Hidayatullah.com—Air mata mengalir deras saat Rihab Kanaan menceritakan trauma yang dideritanya setelah kehilangan putra dan puluhan anggota keluarga dalam pembantaian di Tel Al Zaatar, Sabra dan Shatila, ketika perang sipil di Libanon 30 tahun silam.
Penyair wanita yang tinggal di Jalur Gaza itu mengatakan, pemimpin Palestina saat ini telah melupakan pembantaian di Sabra dan Shatila, yang menelan korban jiwa 800-3.000 orang Palestina akibat pembunuhan massal yang dilakukan oleh pasukan milisi Kristen selama tiga hari tanpa henti sejak 16 September 1982.
“Saya akan menyalakan dua lilin dan memasang sebuah poster yang akan saya tulis, ‘Kami adalah para martir Sabra dan Shatila, jangan lupakan kami.’ Saya akan berdiri di Lapangan Prajurit Tak Dikenal untuk mengenang putra saya Mahir dan seluruh martir,” kata Kanaan, dikutip Maan (17/9/2012).
Rihab Kanaan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat terjadi pembantaian di kamp pengungsi Tel Al Zaatar semasa perang sipil di Libanon tahun 1976 . Dia kemudian menuliskan pengalamannya tentang kejadian itu.
Kanaan kehilangan 51 orang keluarga besarnya di kamp pengungsi di Beirut selama pengepungan oleh pasukan Libanon.
Beberapa tahun kemudian, penyair wanita itu kehilangan putranya, Mahir, dan dua orang sepupu dalam pembantaian di Sabra dan Shatila.
“Dia akan pergi membeli roti ketika mereka membunuhnya di masjid dalam lingkungan kamp di depan mata saudara perempuannya,” cerita Kanaan kepada reporter Maan.
“Sampai saat ini saya melihat sebuah masjid, saya teringat bagaimana Mahir wafat,” kata Kanaan.
Saat serangan itu terjadi, Kanaan tinggal bersama suami keduanya di dekat Universitas Arab di Beirut.
“Kami tahu sudah ada tanda-tanda ketegangan, terutama setelah pidato Bachir Gemayel. Kemudian setelah Gemayel dibunuh, kami yakin akan ada pembantaian. Tetapi kami tidak pernah membayangkan bahwa pembantaian itu akan sangat menakutkan dan besar seperti itu,” cerita Kanaan.
Bachir Gemayel adalah presiden Libanon yang baru terpilih pada 23 Agustus 1982. Ketika itu Gemayel yang masih berusia 34 tahun, sangat yakin perang saudara di Libanon sejak 1976 akan segera berakhir. Gemayel adalah komandan milisi bersenjata Lebanese Forces dan anggota senior Partai Phalange (Partai Kata’ib).
Tanggal 14 September 1982, bom meledak di markas Phalange di Beirut dan menewaskan puluhan orang termasuk Presiden Bachir Gemayel, seorang penganut Kristen Maronit. Pelaku pemboman diyakini adalah Habib Tanious Shartouni, yang juga seorang penganut Kristen Maronit, dengan motif balas dendam. Shartouni merupakan pendukung Partai Sosial Nasionalis Suriah di Libanon (SSNP), lawan politik Phalange yang menginginkan Libanon menyatukan wilayahnya dengan Suriah.
“Saat saya di sana, saya mendengar terjadi pembantaian. Saya berusaha pergi ke Shatila, tetapi tidak bisa. Setelah berusaha terus, saya akhirnya berhasil mencapai daerah pinggiran kamp pengungsi itu, di mana saya melihat mayat-mayat bergelimpangan dan pemandangan menyeramkan. Cerita-cerita yang saya dengar dari para saksi terlalu menyeramkan, sehingga saya tidak kuat untuk terus mendengarkannya,” kenangnya.
Waktu itu Kanaan sudah yakin bahwa putrinya tewas dalam pembantaian dan di tengah-tengah kekacauan ia tidak dapat mencari dan memastikan keadaan putrinya. Baru beberapa tahun kemudian Kanaan mengetahui bahwa putrinya, Maymana, selamat dan dirawat oleh tetangganya.
Para pejuang perlawanan Palestina sudah meninggalkan kamp sebelum pembantaian terjadi, yang tertinggal hanya para pria tidak bersenjata, perempuan dan anak-anak, kata Kanaan.
Sebagaimana diketahui, ketika itu pejuang Palestina menyerahkan seluruh persenjataan mereka kepada pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai tanda itikad baik dan patuh pada keputusan PBB yang katanya ingin mendamaikan situasi di Libanon dan sekitarnya yang kacau akibat perang. Jika dicermati, kejadiaannya mirip dengan Pembantaian Srebrenica atas Muslim Bosnia, di mana ketika itu para pejuang Bosnia juga menyerahkan persenjataannya kepada pasukan PBB sebagai penjaga zona aman Srebenica. Namun setelah itu, pasukan PBB justru lepas tangan dan membiarkan pasukan Kristen Serbia memasuki Srebrenica dan dengan leluasa membantai ribuan Muslim Bosnia.
Beberapa tahun setelah pembantaian di Sabra dan Shatila, Kanaan pindah ke Jalur Gaza. Setiap tahun pada peringatan pembantaian itu, Kanaan selalu memnta kelompok-kelompok HAM internasional dan negara-negara Arab untuk melakukan penyelidikan atas pembantaian tersebut dan menyeret pelakunya ke meja hijau.
“Dua tahun lalu saya mengunjungi Libanon untuk berdoa kepada Allah atas nama para martir dari keluarga saya. Dan hal itu sangat menyakitkan, sebab saya melihat tidak ada yang berubah di Sabra dan Shatila,” kata Kanaan.
“Kehidupan di seluruh kamp pengungsi di sana masih sangat sulit tak tertahankan, tetapi para penghuninya masih bermimpi bahwa suatu hari mereka akan bisa kembali ke kampung halamannya (Palestina),” kata Kanaan.
Pembantaian Sabra dan Shatila terjadi bersamaan dengan invasi pasukan Israel ke Libanon. Ketika itu pasukan milisi Phalange memasuki kamp pengungsi Palestina di Beirut dengan tujuan balas dendam atas kematian Bachir Gemayel. Pasukan Kristen membantai warga Palestina dengan kawalan pasukan Zionis Israel yang memblokade kamp tersebut. Selama tiga hari pembantaian, dari tanggal 16 sampai 18 September 1982, ribuan orang tewas dan banyak di antaranya meninggal dengan luka tebasan pisau dan kapak. Pembantaian itu baru diketahui dunia internasional setelah beberapa hari kemudian.*