Hidayatullah.com | TIAP masuk bulan Juli, tak terasa hatiku mengharu biru. Pasalnya, tanggal 11 Allah takdirkan aku mengikat janji suci dengan wanita pilihan Allah.
Di antara tujuan pernikahan adalah hadirnya sang buah hati. Demikian halnya dengan kami. Hari berganti bulan berlalu tahun berpindah, namun buah hati yang didambakan belum Allah ijinkan menghiasi.
Tiap bertemu teman menanyakan, “Apakah sudah isi ? Apa ada tanda-tanda? Atau pertanyaan yang senada, sebisa mungkin aku segera mengalihkan pembicaraan. Termasuk istri, seringkali sampai di rumah tiba-tiba menangis tanpa sebab.
Usut punya usut ternyata sewaktu halaqah muslimat dengar kabar fulanah yang baru menikah sudah ada tanda-tanda kehamilan. Atau ada ustadz yang mengangkat tema tentang anak; sudah dipastikan di rumah meleleh air matanya seakan menanyakan; aku kapan?
Dalam kondisi seperti ini, salah satu yang terberat adalah ketika silaturrahim ke rumah orang tua dan mertua. Walaupun lisan tak terucap, tapi dari ekspresinya terbaca betapa rindunya Ibu dan Bapak hadirnya cucu dari kami.
Beragam ikhtiar sudah kami usahakan, baik dari sisi medis dengan konsultasi dengan dokter, maupun ikhtiar dengan cara tradisional. Ada yang diterima akal, ada juga yang tidak masuk akal seperti istri diminta menggendong bayi, hingga mengkonsumsi bahan-bahan yang mudah didapat di sekitar kita, tak jarang jauh tempatnya seperti komsumsi buah kurma muda dari Arab.
Setelah berbagai ikhtiar yang telah kami jalani selama 11 tahun namun belum membuahkan hasil. Akhirnya kami berdua bersepakat ada satu ikhtiar yang belum kami jalani yakni berdo`a di Baitullah.
Qadarullah di tahun 2015, Allah mengundang kami berdua untuk menunaikan haji. Selain do`a-do`a mulia yang lainnya, kami berdua sudah mengazzamkan selama berada di Haramain melantunkan do`a Nabi Ibrahim dan Nabi Zakaria agar diberikan keturunan yang shalih.
Sepulangnya kami dari tanah suci, ternyata Allah tidak langsung mengabulkan do`a diberikan momongan. Meski demikian, Alhamdulillah kami juga sudah lebih “tenang” dalam kepasrahan, membuat kami tidak terlalu memikirkannya lagi.
Kami justru lebih semakin fokus pada amanah yang harus kami jalankan, begitu juga dengan istri. Kami fokus pada anak-anak kami santri yang luar biasa, yang kami harapkan doanya untuk kami para gurunya setelah kami tiada nanti.
Hampir 24 jam bersama tiada obrolan dengan istri melainkan hal terbanyak adalah tentang para santri. Bagaimana perkembangannya, solusi masalah buat mereka, komplain orangtua menghiasi obrolan hari-hari kami. Dan tentu saja doa tiada henti untuk santri kami.
Sampai pada satu titik puncak tawakkal kami munajatkan; “ Ya Allah sekiranya sampai akhir hayat kami tidak memiliki keturunan, semoga di antaranya anak didik kami dapat menolong kami ketika kami sudah tiada. Namun sekiranya Engkau ijinkan, maka Robbi Hablii Minashsholihiiin anugerahkan kepada kami keturunan yang sholih. Aamiin”.
Qadarullah, dua tahun setelah haji, istri sudah dua pekan terlambat haid. Kami masih merasa biasa-biasa saja, khawatir memupus harapan lagi.
Kami menunggu sepekan kemudian, tapi belum juga haid. Akhirya kami memberanikan diri untuk membeli test pack kehamilan bukan hanya satu, sekaligus dua saya beli bahkan saya minta yang paling mendekati akurat walaupun lumayan mahal harganya.
Keesokan harinya, diiringi do`a mendalam serta kecemasan kita hasil test pack kami lihat bersama. Nafas kami terdengar, waktu seakan lama menunggu dua garis di alat tersebut apakah akan berubah warnanya ? Hasilnya? Alhamdulillah dua garis menunjukkan warna merah yang berdasarkan petunjuk berarti positif hamil.
Alhamdulillah syukur kami tiada henti-hentinya. Namun kami belum berani memberitahukan kepada siapapun bahkan pada kedua orang tua.
Kami bersepakat hari itu juga datang ke dokter specialis kandungan dengan USG tercanggih untuk memastikan apakah positif hamil atau sekedar halusinasi kami berdua. Setelah diperiksa, tak sabar lagi bahkan dokter belum sempat duduk saya langsung bertanya;
“Bagaimana Dokter ? “
“ Alhamdulillah, positif Pak. Selamat Bapak dan Ibu ini bayi mahal,” jawab dokter diiringi senyumannya.
Betul. Ini bayi mahal, karena yang diharapkan setelah sekian lama. Apalagi saat itu istriku sudah memasuki usia 40 tahun.
Kondisi fisik yang tidak muda ditambah riwayat pernah operasi kista. Namun rasa syukur dan bahagia menjadi motivasi yang kuat hingga istri bisa melewatinya dengan baik.
Sujud syukur dan rasa senang tak terhingga. Haru biru menyatu tak tergambarkan bagaimana bahagianya kami mendengar hasil tersebut.
Akhirnya, setelah menunggu 13 tahun dari bulan pernikahan kami Allah kabulkan ikhtiar dan munajat-munajat kami untuk diberikan keturunan yang sholih. Dan kini bahagianya kami dipanggil Ayah dan Bunda Sayyid~Kamil, dua lelaki shalih buah hati kami.
Maka sungguh benar firman-Nya dalam Al-Qur`an Surat Asy Syuura ayat 49-50:
لِّلَّهِ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ
أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَٰثًا ۖ وَيَجْعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًا ۚ إِنَّهُۥ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” */Sumarno, dosen STIT Mumtaz Karimun