Sambungan artikel PERTAMA
Polusi dan pengangguran
Pada saat yang sama, ketika wilayah lain mendapat keuntungan dari sumber daya Ahwaz, orang Arab setempat yang paling menderita karena polusi yang dihasilkan, namun mereka tidak mempunyai uang untuk membayar tagihan medis.
“Hanya 5 persen dari posisi pemerintahan di wilayah ini yang diduduki oleh orang Arab. Wilayah yang mayoritas ini tidak pernah dipimpin oleh gubernur beretnis Arab sejak 1925. Di satu pabrik pengeboran minyak yang mempunya 4000 karyawan, setelah ditelusuri hanya 7 orang diantaranya yang beretnis Arab,” kata Azizi.
“Anda akan menemukan lowongan pekerjaan di Ahwaz diiklankan di luar provinsi ini, dimana etnis Arab bahkan tidak menyadari lowongan pekerjaan yang tersedia di halaman belakang rumah mereka sendiri. Dan mereka yang mendengar tentang itu dan mendaftar, jarang mendapat pekerjaan itu,” dia menambahkan.
Puncak ketegangan antara pemerintah dan Ahwazis terjadi pada 2005, dimana milisi melakukan beberapa pengeboman dan tentara membalasa dengan serangan mematikan. Dua orang terbukti bertanggung jawab melakukan pengeboman dan telah digantung pada tahun 2006. Hari ini, demo damai yang menolak diskriminasi, marjinalisasi dan “penahanan dari pembangkang non-kekerasan” berlanjut.
Para etnis Ahwazis di pengasingan juga ikut serta dalam sebuah kampanye panjang untuk mengubah demografis wilayah itu, dimana banyak keringanan diberikan kepada orang-orang dari luar wilayah untuk dapat bekerja di provinsi itu, walaupun angka pengangguran di wilayah itu kadang mencapai angka 37 persen.
Wacana Anti-Arab
Mereka juga berbicara sekaligus tentang rasisme pada level nasional, kendati diklaim oleh banyak dari kelompok ulama bahwa mereka ada keturunan dari Nabi Muhammad, yang merupakan orang Arab.
“Minoritas lain, seperti Kurdi, Turk, Azeris, Baluchi dan Lor mungkin menghadapi ‘penindasan nasiona’. Tetapi Ahwazi Iran menemukan bentuk-bentuk tambahan dari wacana anti-Arab di media dan di buku-buku,” kata Azizi.
“Orang Arab diluar Iran tidak mengetahuinya karena bentuk rasisme itu tidak ditampilkan dalam publikasi rezim yang berbahasa Arab dan siaran, yang sasarannya adalah penonton Arab diluar Iran. Tetapi kamu (Orang Arab di Iran) merasakan itu setiap saat,” dia menambahkan.
“Rezim membutuhkan bahasa Arab untuk tujuan propaganda dan juga karena terdapat banyak warisan reliji yang berbahasa Arab. Tetapi mereka tidak ingin Ahwazis berkomunikasi dengan bahasa asli mereka sendiri. Mereka bahkan mengubah nama-nama wilayah yang awalnya berbahasa Arab menjadi bahasa Persia,” kata Azizi.
Berubah menjadi Sunni
Sikap keras terhadap identitas Arab di wilayah itu membawa pada bertambahnya jumlah dari pemuda Ahwazi yang berpindah menjadi Sunni, yang beberapa dari mereka anggap lebih mendekati akar keturunan Arab mereka. Iran sendiri dulunya didominasi Sunni hingga Shah Ismail dari dinasti Safavid mengeluarkan kebijakan yang memaksa mereka berganti keyakinan di abad 16.
Bagaimanapun, para Ahwazi yang berpindah menjadi Islam Sunni akan menghadapi masalah karena otoritas mengancam mereka dengan hukuman penjara, meskipun tidak ada undang-undang resmi yang melarang berpindah sekte atau agama.
Alsaedi, Azizi, dan Saedi berpendapat bahwa identitas atau kepercayaan apapun yang berada di luar apa yang penguasa telah inginkan akan mendapat penindasan yang amat berat, dengan dakwaan-dakwaan elastis yang dirancang khusus agar dapat cocok dengan segala bentuk perbedaan pendapat yang dirasakan.
“Jika kamu tidak mengikuti ideologi rezim, kamu bahkan tidak akan dapat mengikuti Pemilu, rezim akan menang sendiri,” kata Saedi, “itulah kenapa orang Arab tidak mempunyai wakil di pemerintahan. Lagipula hasilnya telah ditentukan.”.*/Nashirul Haq AR