Hidayatullah.com–Setelah peristiwa serangan 11 September 2001 atas komplek gedung World Trade Center di New York, secara sepihak dan tanpa bukti kaum Muslim dipersalahkan sebagai pelaku kejahatan itu. Di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat, sorotan tajam penuh kecurigaan dan kebencian ditujukan atas Muslim secara terus menerus. Aktivitas intelijen yang memata-matai kaum Muslim, meski operasi itu selalu disangkal, terasa di mana-mana. Dan kini, salah satu operasi rahasia tersebut terungkap.
Associated Press pada Rabu 24/8/2011 menurunkan laporan tentang kegiatan intelijen Kepolisian New York dan CIA yang memata-matai seluruh aktivitas keseharian komunitas Muslim Amerika. Simak laporan tersebut yang disajikan oleh hidayatullah.com dalam empat bagian.
***
David Coleman datang ke New York Police Departement (NYPD) pada Januari 2002, hanya beberapa pekan setelah bara api di reruntuhan menara kembar World Trade Center dipadamkan. Cohen, pensiunan veteran CIA berusia 35 tahun, menjadi kepala intelijen sipil pertama di kepolisian itu.
Karir Cohen di CIA tergolong luar biasa, dia pernah ditempatkan di bagian analis maupun operasional. Dia juga seseorang dengan karakter pemecah belah yang tidak biasa, lidahnya yang tajam dan kepercayaan diri yang tinggi akan kemampuannya membuat ia mendapat reputasi sebagai seorang arogan. Pekerjaannya sebagai kepala operasi CIA dan mata-mata terkemuka seantero negeri begitu penuh perdebatan, sehingga tahun 1997 New York Times di halaman editorialnya mengambil langkah yang tidak biasa, menyerukannya agar ia didepak dari CIA.
Cohen tidak punya pengalaman di bidang kepolisian. Dia tidak pernah mempertahankan sebuah kota dari serangan. Tapi New York tidak sedang mencari seorang polisi.
“Pasca 9/11, kami memerlukan seseorang yang sangat tahu seluk-beluk intelijen,” kata John Cutter, seorang pensiunan pejabat NYPD yang pernah menjadi salah satu bawahan top berseragam yang dimiliki Cohen.
Pada saat itu, divisi intelijen dikenal sebagai pengawal orang-orang terhormat berkeliling kota. Cohen mempunyai visi untuk membentuk sebuah unit yang akan menganilsa intelijen, melakukan operasi penyamaran dan memelihara jaringan informan. Singkat kata, ia ingin agar New York punya CIA versinya sendiri.
Cohen memiliki pandangan yang sama dengan Ray Kelly, yang menyakini bahwa peristiwa 9/11 merupakan bukti kepolisian bukan satu-satunya yang bisa diandalkan pemerintah federal untk mencegah terorisme di New York.
“Bila sesuatu terjadi atas New York, maka itu salahmu,” kata seorang mantan petugas polisi, mengingat kata-kata yang pernah diucapkan Cohen kepada bawahannya.
Salah satu langkah awal yang diambil Cohen ketika sampai di NYPD adalah menghubungi kolega-kolega lamanya di markas besar CIA di Langley, Virginia. Dia mengajukan permintaan kepada mereka. Dia membutuhkan seseorang untuk membantu membangun unit operasinya yang baru, seseorang yang memiiki pengalaman dan pengaruh, dan yang paling penting, seseorang yang memiliki akses atas informasi intelijen terbaru. Sehingga NYPD tidak harus mengandalkan FBI untuk menggali informasi yang mereka butuhkan.
Direktur CIA kala itu George Tenet meresponnya dengan menugaskan Larry Sanchez, seorang veteran yang disegani yang telah bertugas sebagai pejabat CIA di Perserikatan Bangsa-Bangsa.Sering kali, ketika CIA menempatkan seseorang dalam suatu tugas sementara, agen lainnya menyokong (dana) dari belakang. Dalam hal ini, tiga mantan pejabat intelijen mengatakan, Tenet tetap memasukkan Sanchez dalam daftar gaji CIA.
Saat ia tiba di New York pada bulan Maret 2002, Sanchez memiliki kantor di NYPD dan juga pos CIA di New York, kata seorang mantan pejabat. Sanchez mewawancarai petugas polisi untuk ditugaskan dalam dinas intelijen yang baru dibentuk. Dia membimbing dan mengarahkan petugas-peugas polisi itu, menyekolahkannya untuk belajar seni mengeruk informasi. Sachez juga mengarahkan mereka dalam tugas-tugasnya.
Tidak pernah ada pengaturan tugas yang seperti itu sebelumnya. Sejumlah pejabat senior CIA kemudian mulai menanyai Tenet apakah ia yang mengizinkan Sanchez beroperasi di kedua sisi dinding (dalam dan luar negeri), padahal semestinya CIA tidak mencampuri urusan intelijen di dalam negeri.
“Tidak mengejutkan bagi banyak orang bahwa setelah 9/11, CIA melangkah lebih jauh dengan bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam masalah kontraterorisme, atau contoh dari peningkatan kerjasama itu terjadi di New York, di tempat kejadian (ground zero),” kata jurubicara CIA Jennifer Youngblood.
Sama seperti halnya CIA, Cohen dan Sanchez tahu bahwa para informan akan menjadi tulang punggung operasi mereka. Tapi dengan adanya ancaman yang datang dari seluruh dunia, mereka tidak bisa menunggu berbulan-bulan untuk membuat perencanaan yang sempurna.
Maka mereka pun bergerak dengan solusi yang berbeda. Mereka menerjunkan lebih banyak lagi petugas polisi ke lingkungan warga keturunan Pakistan. Menurut keterangan seorang mantan petugas yang terlibat langsung dalam operasi itu, keduanya memerintahkan petugas polisi untuk mencari-cari alasan sehingga bisa menghentikan kendaraan, seperti melebihi batas kecepatan, lampu belakang yang mati, melanggar rambu lalu lintas, atau apa saja.
Dengan menghentikan kendaraan, polisi mendapat kesempatan untuk mencari alasan penahanan atau melihat gerakan atau tindakan yang mencurigakan. Dari penahanan itu, polisi bisa memanfaatkannya untuk membujuk orang yang terjaring agar mau menjadi informan.
Bagi Cohen, transisi dari mata-mata menjadi polisi tidak terjadi dengan alami, kata mantan koleganya. Ketika harus membuat keputusan, terutama di masa awal tugasnya, dia terjebak dengan latarbelakangnya sebagai agen CIA. Cutter mengatakan, dia dan para petugas polisi berseragam lainnya harus memperingatkan Cohen berulang kali. Seperti dengan mengatakan, “Tidak, kita tidak bisa menerobos masuk ke apartemen seseorang tanpa surat penggeledahan”, “Tidak, kita tidak bisa begitu saja langsung menggeledah”, atau “Aturan kerja polisi berbeda.”
Sementara Cohen sedang dibentuk oleh kepolisian, latar belakang CIA-nya justru mewarnai kepolisian. Tapi, satu halangan yang paling jelas adalah cara berpikir Cohen.
Sejak tahun 1985, NYPD beroperasi dibawah peraturan pemerintah federal yang membatasi cara kerja intelijen. Sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an, kepolisian menggunakan informan, petugas berpakaian sipil (menyamar) untuk menyusup ke kelompok-kelompok protes antiperang dan aktivis lainnya tanpa alasan untuk mencari tersangka yang bertindak kriminal.
Untuk membuat tuntutan hukum, polisi setuju untuk mengikuti ketentuan yang mengharuskan adanya “informasi khusus” dari aktivitas kriminal sebelum polisi bisa mengamat-amati aktivitas politik.
Pada bulan September 2002, Cohen mengatakan kepada hakim federal bahwa ketentuan itu jelas-jelas mempersulit polisi untuk mendeteksi rencana terorisme. FBI pernah mengganti aturan itu untuk merespon 9/11, dan menurut Cohen NYPD harus melakukan hal yang sama.
“Dalam kasus teorisme, menunggu adanya indikasi kejahatan sebelum kemudian menyelidikinya adalah penantian yang terlalu lama,” tulis Cohen.
Hakim distrik AS, Charles S Haight Jr, sepakat dengan Cohen. Menurutnya, aturan lama itu adalah “untuk menghadapi bahaya di zaman yang berbeda.” Dia kemudian menyingkirkan aturan yang lama dan menggantinya dengan aturan yang lebih lentur.
Itu adalah sebuah titik balik bagi NYPD.*
Intel CIA dan NYPD Menghantui Muslim Amerika (1/4)
Intel CIA dan NYPD Menghantui Muslim Amerika (2/4)