Sambungan dari kisah pertama
BERADA di tempat asing dengan populasi Muslim yang minim tentu bukan perkara mudah, terlebih urusan ibadah. Apatah lagi bila berada di negara dengan sentimen keagamaan terhadap Muslim yang tidak terlalu positif seperti di Roma, Italia.
Hal ini yang kami temui saat ‘first sight’, kunjungan pertama ke markas kesebelasan klub sepakbola Seriea A Italia, AS Roma ini. Mencoba mencari masjid untuk melaksanakan shalat ashar, ternyata memerlukan ‘seni mencari’ yang cukup berliku. Apatah lagi Roma bukan daerah yang akrab bagi kami.
Bertanya dan bertanya, adalah modal umum bagi semua traveller agar tak sesat di jalan. Begitupun kami, saat waktu ashar mulai menipis meski kami telah melakukan pencarian dalam waktu yang cukup lama.
Hingga akhirnya kami bertemu dengan pedagang Muslim, yang sedang ‘bertugas’ di daerah wisata Trevi Fountain. Ia mengarahkan kami ke suatu jalan yang -tentu saja- asing bagi kami.
Tapi karena shalat adalah syari’at paling prinsip bagi umat Islam, maka ‘the show must go on’, kalau perlu naik taksi menuju jalan yang disebutkan.
Ternyata pencarian kami tidak bersifat otomatis. Berada di Jalan Victoria Emmanuel, lokasi dimana masjid yang dituju berada, tak langsung menghadirkan kami di rumah Allah.
Saat turun dari taksi bersama sopir yang kesulitan mengeja kata “masjid”, pencarian tak juga berakhir. Hingga akhirnya kami terdampar disebuah minimarket dengan pemiliknya berwajah Asia, cukup familiar.
“From Bangladesh?” Todongku.
“Yes!” jawabnya ramah mengiyakan bahwa ia berasal dari Bangladesh.
Setelah kami menuturkan secara singkat tujuan saat itu, sang Bangladesh menawarkan minimarketnya untuk tempat kami menunaikan shalat. Dengan sangat ramah.
“Thank you very much, Brother!” ucapku sangat berterima kasih sambil menggenggam erat tangannya.
“Semoga Allah memberkahi usaha dan bantuanmu,” tambahku dalam hati.* Bersambung/Diceritakan untuk hidayatullah.com oleh Naspi Arsyad–Suharsono, peneliti LSIPP, penulis buku “The Dome of The World”