“ASSALAMU’ALAIKUM warahmatullah…”
Seorang imam menoleh ke kiri sembari mengucapkan salam kedua. Gerakannya diikuti ratusan orang di belakanganya. Ritual ini menandakan shalat Shubuh berjamaah di sebuah masjid baru saja berakhir. Seketika, suasana di ruangan semi terbuka itu diliputi keheningan. Jamaah pun terpekur dengan dzikir masing-masing.
Tiba-tiba…
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Sebuah suara memecah kebuntuan. Salam ketiga pada pagi nan gelap itu berasal dari barisan sang imam. Namun, yang mengucapkannya bukan imam tersebut, melainkan seorang jamaah yang baru saja menjadi makmum shalat.
Makmum tersebut adalah seorang pejabat di Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta. Pekan kedua di bulan Ramadhan 1435 H itu, sang pejabat tengah berdiri di atas podium. Tapi siapa sangka, berdirinya dia di depan jamaah Masjid Ummul Quraa, Kalimulya, Cilodong, Depok, Jawa Barat lantaran sebagai rakyat jelata.
Ya, rakyat jelata! Dialah Abdul Aziz Kahar Muzakkar, mantan Calon Wakil Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel). Pria kalem ini yang mengakui sendiri bahwa dirinya rakyat jelata.
“Sejak tinggal di Depok tahun 1998, saya selalu menjadi rakyat jelata ini. Belum pernah saya ditunjuk menduduki jabatan di sini,” ujarnya di balik pengeras suara saat menyampaikan tausiyah usai Shubuh.
Sebagaian jamaah masjid termasuk awak hidayatullah.com yang mendengarnya manggut-manggut. Jamaah tersebut adalah para ustadz, warga, dan santri Pondok Pesantren Hidayatullah Depok. Di depan mereka, Abdul Aziz tampil dengan ‘seragam’ mirip para jamaah. Ia berpeci putih, berbaju koko putih, dengan sarung kecoklatan berwarna mirip podium kayu yang tengah diinjaknya pada Sabtu (12/7/2014) itu.
Abdul Aziz menuturkan, sebenarnya dirinya pernah menduduki jabatan elit di sebuah ormas Islam, yaitu sebagai ketua dewan syura. Walau begitu, khusus di kampus pesantren tersebut, dia tak pernah menjabat sebagai apapun.
Olehnya, di pesantren itu dia selalu menganggap dirinya adalah rakyat jelata. Sebagai rakyat, tugasnya mengikuti setiap aturan pesantren dan perintah para pengurusnya.
Bangun Tengah Malam
Meski begitu, Abdul Aziz mengaku, dia juga kerap dimintai pendapat oleh pengurus pesantren. Dia pun tak sungkan melontarkan ide, saran, pun kritik. Tapi tetap saja keputusan dari para pengurus yang dia taati.
“Sebagai rakyat jelata, saya menunggu saja apa keputusan-keputusan di sini. Karena saya sebagai anggota jamaah di sini,” ungkap putra dari tokoh perjuangan kemerdekaan RI di Sulsel, Kahar Muzakkar ini.
Misalnya saat pengurus pesantren menganjurkan para jamaah untuk qiyamul lail, memakmurkan Masjid Ummul Quraa setiap malam selama Ramadhan ini. Abdul Aziz pun rela bangun tengah malam menuju masjid.
“Apalagi sekarang-sekarang ini kita bisa menikmati shalat Lail secara berjamaah. Karena dipimpin serang hafizh (penghafal al-Qur’an),” ujar suami Sabriati Aziz yang rumahnya jadi ‘pagar hidup’ kompleks pesantren tersebut.

Selama ini di Kalimulya, keseharian pria 50-an tahun tersebut memang cukup merakyat. Jika diundang mengikuti berbagai hajatan para tetangganya, dia tak sungkan menghadirinya. Jika sudah hadir, seringkali dia diminta menyampaikan ceramah atau sambutan, mulai acara pernikahan sampai aqiqahan.
Apa sebab anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sulsel ini mau bersikap merakyat? Rupanya ada prinsip yang selalu dipegangnya. Katanya, kalau menginginkan pemimpin yang baik, maka seseorang harus jadi rakyat yang baik.
“Sebelum jadi pemimpin yang hebat, harus jadi rakyat hebat dulu,” ujar Ketua Komite Perjuangan Penegakan Syariat Islam ini berpesan.
Jadi, kata Abdul Aziz, kehebatan jamaah, kehebatan Islam, tidak hanya tergantung pemimpinnya, tapi juga justru tergantung dari yang dipimpin.
“Kita harus benar-benar memahami juga bagaimana menjadi rakyat yang baik,” imbuhnya.
Ada syarat untuk jadi rakyat yang baik, kata dia, “Satu, jangan pernah masbuk (shalat). Mari kita tekad jadi rakyat yang baik, kita bertekad untuk tidak masbuk. Selebihnya bagaimana kita mentaati seluruh aturan-aturan yang ada di lembaga (pesantren) ini.”
Mungkin karena prinsip itu, pada pemilihan legislatif 9 April 2014 lalu, Abdul Aziz kembali dipercaya masyarakat Sulsel untuk terus mewakili mereka di Senayan hingga periode ketiga ini.
Yang membuat Abdul Aziz betah tinggal di pesantren adalah karena terjaganya kehidupan berjamaah. Baginya ini suatu hal yang patut disyukuri kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
“Kita punya pemimpin, kita punya lokasi, kita punya aturan, sangat jelas. Dengan adanya kekurangan di sana-sini, tapi saya kira sangat-sangat patut kita bersyukur. Bisa menikmati kenikmatan berislam dalam jamaah ini. Termasuk yang sangat penting sekali kenikmatan shalat berjamaah lima waktu,” ujarnya.
Tausiyah Abdul Aziz tersebut tampaknya bukan pepesan kosong. Sabtu pagi itu, sebenarnya bukan jadwalnya dia untuk mengisi taklim rutin usai Shubuh di Ummul Quraa. Namun karena satu hal, pemateri utamanya berhalangan hadir. Takmir masjid lantas meminta Abdul Aziz untuk menggantikan. Dia pun taat saja.
“Semestinya tanggal 21 (Juli), tapi oleh panitia diminta Shubuh ini,” ujarnya di awal tausiyah bertema “jamaah” itu.*