“Surau (Mushala) Pak Sjaf” dan “Dangau (Pondok) Yaya” di Nagari Halaban, Kabupaten Limopuluh Koto, Sumatera Barat, sudah tak berbekas lagi. Yang ada hanya gudang reyot dan bekas kebun teh yang tidak terurus lagi. Dangau dan Surau bersejarah itu sudah lenyap dibombardir pesawat Mustang agresor Belanda.
Halaban dapat ditempuh dari kota Padang ibukota provinsi Sumatra Barat menuju kota Payakumbuh sekitar 140 kilometer dengan melalui rute Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh. Dari kota Payakumbuh perjalanan dilanjutkan ke arah Selatan sejauh 30 kilometer. Dari Halaban menuju Dangau Yaya dan Surau Pak Sjaf, perjalanan masih harus dilanjutkan lagi dengan menapaki jalan tanah berbatu di lereng perbukitan terjal dengan jurang yang dalam.
Di pondok seorang petani bernama Yaya di tengah hutan Halaban itulah, pada pukul 03.40, hari Rabu, 22 Desember 1948, Sjafruddin memproklamirkan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia lengkap dengan susunan kabinet. Inilah pemerintahan, yang menjaga nafas proklamasi terus berhembus hingga saat ini, dengan Sjafruddin Prawiranegara, sebagai Presiden/Ketua dan Mr. Teuku Mohammad Hasan sebagai wakilnya.
Keesokan harinya, dari “Surau pak Sjaf” itulah pada 23 Desembar 1948, Sjafruddin berhasil membuka mata dunia internasional bahwa ternyata Indonesia masih ada dan agresi Belanda adalah tidak sah. Melalui stasiun Radio bergerak Dick Tamimi di surau itu Sjafruddin berhasil mengontak Stasiun Radio AURI lainnya baik yang berada di Jawa maupun di Sumatera (Ranau, Jambi, Siborong-Borong dan Kotaraja) yang kemudian dipancar teruskan ke Kalkuta, New Delhi India dan berbagai kota penting dunia.
Kabar penting dari pak Sjaf dari tengah hutan Sumatera itulah yang membuat sejarah berubah 180 derajat. Yang memaksa Komisi Tiga Negara (KTN) bersidang di New Delhi dan berakhir dengan keluarnya resolusi PBB tentang kewajiban Belanda menghentikan agresi dan membebaskan Soekarno-Hatta dari tahanan serta mengembalikan Ibukota RI Yogjakarta yang diduduki Belanda.
Kawasan pedalaman Halaban berada di kaki Gunung Sago. Pasca PDRI hingga era reformasi ini, tidak banyak mengalami perubahan dan belum begitu disentuh pembangunan.
“Surau pak Sjaf dan dangau Yaya memang tak berbekas lagi, sudah lama dibumihanguskan Belanda. Tetapi rencana Pemerintah Pusat membangun Monumen Nasional PDRI dan membangun Museum Sjafruddin Prawiranegara di lokasi ini, masih menjadi janji-janji kosong belaka,” tutur pak Badrul Mustafam tokoh masyakat Halaban senja itu.
Terkait dengan akses jalan menuju lokasi yang rusak parah, Pemkab Limapuluh Kota juga diminta agar bergerak cepat mengatasi permasalahan ini. Pasalnya, akses jalan tanah berbatu yang menyisir lereng perbukitan berjurang dalam tersebut, sangat berisiko dilewati pengunjung.
Badrul menilai, sejak zaman Orde Baru, sejarah perjuangan PDRI di belantara hutan Sumbar, demi menyelamatkan kemerdekaan serta keutuhan bangsa dan negara berdaulat, terkesan sengaja ditutup-tutupi dan diabaikan. Bahkan di masa lalu, fakta-fakta sejarah perjuangan PDRI, sebagai sebuah mata rantai sejarah perjuangan Indonesia yang tak bisa dilupakan ini disinyalir dibelokkan oknum. Sehingga sejarah yang diwariskan tidak mengungkapkan fakta sebenarnya, seolah-olah mengeyampingkan pengorbanan PDRI.
Pemerintahan Mobile
Sjafruddin Prawiranegara memimpin pemerintahan PDRI secara mobile, bergerak dan terus bergerak dari suatu tempat ke tempat lainnya di belantara hutan Sumatera Barat.
Di Bukittingi, kota yang terkenal dengan landmarknya Jam Gadang, di sinilah cikal bakal PDRI digagas Sjafruddin. Tapi sebelum diproklamirkan, ibukota Sumatera Tengah ini keburu dibombardir Belanda.
Kota ini memang menjadi target kedua pasukan Belanda untuk diduduki setelah Yogyakarta. Kota itu menjadi pusat Pemerintahan Republik Indonesia wilayah Sumatera.
Ahad pagi 19 Desember 1948, Bukittinggi juga diserbu Belanda. Kebetulan saat itu Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI dalam Kabinet Soekarno-Hatta, sedang berada di Bukittinggi. Sjafruddin datang ke Sumatera sejak 10 November 1948 dalam rangka melaksanakan tugas kementerian.
Selain itu beberapa tempat seperti Pariaman dari arah laut, Padang Panjang, dan Payakumbuh juga diserang oleh Belanda dengan Mustangnya. Akibatnya berbagai fasilitas pemerintahan dan masyarakat hancur. Serangan itu diikuti oleh penyebaran pamflet oleh Belanda. Isinya yang penting antara lain Presiden Soerkano dan Wakil Presiden Muhammad Hatta sudah ditangkap Belanda dan kota Yogjakarta sudah diduduki. Oleh karenanya seluruh pejuang republic di daerah diperintahkan menyerah.
Seruan itu tak pernah diacuhkan Sjafruddin. Di tengah badai bom, ia masih berani ke luar rumah mendatangi Mr. Tengku Mohammad Hasan, Ketua Komisariat Pemerintahan Pusat, di rumahnya di Jl. Ateh Ngarai, Bukittinggi. Tujuannya untuk menyusun Kabinet PDRI. Namun belum sempat kabinet PDRI disusun, balantentara Belanda sudah mendarat di Bandara Gadut. Bukittinggi dikepung dan dibombardir pesawat mustang.
Berbeda dengan Soekarno yang menolak diajak perang gerilya, menjelang detik-detik kejatuhan kota Yogjakarta, Sjafruddin justru tidak mau menyerah untuk ditangkap Belanda. Dia malah memerintahkan Bukittinggi segera dikosongkan dan perang gerilya dilanjutkan di luar kota.
Kini, saat menyusuri kota Bukittinggi, tak ada monumen nasional atau bangunan saksi sejarah PDRI di Bukittinggi. Kawasan Ateh Ngarai, tempat Sjafruddin pertama kali menggagas PDRI, kini sudah menjadi kawasan wisata yang dipenuhi wisma, dan hotel berbintang.
Untuk menghindari sergapan Belanda, eksodus ke luar kota Bukittinggi dibagi menjadi beberapa rombongan. Pertama, dipimpin langsung oleh Sjafruddin, meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, sebuah kampung kecil di Selatan Payakumbuh. Rombongan kedua dipimpin Panglima Sumatera, Kolonel Hidayat, menuju Aceh.
Ketiga, rombongan Kepala Polisi Sumatera Barat, Komisaris Sulaiman Efendi, membawa anak buahnya menuju Rao Pasaman. Keempat, rombomgan Wakil Gubernur Sumatera Tengah, Mohammad Nasroen, pergi menuju Lubuk Sikaping. Dan terkahir, rombongan Residen Sumatera Tengah, Mohammad Rasyid, dilengkapi pemancar radio, berangkat menuju Halaban, terus ke Koto Tinggi, sebuah nagari pusat PDRI di pedalaman Kabupaten 50 Kota yang berjarak 30 km dari kota Payakumbuh.
Begitu PDRI diproklamirkan lengkap bersama kabinetnya, Belanda pun menyerbu Halaban.
Tapi Sjafruddin sudah duluan bergerak menuju Muaro Mahad. Dari kampung diperbatasan ini, perjalanan diteruskan dengan tujuan kota Pekanbaru, Riau. Tapi setiba di Bangkinang Riau, Sjafruddin sudah mendapat bocoran bahwa pasukan Belanda akan menghadang.
Beruntung Sjafruddin dan pasukannya bisa selamat. Mereka meneruskan perjalanan ke Taratakbuluh dan Lipatkain, berlanjut ke Muaralembu dan Teluk Kuantan. Tetapi kemudian Belanda mengendusnya di Teluk Kuantan. Kembali pesawat tempur penjajah mencurahkan pelurunya. Sjafruddin dan pasukannya memutar arah perjalanannya menuju Kiliranjao dan terus ke Sungai Dareh. Dari sini Sjafrudin melanjutkan gerilya dengan menaiki rakit menghiliri Sungai Batang Hari menuju Bidar Alam, lokasi di pedalaman yang rasa lebih aman karena jauh tersuruk.
Kurang Terawat
Saat ini, mengujungi Badar Alam, tak perlu naik rakit lagi. Sarana jalan sudah tersedia meski tidak begitu mulus. Untuk sampai ke Bidar Alam dari Kota Padang perjalanan berlanjut ke Padang Aro, Kabupaten Solok Selatan sejauh 190 Km. Dari Ibukota Propinsi ini, Bidar Alam dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau kendaraan roda empat.
Bidar Alam, kampung yang berada di kaki bukit ini memang terkenal dengan Rumah Jama rumah milik Jama yang pernah dijadikan markas pemerintahan PDRI sekaligus tempat tinggal Sjafruddin Prawiranegara. Warga menyebutnya “Rumah PDRI”
Rumah gadang banjuang ini merupakan saksi perjuangan perlawanan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kedaulatan negara Republik Indonesia dari cengkeraman Penjajahan Belanda. Rumah PDRI ini digunakan sebagai Pos Keamanan dan pernah menjadi tempat berlangsungnya sidang-sidang Kabinet PDRI pada tahun 1949, selama + 3 bulan pada masa itu yakni dari bulan Januari sampai dengan bulan April 1949.
Nagari Bidar Alam sebuah mata rantai sejarah yang nyaris dilupakan, namun tak dapat dipungkiri bahwa Nagari Bidar Alam pernah menjadi basis perjuangan PDRI.
Selain Rumah Jama juga masih ditemukan Surau Bulian bekas stasiun pemancar radio AURI yang dibawa dari Bukittinggi, serta Masjid Nurul Falah Mr Sjafruddin Prawiranegara, juga ada tugu peringatan basis PDRI Bidar Alam dengan ukuran kecil.
Kini kondisi rumah PDRI kurang terurus, pagar pengaman bangunan bersejarah telah raib. Taman di sekitar rumah juga kurang mendapat perhatian, bahkan plang nama bangunan bersejarah itu menggunakan ikatan tali.
Pagadis yang Terlupakan
Nagari Pagadis jauhnya sekitar 18 kilometer dari jalan raya Bukittinggi-Pasaman. Hingga kini, setelah 66 tahun Indonesia merdeka, nagari tersebut masih kelihatan seperti hutan yang perawan. Disanalah Sjafruddin Prawiranegara pernah tinggal selama lebih kurang tiga bulan pada tahun 1949.
“Di sini pak Sjaf tinggal di sebuah surau yang yang sekarang sudah tidak ada lagi. Beliau tinggal bersama beberapa pejuang Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) lainnya,” kata salah seorang pemuka masyarakat Nagari Pagadih Dt. Lenggang Sampono.
Dt. Sampono mengetahui hal ini karena ketika Sjafruddin Prawiranegara tinggal di sana ia telah menduduki bangku Sekolah Rakyat (SR).
Banyak hal yang telah dilakukan Pak Sjaf selama menetap di Pagadis. “Di sinilah Pak Sjaf juga menyusun strategi bersama tentara gerliyawan untuk melawan penjajah Belanda,” jelas Dt. Sampono yang telah berusia 74 tahun itu.
Bersama tentara grilyawan dan penduduk Pagadis, Sjafruddin juga turut melakukan ronda malam.
”Walau pun beliau Presiden PDRI, tetap ikut ronda bersama warga,” kenangnya.
Sebuah kenangan yang tidak bisa dilupakan warga setempat adalah makan baonggok bersama pak Sjaf (makan nasi berjemaah) yang disediakan penduduk setempat.
Sebelum meninggalkan Nagari Pagadis sekitar bulan Juli 1949 itu, pak Sjafruddin mengusulkan Pagadis dibentuk menjadi sebuah nagari.
“Jadi nagari ini telah terbentuk sejak 1949 lalu,” kata mantan Ketua Karapatan Adat Nagari (KAN) Pagadis tersebut.
Walau demikian, Nagari Pagadis hingga sekarang tidak banyak mengalami perubahan. Nagari ini masih seperti nagari pada 60 tahun yang lalu. Masih alami dan belum banyak mengalami perkembangan. Jalan hanya seadanya dan sekarang telah tampak mengecil karena semak di tepi jalan terus meninggi. Lubang jalan pun telah besar-besar. Aspal kasar itu telah tampak hancur.
Di dalam sana, ada dua mesjid yang masih terbengkalai. Belum ada SMA atau Madrasaah Aliyah. Sehingga baru saja tamat SMP, pelajar Pagadis terpaksa merantau dulu.*