SEPERTI biasa. Sore itu, istri saya mengantar putri sulung kami (4 tahun) pergi ke tempat mengaji.
Jaraknya dengan tempat tinggal lumayan jauh. Lebih dari 2 KM. Berangkat setelah Ashar, dan pulang sekitar jam 5 sore.
Ketika sampai rumah, istri ‘melaporkan’ satu kejadian di tengah jalan.
“Ayah, tadi bunda menemukan buah di jalan. Satu salak, dan satu pisang,” ceritanya.
“Terus…,” ujarku.
“Bunda ambil. Itu, masih ada di jok motor.”
“Kok diambil? Kan nggak jelas statusnya? Busa haram itu!” Ujarku.
“Iya. Bunda juga tahu. Tapi, kalau dibiarkan kasihan. Makanan kok dibiarkan begitu aja di jalan. Kan mubadzir.”
“Lalu, buah itu mau bunda berikan ke anak-anak? Makan barang haram dong merek?”
“Ya enggak, lah. Bunda juga takut.”
“Lha, terus mau diapakan?”
“Nggak tahu!” Jawabnya polos. Aku pun mengeritkan jidat, mendengar jawabannya.
Tapi ada satu kesepakatannya; bahwa buah itu tidak akan dimakan. Sebab hukumnya tidak jelas. Alias subhat. Bila terjun bebas ke perkara ini, berpotensi masuk ke ranah haram.
Begitulah sabda Nabi, yangb tertuang dalam salah satu hadits, yang termaktub dalam Hadits al-Arba’in, karangan Imam Nawawi.
Tuntunan Nabi Muhammad ﷺ, jauhi. Tinggalkan. Maka itu akan menjaga kemuliaan diri.
Setelah berpikir sejenak, al-Hamdulillah mencuat ide.
“Ya udah, taruh saja di atas genteng,” usulku.
Lho, kok bisa!
Ya. Bertepatan rumah yang kami tinggali berada di samping hutan jati. Pas di samping rumah, ada pohon kares. Daun-dau dan buah-buahnya menyentuh ke genteng.
Setiap hari, tupai pasti berkunjung menvari makanan. Naik-naik ke atas genteng.
Pikirku, buah itu kelak akan dimakan oleh tupai. Jadi tidak mubadzir. Dimakan oleh makhluk Allah yang lain.
Di sisi lainnya, anggota keluarga bisa diselamatkan dari barang-barang yang mengandung unsur subhat.
Karena hari sudah mulai gelap, akhirnya istri merencanakan keesokan hari, baru akan meletakkan buah-buah itu di atas genteng.
Ganti yang Halal
Keesokan sorenya, istri sudah siap-siap mengantar. Bunyi sepeda metic telah mengaung.
“Innaa lillah, lupa!” ujar istri, sambil kembali masuk ke teras rumah.
“Ada apa Bunda?” Tanyaku.
“Ini lho, yah. Buah kemarin. Lupa ditaruh di atas genteng ujarnya.”
Ia pun meletakkannya, kemudian kembali keluar, menghidupkan motor, dan pergi ke tempat mengaji.
Nah, ketika pulang dari mengaji inilah, kedua mata menyorot ‘buah tangan’ yang ditenteng oleh buah hati.
“Apa itu saya?” Tanyaku lembut, sambil memgarahkan pandangan ke plastik bercorak bening, yang menggantung di tangan kanannya.
“Buah!” Jawabnya singkat, dengan nada agas kekanakannya.
“Tadi lho, yah,” sambung istri yang baru masuk rumah.
“Ada wali murid yang bawa buah-buahan ke tempat ngaji. Dibagi-bagikan.”
“Dan ini, dapat dua salak dan satu buah naga.”
Mendengar penjelasan istri, spontanitas aku berucap hamdalah dan hauqalah;
“Al-Hamdulillah. Laa hau laa wa laa quwwata illa billah!”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Inilah sedikit bukti yang Allah tunjukkan kepada kita,” mataku kepada istri.
“Maksudnya, apa ayah?” Tanyanya. Nampak belum menangkap arah pembicaraan.
“Tadi itu, kita sepakat meninggalkan buah-buah subhat, karena takut azab Allah.”
“Dan kini, Allah ganti buah itu, dengan yang halal. Lebih banyak lagi. Dari satu buah salak, menjadi dua. Dari satu buah pisang yang kecil, menjadi buah naga yang besar.”
Terngiang sebuah hadits, riwayat Ahmad yang berbunyi; “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu, dengan yang lebih baik.”
Mensyukuri rezeki halal itu, kami pun berbagi sedikit demi sedikit, dan memakannya.
“Bismilllah….”
Nyamm…nyamm…nyammm…
Semoga berkah. Aamiin.*
Sebagaimana yang dikisahkan Abu Kamila, kepada Khairul Hibri