RINAI hujan baru saja berhenti membasahi bumi. Tiupan angin pun perlahan menurunkan tensi. Namun udara dingin masih saja bersemi. Membuat raga merindukan selimut hangat penjemput mimpi. Begitulah yang saya rasakan saat hendak menginap di Mushalla Majelis Ta’lim Assunni.
Ahad, 24 Mei 2015 itu, kawasan pengungsian Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa, sudah cukup lama ditinggalkan waktu Isya’. Sejumlah orang sedang menyiapkan alas tidur. Belum juga diriku melakukannya, sesosok pria berbadan besar menyamperi.
“Dari mana, Bang?” ujarnya berlogat Aceh seperti menginterogasi. Saya pun menjelaskan profesi serta tujuanku hadir di mushalla ini.
“Sudah izin belum?” Wah, ternyata harus izin juga. Tapi wajar. Sebab, seperti kata abang tadi, di mushalla banyak barang-barang berharga. Demi keamanan, tidak sembarang orang boleh menumpang tidur di sini.
Akhirnya, pria yang kuketahui kemudian sebagai penanggung jawab mushalla ini membawaku ke bagian shaf belakang. “Nur Hasan?!” serunya ke arah sebuah tenda berbeda. Dari situ keluar seorang pria bercambang. “Abang ini mau numpang tidur di sini ya?!” lanjutnya kemudian diiringi bahasa isyarat.
Yang diajak bicara menoleh kepadaku. Saya menghadiahkan senyuman kepada Nur Hasan, pengungsi Rohingya yang juga imam di mushalla ini. Kami cukup sering bertemu. Sabtu kemarin ia kuwawancarai. Mungkin karena saya tak asing baginya, dengan ramah diriku dipersilahkan beristirahat di “wilayah kekuasaannya”.
Bilik “Semedi” Rahasia
“Nguiiinnggg!” “Plak!” Dengungan nyamuk kusambut dengan tepukan keras. Hampir pukul 03.00 WIB, saya sudah terbangun oleh gigitan gerombolan makhluk kecil itu. Saat bersamaan, bagian bawah lambungku memberi sinyal minta dikosongkan. Ditemani cahaya rembulan, saya bergegas ke samping hutan di timur lokasi pengungsian. Di situ terdapat dua puluh lebih bilik-bilik toilet.
Senin (25/05) dinihari itu adalah kedua kalinya saya buang hajat di sini, setelah sebelumnya pada Sabtu siang. Suasana darurat di area khusus ini benar-benar terasa. Perlu penjiwaan, rasa empati, dan kesabaran untuk “bersemedi” beberapa menit di ruang privasi dan rahasia itu.
Setiap bilik berukuran sekitar 1,5 meter persegi. Lantainya berupa deretan kayu, dengan satu lubang pembuangan yang langsung tembus ke tanah berlubang di bawahnya. Dindingnya dari triplek, dengan pintu kain terpal tanpa tali pengunci, tanpa atap. Jadi jangan tanya lagi soal aroma di area pertoiletan ini. Hidungku harus sering-sering menghembuskan napas atau menahannya agar tak terlalu kebauan.
Untungnya persediaan air cukup melimpah. Walau mesti menampungnya dulu ke ember dari beberapa gentong gede yang memisahkan antara deretan toilet pria dan wanita. Meski demikian, kondisi tersebut selama ini tampak dinikmati saja oleh para pengungsi.
Sekitar 50 meter dari situ, uap tebal mengepul saat dua dandang besar berisi nasi matang dibuka tutupnya. Di dapur umum pengungsian, sekitar sepuluh orang petugas tampak sibuk mempersiapkan konsumsi. Berdasarkan data UNHCR (Badan PBB Urusan Pengungsi), di Kuala Langsa terdapat 667 pengungsi Myanmar dan Bangladesh (bukan cuma pengungsi Myanmar, sekaligus ralat artikel sebelumnya). [Baca: Malam Pertama Bersama Idris di Pengungsian]
Untuk mengisi perut para migran itu, menurut petugas dapur, setiap hari mereka memasak sekitar 9-12 karung beras berukuran 50 kg. Atau rata-rata setengah ton beras untuk tiga kali makan. Tak heran, pada pagi dinihari saya sudah menjumpai kesibukan masak-memasak.
Dapur umum ini terletak di sisi timur barak Rohingya. Saya sempatkan menengok kondisi malam hari barak tersebut. Di gudang sebesar dua kali lapangan futsal ini, para pengungsi sedang terlelap. Puluhan kelambu bergelantungan di ruang khusus wanita dan anak-anak. Sementara para pria, yang ruangannya dipisahkan dinding triplek setinggi dua meteran, nyaris semua tak pakai kelambu. Mereka dijaga dua orang petugas Satpol PP.
Terkejut Usai Tahajud
Tak terasa sudah satu jam lebih sejak bangun tidur. Bermodalkan wudhu, saya kembali ke mushalla. Di tempat ini tengah terlelap 2 orang Rohingya dan 2 relawan. Sesekali terdengar suara tepukan tangan mengusir nyamuk. Sementara hembusan kipas bersimfoni dengan keheningan malam. Suasana yang sungguh tenang untuk berjumpa dengan Tuhan.
Hingga sekitar pukul 05.00 WIB, saya sudah mengisi waktu dengan membuka laptop. Berbeda dengan Jakarta, jam segitu di Aceh memang belum masuk waktu Shubuh. Di tengah aktivitasku menuliskan sejumlah laporan, seorang remaja Rohingya masuk mushalla. Pria bersarung, kemeja, dan peci itu rupanya hendak menunaikan tahajud.
Saya tertarik mencermati sekilas setiap rukun shalatnya. Dari takbir, ruku, sujud hingga tahiyatnya kurang lebih sama dengan gerakanku sebelumnya. Perbedaan kami pada status kewarganegaraan dan nasib kehidupan. Saya hidup merdeka tanpa penindasan. Dari Jakarta naik pesawat ke Medan, lalu menempuh jalur darat ke Nanggroe Aceh Darussalam, dengan perjalanan mulus hanya beberapa jam.
Sementara dia, demi menghindari kekejian ekstremis Buddha, terpaksa meninggalkan negaranya. Dari Myanmar terombang-ambing di samudera, ditolak di Malaysia, hingga kini mengungsi di daratan Sumatera.
Gelombang panjang perjalanannya, mungkin tengah dilaporkannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Entah apa saja yang diminta dalam doanya. Ingin kutanyakan demikian selepas ritual ibadahnya. Namun sayang, dari isyarat tubuhnya, ia mengaku tak pandai bercakap Melayu, Inggris, dan Arab.
Meski terkendala bahasa, remaja tadi tak sungkan berakrab ria denganku. Karakter orang-orang Rohingya tampaknya memang begitu. Tahu-tahu ia mengajakku bicara tentang ponsel dan laptopku yang tergeletak di lantai. Tentu saya tak mengerti.
Agar tak kecewa, kuajak ia berbincang sekenanya. “What’s your name?” Pertanyaanku kali ini dimengerti. Ia menyodorkan lengan kanannya yang dilingkari dua gelang plastik kuning. Bagian atas gelang-gelang itu berwarna putih, dibubuhi keterangan diri sang pengungsi. Begitu melihat identitasnya, saya terkejut.
“You Abdu Shukur,” ujarku sambil menunjuk ke dadanya, “and me Abdus Syakur,” lanjutku sambil menunjuk diri sendiri.
Ia benar-benar paham yang saya maksud. Wajahnya menyiratkan kekagetan dan kegembiraan. Ia seakan ingin mengatakan, “Wow, benarkah….!” Dua senyuman pun mengembang di wajah kami masing-masing. Sungguh bukan suatu kebetulan.
Paginya, senyumku kembali beradu dengan pengungsi dari negara lain. Kali ini dalam suasana berbeda. Usai shalat Shubuh, saya “terjebak” dalam sebuah keributan. Orang-orang itu berteriak dengan tensi panas.*/Bersambung