Sambungan dari kisah ketujuh
WAKTU telah menunjukkan pukul 20.44. Seorang pria cukup tua dengan jas hitam sederhana dan celana senada, perlahan berdiri dari posisi duduk yang didiaminya sejak saya pertama kali melihatnya.
Sejenak dia memperbaiki pakaian dan songkok sulam hitamnya, lalu menerima mikrofon yang disodorkan oleh seorang lelaki yang menjadi kawan duduknya sejak tadi.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!…”
Serak terdengar suara pria itu melantunkan azan maghrib. Namun cukup mampu menghadirkan suasana khidmat bagi puluhan pria yang menanti tanda masuk shalat tersebut.
Pemandangan ini yang didapati oleh penulis tatkala menginjakkan kaki di Westermoskee Aya Sofya, Piri Reisplein, Amsterdam, Belanda.
Baca juga: “Cita Rasa Lidah Eropa Saja Tak Mudah Langsung Diterima…”
Masjid yang berdiri kokoh pada tepi salah satu kanal di Amsterdam ini, merupakan salah satu masjid di Negeri Kincir Angin yang direkomendasikan bagi traveller Muslim, di samping Islamic Foundation Fatih Netherlands.
Kamis malam itu, 25 Agustus 2017, penulis hanya mendapati sekitar 20-an orang, sehingga masjid yang mampu menampung 1.000-an jamaah ini terasa lapang.
“Jumlah jamaahnya di hari-hari biasa memang tidak banyak. Kecuali di hari Jumat, masjid akan penuh dengan umat Islam Amsterdam,” terang Omar Dabaj, salah seorang pengurus Westermoskee sekaligus naib imamnya.
Berbeda dengan Masjid Fatih yang merupakan bekas Gereja, Westermoskee sejak awal dibangun memang untuk masjid.
“Lokasi awal masjid ini adalah tanah lapang milik Turki, lalu dijual ke Pemerintah Amsterdam dan dana hasil penjualannya difokuskan untuk pembangunan masjid ini,” tambah Omar, pria berusia 50-an tahun itu.
Masjid dengan corak bata merah dan putih yang dikawal dengan satu menara tinggi langsing ini cukup mudah untuk dikenali dengan tampilan masjidnya yang jelas.
Kebanyakan jamaahnya merupakan imigran, khususnya Turki. Hal ini dapat terlihat dari taushiyah singkat imam masjid yang dituturkan dengan bahasa Turki. Jadinya, suasana di masjid ini “Belanda rasa Turki”, hehe….
Baca juga: Terhibur oleh Islamic Center Zurich di Swiss
Cerita Umar Badaj
Selepas shalat magrib, Umar Badaj mengajak penulis menuju kantin masjid yang berada di lantai 2 bangunan yang sama. Percakapan hangat dengan menggunakan bahasa Arab dan Inggris terjalin laksana kawan lama yang baru bersua.
Obrolan dengan Umar Badaj ditemani teh tawar panas, biskuit, burger, serta yoghurt segar. Membuat suasana jadi tambah hangat.
“Saya sangat senang dengan orang Indonesia. Saya punya memori indah dengan kawan Indonesia selama 2 tahun yang tidak bisa saya lupakan.
Bahkan saya pernah ke Jakarta tahun 1986, saat mewakili negara saya dalam helatan Asian Games,” cerita Umar Badaj dengan mata menerawang, mencoba menghadirkan alunan sejarah yang dia tuturkan.
Baca juga: Di Kota Roma, Saudara dari Bangladesh itu ‘Meminjamkan’ Minimarketnya…
Akhirnya, waktu isya jua yang menghentikan obrolan kami. Umar Badaj berdiri dan setengah berbisik dia memohon diri.
“Adzan isya sudah dekat. Saya harus mempersiapkan diri dan semoga dapat menjumpai Anda lagi. Syukran (terima kasih)!” pamitnya sambil menggenggam erat tangan saya.* Bersambung/Diceritakan untuk hidayatullah.com oleh Naspi Arsyad, peneliti LSIPP, penulis buku “The Dome of The World”