RUANGAN ini biasa saja, luasnya sekitar 4×10 meter persegi. Dindingnya terdiri dari batu-bata tanpa plester, anyaman bambu, dan kain bekas spanduk. Sebuah kursi bambu nongkrong di pojokan ruangan. Di sampingnya, berderet tiga panci besar, di antaranya berisi nasi yang masih panas.
Namun bagi Ahmad Fahrullah, ruangan yang tak lain dapur umum Pesantren Al-Bahjah itu menjadi istimewa. Dari situ, hal berbeda dirasakan remaja keturunan Kamboja-Cina-Vietnam ini, yang tidak ditemukannya di Terengganu, Malaysia, tempat dia dilahirkan.
Selama mondok di pesantren yang terletak di Jalan Pangeran Cakra Buana, No. 179, Sendang, Sumber, Kabupaten Cirebon itu, dia mendapati kebersamaan dengan para santri. Sama-sama masak, sama-sama makan. cukup berkesan baginya meski baru setahun lebih mondok.
“Di sini suasana pondok, di sana (Malaysia) kan makan sendirian-sendirian. Di sini kan makan bareng, ada barokahnya. Terus makannya ‘asal-asalan’ gitu, nda pa-pa. Kan (kalau) di luar kan ayam gitu. Kalau di sini kan banyak temen, di sana kan kurang,” terang Fahrullah, sapaan remaja 15 tahun ini.
Berbeda kewarganegaraan tak menyulitkannya beradaptasi dengan lingkungan. Pelajar bermata agak sipit ini tampak akrab dengan rekan-rekannya.
Fahrullah bercerita, dia diminta orangtuanya bertahan di pondok berkultur Nahdliyin itu selama 10 tahun. Walau kerjanya banyak di dapur; mengupas bawang atau memotong tempe, dia optimis kelak menjadi orang yang berguna bagi umat. Baginya, tugas di dapur hanyalah proses menuju cita-cita yang diharapkan ayahnya.
“Kalau orangtua maunya itu jadinya ulama. Ana (saya. Red) tuh ikut aja. Suruh apa ya udah ikut aja, dituruti diarahkan ke mana,” tuturnya saat bincang-bincang dengan Hidayatullah.com di dapur umum kampus utama Al-Bahjah, Selasa, 8 Muharram 1435 H (12/11/2013) lalu.
Paling tidak, baginya, Fahrullah bisa menjadi pembantu para ulama. Dia punya gambaran, jika sekiranya Ahmad Duzuki kelak menjadi ulama, dia siap menjadi semacam asistennya.
Duzuki, 16 tahun, adalah kakak kandung Fahrullah yang juga mondok di Al-Bahjah. Menuru Fahrullah, Duzuki tergolong santri yang memiliki semangat belajar sejak kecil. Sayang, saat media ini hendak menemui Duzuki, menurut kawannya dia sedang istirahat setelah semalam bertugas ronda kampus.
Pengganti Ayah
Fahrullah tak memungkiri, di awal keberadaannya sebagai santri ada perasaan goncang, ingin pulang terus. Lama-kelamaan dia pun betah. Selama mondok, banyak peningkatan yang dia dapatkan, terutama dari segi keagamaan Islam.
“Kalau dulu kan kalau di sekolahnya (Malaysia) agamanya nda diketati gitu. Kalau di sini kan belajar fikih, aqidah,” dalih santri yang pernah 2 tahun belajar di Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) Kijal, Terengganu ini.
Disinggung Buya Yahya, dai Nahdliyin pendiri Al-Bahjah ini sosok yang spesial di mata Fahrullah. Buya dia anggap sebagai pengganti orangtuanya yang jauh di kampung.
“Saya anggap (Buya) sebagai guru, sebagai ayah. Dia beda sih sama yang lain. Cara ambil perhatiannya. Tegurannya ya langsung dibenerin (kalau) ada yang salah,” ungkapnya.
Fahrullah menempuh pendidikan di Sekolah Kebangsaan (SK) Kijal –setingkat Sekolah Dasar (SD)– selama 6 tahun. Lanjut ke SMK Kijal selama 2 tahun. Belum selesai di SMK, Fahrullah dan Duzuki langsung diboyong ke Indonesia oleh Muhammad Na’im, ayah mereka. Sebenarnya sudah sejak lama keduanya hendak dimasukkan pesantren.
“Udah dari SD, cuma kan belum ketemu pondok yang cocok. Ya itu baru ketemu sekarang (maksudnya sejak 2011. Red),” terang Fahrullah yang mengaku ayahnya juga lulusan sebuah pesantren dan bisa baca kitab.
Dia menuturkan, ayahnya sempat mengajar di Malaysia, namun ada yang menghalang-halangi dan akhirnya ayahnya berhenti mengajar. Kini, keluarga Muslim mereka tinggal di bandar Kijal, Kemaman, negara bagian Terengganu, Semenanjung Malaysia (Malaysia Barat). Kedua orangtuanya sehari-hari sebagai pedagang. Ketiga adiknya yang perempuan semua juga masih sekolah.
Sejak berada di Cirebon, remaja yang dulunya bercita-cita jadi pilot ini baru sekali pulang kampung. Dia dan kakaknya memanfaatkan libur lebaran Idul Fitri 1434 Hijriyah lalu.
“(Di Malaysia) seminggu. Di sini (jatah pulang kampung) kalau yang jauhnya lima hari. Kalau yang deket tiga hari. Takutnya kalau kelamaan hafalannya hilang. Kalau yang jauh-jauh paling nda pulang,” terangnya.
Beda Indonesia dan Malaysia
Di Al-Bahjah, Buya Yahya menularkan prinsip “tidak ikut campur politik” kepada para muridnya. Namun begitu, Fahrullah cukup memperhatikan kondisi sosial Malaysia dan Indonesia. Ketika ditanya perbedaan masyarakat kedua negara bertetangga itu, penghobi badminton ini menyebut gaya berpakaian salah satunya.
“Di sana tuh pakaiannya beda. Pakaian di sana orang udah tua ya orang tua, ya kelihatan kalau pakaiannya orang tua. Kalau di sini pakaiannya orang muda lihat mukanya orang tua,” terang Fahrullah yang saat itu mengenakan kaos oblong bertuliskan “1 Malaysia” dengan gambar bendera dan sejumlah gedung terkenal di negara jiran tersebut.
Selain itu, menurutnya, di wilayah Nusantara banyak beredar cerita aneh-aneh, berbeda dengan di negaranya. Sedangkan dari segi keagamaan, dia menilai Indonesia dipenuhi banyak aliran dan kepercayaan.
“Kalau di sini ya banyak (aliran) agama apa kayak Wahabi, Syiah itu, banyak sekali. Di sana belum kelihatan. Tapi kemarin ana pulang, sudah ada yang masuk Syiahnya. Pukul-pukul (badan) sendiri, lihat di video,” ungkapnya.
Meski begitu, dia tak bermaksud membanding-bandingkan kedua negara serumpun Melayu itu. Di sisi lain, dia mengklaim Malaysia lebih bersih daripada Indonesia. Pemerintahnya pun menurutnya berpikiran lebih maju.
Di penghujung obrolan dengan Hidayatullah.com pagi itu, Fahrullah berharap, hubungan Indonesia-Malaysia tetap mesra. Apalagi kedua negara ini sama-sama mayoritas Muslim. Pun diharapkan, antara keduanya tidak terjadi kesenjangan. Justru sebaliknya, bersatu.
“(Kesenjangan) itu karena politik semua. Kalau (keduanya) bergabung ya lebih bagus,” tandasnya penuh harap.*