Sambungan tulisan PERTAMA
Kembali ke Kota Paris dengan desain tata-kotanya, dapat kita katakan bahwa pusat kota Paris memang dikonstruksi secara jenius. Titik pusat Paris dengan simbol Tour Eiffel dan musées (museum-museum) yang ada di sekitar kawasan ini dibuat ditengah-tengah kota dan dikelilingi sungai buatan.
Sungai buatan yang mengitari sekeliling kawasan Eiffel ini dibangun dengan puluhan pont pont (jembatan-jembatan) yang membentangi sungai buatan yang dilalui kapal wisata ataupun kapal barang semakin menambah semarak dan kecemerlangan kawasan pusat kota ini.
Atmosfir romantisme dan taste ‘fashion’ yang dipancarkan oleh Eiffel dan museum-museum serta desain artistik gedung-gedung di kota ini semakin diaktualkan oleh muda-mudi dari berbagai etnis yang mengambil kesempatan ini untuk berfoto-ria dengan latar belakang Tour Eiffel.
Pasangan pengantin dari China dengan busana pengantin tuxedo dan gaun putih panjang, muda-mudi India, pasangan usia senja, maupun kumpulan muda-mudi dari tanah air indonesia tampak berlomba-lomba mengambil puluhan foto ataupun selfie berlatar Eiffel untuk diabadikan dalam foto pernikahan mereka maupun dunia maya Facebook dan instagram.
Pelbagai aksi narsisme ini menunjukkan suksesnya Paris menjual komoditas romantisme yang mungkin belum mampu disaingi oleh kota-kota lainnya seperti Milan sekalipun. Namun bila kita mencoba merenungi hal ini, kita mungkin sampai pada realitas bahwa berbagai romantisme ini direalisasikan oleh para ‘subscriber’ (‘pelanggan’) dari citra atau imej ini sendiri.
Figur Kota Paris sendiri dengan Tour Eiffelnya yang diimaginasikan sebagai sebuah kota dan menara sejuta romantisme setidaknya juga terkoreksi oleh realita kota dan menara romantis itu sendiri. Menara Eiffel yang menjulang dengan tebaran romantisme-nya ke seluruh dunia seakan tidak mampu mengingkari karat-karat yang tampak menyebar pada besi-besinya.
Kota Paris juga terkenal memiliki kemacetan diatas rata-rata dan polusi parah yang bahkan sempat mengungguli Shanghai sebagai kota paling terpolusi di dunia. Polusi yang bahkan diberitakan oleh harian The Guardian mengharuskan aparat untuk menghentikan laju lalu lintas untuk sementara.
Penulis sendiri memiliki kesan bahwa Paris tidak ubahnya seperti Ibu Kota Jakarta dan Eiffel pun tidak ubahnya bagaikan Tugu Monas. Tentu dengan keunggulan artistik yang tidak dapat diabaikan. Namun, melihat realita yang ada, idealisasi imej romantis tentu sedikit banyak perlu dikoreksi dan diseimbangkan.*/Ady C. Effendy, MA, alumni S2 Qatar Kandidat doktor di Paris, France