjuk utama dalam mengikis ilmu yang didapatkan. Satu hal yang selalu membuatku rindu dengan kampus yaitu suasana peradaban dengan alam yang sejuk dan tempat itu selalu dirindukan.
Bagi orang yang memandang dari luar mungkin kampus ini biasa-biasa saja. Tetapi ada hal yang beda yang kita rasakan di dalam sana. Rasa tak ingin keluar dari tempat tersebut, dikarenakan tempat itu bagaikan rumah kedua bagiku. Sebab hakikat ilmu dapat dorongan keimanan. Dengan mendapat nila-nilai tauhid yang diajarkan itu menjadi pegangan kita kelak untuk menguatkan ilmu dengan tidak sombong. Karena semua di dunia ini milik Allah, semua hanyalah titipan untuk manusia.
Dari kisah ceritaku itu mengajarkanku bahwa hidup adalah pilihan. Tentu yang mengatur hidup ini hanyalah Allah. Segala dinamika hidup dihadapi untuk menempuh hidup yang sempurna yaitu surga.
Dari kisahku itu bisa menjadi pelajaran, bahwa mencari ilmu itu memiliki banyak cara. Walau hampir masuk dalam jurang yang dalam, dikarenakan salah memilih. Tetapi Allah senantiasa menunjukan jalan agar menuju tempat yang kita inginkan.
Semua tergantung dari niat kita, apabila niat kita baik maka tempat kita juga baik. Apabila niat kita buruk maka tempat kita akan buruk pula. Itulah orientasi hidup yang berbeda, dan hidup adalah perjalanan. Itulah mengapa kita harus banyak bersyukur, dan beserah diri pada Allah. STIS Hidayatullah tempat mengejar impian dunia dan akhirat. Tempat yang selalu dirindukan.*/Ditulis Misnawati, Semester 2 HES