“SEBAIK-BAIK kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya,” demikian pesan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam dalamn hadits shahihnya.
Di tengah kesibukannya bekerja sebagai Ketua Tim Mufattisy lil Qur’an (pentashih mushaf Al-Qur’an) di salah satu kabupaten di Mesir, Syeikh Muhammad Nasir Syita memanfaatkan sisa waktu bekerjanya untuk mengajar anak-anak santri Tapan Pendidikan Al-Quran (TPA) di Menyah tempat dia tinggal.
Tak semua orang mau mendedikasikan dirinya mengajar Al-Quran, apalagi itu hanya kepada anak-anak belia di TPA. Banyak orang yang memiliki kemapuan hafalan Al-Quran atau lulusan perguruan tinggi Islam ternama, justru memilih lembaga dengan reputasi besar dan mapan. Tapi tidak dengan Syeikh Muhammad Nasir Syita.
Syeikh Nasir, begitu dia biasa disapa justru menghabiskan waktunya setelah bekerja untuk mengajar hafalan Al-Qur’an untuk anak-anak TPA di kampungnya. Yang menarik, pekerjaan mulia ini sudah dilakonya selama 29 tahun sejak lulus dari Universitas Al Azhar.
Mengharap Pahala
Perjalanan hidup Syeikh Nasir dimulai saat melamar menjadi seorang guru di sebuah sekolah SMA, di bawah naungan Al Azhar Mesir. Kala itu ia diterima dan mengajar di sana selama 16 tahun.
Karena kekuatan hafalan Al-Qur’an dan kecintaan terhadap Al-Quran, membuat Syeikh Nasir mengajukan permohonan ke Al Azhar untuk menjadi bagian tim pentashih Al-Qur’an.
Nampaknya Syeikh nasir lulus ujian dan diterima menjadi anggota tim. Sekarang ia telah menjadi Ketua Tim taftisy lil Qur’an di Gharbiyah salah satu kabupaten di Mesir. Dia pun meninggalkan mengajar di SMA tempat dia bekerja yang lama.
Sejak kecil, alumni universitas Al Azhar Kairo ini memang bercita-cita menjadi seorang guru Al-Qur’an. Dia pun hafal Al-Qur’an ketika usia sembilan tahun. Sebelum mengngajar anak-anak di kampungnya, Syeikh Nasir sempat merantau ke Iraq untuk bekerja sebagai karyawan sebuah restaurant selama empat tahun.
Sepulang dari Iraq, dia pun mulai membuka sebuah Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di kampunya di Mesir.
Dengan mengharap pahala dan ridho dari Allah Subhaanahu wata’aala dia akhirnya membuka TPA di rumahnya.
“Motivasi saya membuka dan mengajar TPA ini tidak lain adalah mengharapkan pahala dari Allah. Saya mohon pahala dari-Nya untuk saya dan orangtua saya,” paparnya kepada hidayatullah.com pekan lalu.
“TPA ini bukan untuk mencari uang semata. Karena kalau niat awalnya untuk mencari uang, pasti tidak berkah dan akan cepat tutup,” tambahnya bersahaja.
Walaupun sudah naik jabatan menjadi Ketua Taftisy Lil Qur’an di bawah naungan Al Azhar, Syekh Nasir tidak lantas menutup TPA nya. Ia justru semakin semangat karena tidak sibuk memikirkan biaya hidup keluarganya.
Menurutnya, tunjangan dari mufattisy sudah mencukupi untuk hidup keluarganya. Setiap hari ia pergi ke tempat tugas setelah shalat Subuh dan berakhir hingga Ashar.
Perjalan menelan waktu satu jam dengan kereta api. Setelah shalat Ashar, Syeikh Nasir istirahat sebentar kemudian langsung menuju ke TPA-nya guna mengngajar anak-anak sampai jam 21.00 CLT.
Hingga saat ini jumlah anak-anak yang dia didik di TPA-nya mencapai 200 anak. Mulai dari anak usia balita sampai usia SMP.
Mereka pun tempatnya dibedakan antara anak-anak balita, SD dan SMP. Karena tempatnya yang sangat sederhana dan tidak terlalu besar, santrinya pun di bagi menjadi dua tempat. Satu tempat dia sendiri yang ngajar. Sedangkan tempat yang satunya lagi dikelola oleh istri dan anaknya. Tapi dia juga ikut membantu sepulang dari TPAnya.
“Musim belajar formal seperti sekarang ini, jumlah santri TPA sekitar 200-250 anak. Namun ketika musim panas, musim liburan, bisa mencapai 400-an anak. Rumah ini penuh, bahkan sampai keluar-keluar. Alhamdulillah,” ujarnya kepada hidayatullah.com.
TPA yang dia kelola masuk mulai jam 16.30 (setelah asar) sampai 20.00 (setelah Isya). Sedangkan yang dikelola sang istri dan anaknya mulai jam yang sama namun sampai pukul 21.00 CLT karena jumlah santrinya lebih banyak.
Karena tempatnya terbatas, maka Syeikh mempersilahkan anak-anak yang sudah setoran hafalan untuk pulang dan mempersiapan hafalan untuk besok. Masing-masing santri memiliki buku catatan hafalan mereka. Sebelum pulang, santri disuruh untuk membaca didepan Syeikh ayat-ayat yang akan dia hafal. Setiap santri dituntut untuk setoran hafalan baru dan muraja’ah.
Adapun untuk anak-anak balita, Syeikh punya metode sendiri dalam mengajarnya.
“Khusus anak-anak balita, saya mereka tuntun untuk menirukan ayat yang ampong a sampai hafal. Semua mereka harus mengikutinya. Namun saya fokuskan kepada beberapa anak yang mana itu adalah surat yang akan mereka hafal. Karena setiap anak berbeda surat yang akan dihafalnya. Setelah yang difokuskan selesai, maka gentian beberapa anak yang lainnya didudukkan didepan dan saya fokus kepada mereka. Begitu seterusnya,” paparnya panjang lebar.
Syeikh Nasir yang sangat keras dalam mengajarnya, membuat anak-anak benar-benar menyiapkan hafalannya dengan baik. Siapa saja yang tidak lancar hafalannya, maka harus bersiap menghadapi kerasnya berhadapan dengannya. Tidak jarang santri yang menangis karena mendapat hukuman tidak lancar hafalannya.
Sebelumnya ia pernah menggunakan kayu pukukan sebagai hukuman. Namun hal seperti ini bukan sebuah masalah di Mesir, karena hal seperti ini sudah biasa dalam adat masyarakat setempat yang dikenal berwatak keras.
Di sisi lain, para orangtua mereka sudah menyerahkan anak-anak mereka untuk diajar Al-Quran.
Saat hidayatullah.com menanyakan kenapa harus menggunakan pendidikan yang keras dan pukulan, ia menjawab dengan bersahaja.
“Jika mereka itu tidak dikerasin, mereka tidak mau belajar dengan baik. Karena itulah kami keras terhadap anak-anak,” ujarnya.
Meski demikian, semua santrinya sudah terbiasa menghadapi Syeikh. Bagi para santri, belajar keras dan hukuman bukan membuat mereka lari menjauh dari TPA-nya, justeru semakin giat belajar.
Adalah Salma, santri kelas 5 SD hafalannya sudah 13 juz.
“Saya hafal Al-Qur’an sudah 13 juz. Saya belajar di sini sejak kelas satu SD sampai sekarang,” katanya.
Lain lagi dengan Asyraf kelas 4 SD, dia hafal 7 juz.
“Saya baru hafal tujuh juz aja. Saya belajar disini sejak dua tahun yang lalu.”
Kini, usia TPA yang ia kelola, sudah berumur, 29 tahun, hampir separuh dari umurnya. Para santri yang sudah selesai tahfidznya juga tak kalah banyak. Sudah sekitar 63 anak penghafal Al-Quran yang lulus dan rata-rata sudah menjadi doktor dalam bidang masing-masing.
Soal juara jangan ditanya. Berbagai piala dan penghargaan para santrinya sudah tidak terhitung lagi.
“Anak-anak sering saya ikutkan lomba. Dan Alhamdulillah mereka juara. Sertifikat juara lombanya juga sudah banyak. Mereka dapat jaizah (hadiah) uang dan Syeikhnya juga dikasih,” terang Syeikh Nasir sambil tersenyum.
Yang menarik, Ia tidak menentukan jumlah pembayaran bagi para santrinya. Ada yang bayar atau tidak, semua tetap diajar Al-Quran.
“Saya tidak memaksa anak-anak untuk bayar uang TPA. Ada yang bayar ada juga yang tidak. Tidak apa-apa, yang penting mereka mau belajar. insyaAllah Allah akan membantu hambanya yang berjuang untuk agamanya,” paparnya.
Ia menyesalkan sikap pemerintahan dan masyarakat yang mengabaikan sekolah-sekolah agama.
“Sekarang ini sekolah-sekolah agama terabaikan. Seharusnya Al-Qur’an ini disekolah dijadikan salah satu mata pelajaran yang pokok bukan sebagai tambahan, begitu juga dengan pelajaran-pelajaran syar’iyyah (agama),” sesal dengan penuh harap.*/Jundi Iskandar, koresponden hidayatullah.com di Mesir