BELASAN pria duduk melingkari sebuah meja makan. Sambil bersantai menikmati sarapan, mereka berbincang-bincang. Tahu-tahu, “Duarrrr!” Sebuah ledakan bom terdengar dari luar ruangan. Namun orang-orang itu bersikap biasa saja. Maklum, suara seperti itu sudah menjadi santapan harian telinga mereka.
Pagi itu, di ruang bawah tanah (basement) gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Yaman –negara yang sedang bergejolak. Kegiatan sarapan tetap berlanjut. Hingga sekitar setengah jam kemudian.
Hidayat, salah seorang dari mereka, beranjak dari tempat duduk. Urusan lambungnya baru saja usai. Ia berjalan menuju dapur, menaruh piring bekas makan, lalu bergegas untuk kembali ke ruang semula. Begitu kakinya akan ke luar pintu dapur, tiba-tiba…
“DUAAARRRRRR…!!!”
Sebuah ledakan bom kembali menggelegar, kali ini dengan kekuatan yang lebih besar. Bangunan KBRI pun bergetar. Suasana menjadi panik seketika. Sontak saja, Hidayat –yang sempat mengira itu ledakan biasa– segera berteriak ke sana-ke mari.
“Mbak, berlindung di tembok, jangan lari ke tengah ruangan,” serunya kepada para Tenaga Kerja Wanita yang panik dan berhamburan keluar dari dapur.
Hidayat mengomandoi mereka untuk berlindung di balik tembok tak berkaca, agar lebih aman. Sementara teman-teman sarapannya langsung tiarap dan sembunyi di bawah meja.
Lima Penjaga Kedaulatan RI
Peristiwa itu terjadi pada Senin (20/04/2015). Gedung KBRI di Jl Beirut Faj Attan, Haddah, Sana’a, terkena dampak bom sekitar pukul 10.45 waktu setempat. Bom serangan udara koalisi negara Teluk itu ditujukan kepada depot amunisi, sekitar 1,5 kilometer dari KBRI.
Saat kejadian, di gedung KBRI terdapat 17 orang Warga Negara Indonesia (WNI). Gedung berlantai 3 itu hampir seluruhnya rusak. Dua staf KBRI dan seorang WNI mengalami luka ringan. Beruntung bagi Hidayat. Lajang kelahiran Balikpapan, 21 November 1991 ini selamat. Ia pun terus melanjutkan kesibukannya sebagai relawan tim evakuasi.
Hidayat merupakan satu dari 5 orang satpam KBRI yang turut berjasa di balik suksesnya proses pengevakuasian ribuan WNI di Yaman. Awalnya, cowok bernama lengkap Muhammad Wazir Hidayat ini datang ke Yaman (2011) untuk belajar. Di sela-sela aktivitasnya sebagai mahasiswa Yemenia University tingkat pertama, ia lantas bekerja sambilan di KBRI. Pilihannya menjadi penjaga keamanan simbol kedaulatan Indonesia tersebut.
Hingga kemudian pada Kamis (26/03/2015). Koalisi militer pimpinan Arab Saudi memulai operasi “Aashifatul Hazm” (Badai Penghancur), menumpas pemberontak Syiah Al Hautsi di Yaman. Negeri ini jadi semakin memanas, membuat WNI berbondong meninggalkannya.
Namun, tak semua bisa segera pulang ke Indonesia. Di antaranya Hidayat dan kawan-kawannya sesama “satpam sambilan”. Sebagai petugas keamanan, mereka harus bertahan beberapa lama.
Selain itu, mereka juga diminta oleh Duta Besar RI untuk Yaman, Wajid Fauzi, agar membantu tim evakuasi. Tugasnya mendata WNI. “Setelah kami data, mereka kami kumpulkan di KBRI untuk diberangkatkan ke Hudaidah, yang selanjutnya akan dikeluarkan dari Yaman,” tuturnya kepada hidayatullah.com menjelaskan tugasnya.
Sejak awal operasi “Aashifatul Hazm” hingga ledakan dekat KBRI, sebagian keluarga Hidayat yang ada di Yaman sudah pulang ke Indonesia. Kerabat dan kawan-kawannya di Tanah Air pun bertanya-tanya, kapan dirinya juga pulang. Mereka khawatir Hidayat jadi korban konflik.
Satpam berdarah Makassar ini sebenarnya ingin pulang juga. Namun ia masih tertahan oleh amanah Pak Dubes. Tugasnya bukan cuma di KBRI, tapi juga mengantar para WNI ke Hudaidah, tempat yang lebih aman. Konsekuensinya, berbagai kemungkinan terburuk harus siap dihadapi. Terbukti, Senin itu ledakan bom ke depot amunisi turut mengguncang jiwanya.
“Sempat shock juga waktu KBRI terkena bias ledakan. Karena kami lagi di dalam KBRI,” ungkap anak kedua dari 9 bersaudara hasil pernikahan Muhammad Bakri Bonggo (51) dan Ratna (45) ini.
Meski demikian, ia dan kawan-kawannya tetap bersikukuh menjalankan amanah tersebut. Baginya, menjadi relawan merupakan panggilan nurani dan kemanusiaan. “Semacam rasa ingin membantu (sesama),” akunya.
Pesan untuk Menlu Retno
Para satpam relawan tersebut tidak bekerja “sendirian”. Sebelum para staf KBRI pulang ke Indonesia, tim percepatan evakuasi WNI kiriman Jakarta sudah tiba di Sana’a. Di antara koordinatornya adalah spesialis evakuasi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Susapto Anggoro Broto.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Mereka didatangkan ke Yaman, menurut Hidayat, “Karena Pak Susapto beserta timnya sudah berpengalaman mengevakuasi WNI dari Suriah.”
Bom demi bom terus meledak. Perat darat pun tak terelak. Yaman terus bergejolak. Seiring itu, dua ribuan WNI telah berhasil dievakuasi ke Indonesia. Sebagian lain masih bertahan. Sementara Hidayat, yang mengaku masih ingin kuliah di Yaman, terus didesak oleh orangtuanya untuk pulang.
Hingga akhirnya, setelah hampir sebulan –sejak 1 April– meluangkan tenaga dan pikirannya sebagai relawan, ia pun meninggalkan KBRI bersama seorang rekannya, Selasa (21/04/2015). Dalam penuturannya kepada hidayatullah.com via sambungan internet, Hidayat sudah berada di Hudaidah, sambil tetap sekalian membantu evakuasi WNI.
“Sudah disuruh orangtua pulang, ya mau gimana lagi,” ujar mahasiswa yang pernah nyantri di sebuah pesantren di Gunung Tembak, Balikpapan ini.
Kabar para satpam-relawan itu rupanya juga sudah terdengar oleh sebagian warga Indonesia di Tanah Air. Di antaranya Miftahussalam Mubarak, warga yang tinggal di Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Miftahussalam mengaku salut dengan apa yang dilakukan Hidayat cs. Ia berharap, pemerintah memberi perhatian khusus kepada para satpam-relawan tersebut.
“Bagaimana biar pemerintah mengapresiasi pengorbanan Muh. Wazir Hidayat dan beberapa temannya, yang rela bertahan di Yaman demi mengurusi (evakuasi) WNI,” ujarnya menitip pesan melalui media ini untuk Menlu Retno Marsudi.*