TURUN dari perahu yang mengantarkannya ke Pulau Longos, Kampung Baru, Desa Nanga Kantor Barat, Kec. Macang Pacar, Manggarai Barat, NTT, Saharuddin langsung disambut oleh beberapa tokoh pemerintah, agama dan ratusan warga sekitar dengan berposisi baris memanjang rapi.
Bak pahlawan yang tengah dinanti-nanti kedatangannya, masyarakat menyambutnya dengan begitu hangat. Senyum semeringah memancar dari kedua pipi mereka masing-masing. Di lain pihak, sembari melangkahkan kakinya dan menyalami masyarakat yang menyambut kedatangannya, pikiran Saharuddin tengah terusik dengan kondisi alam yang ada di hadapannya.
Betapa tidak, yang nampak adalah hutan belantara. Pohon-pohon asam berukuran besar dan semak belukar memadati kawasan itu. Yang lapang, hanya lokasi acara peletakkan batu pertama pesantren, yang dilaksanakan pada hari itu. Tidak ada arus listrik PLN. Letak permukiman pendudukpun masih ratusan meter jaraknya. Itulah lokasi yang akan dirintis menjadi pesantren.
“Saya sangat kaget, kalau lokasi yang akan dirintis pesantren seperti itu. Makanya sempat bengong. Pikir saya; listriknya ada dan dekat di permukiman penduduk, seperti di pulau tempat tinggal saya di Madura,” jelasnya.
Meski demikian, Sahar, panggilan akrabnya, mengaku semangatnya untuk berjuang tidak lantas pudar dengan tantangan alam yang dihadapinya. Mengenang pengorbanan dan perjuangan para dai Hidayatullah tempo dulu yang merintis diberbagai tempat menjadi inspirasinya untuk terus semangat dalam meniti jalan dakwah.
“Saya memang paling gemar membaca kisah-kisah perjuangan dai Hidayatullah, khususnya yang ada di rubrik majalah Suara Hidayatullah. Merekalah yang banyak menginspirasi saya,” tambahnya.
Terlebih ia melihat harapan masyarakat yang begitu tinggi untuk mendirikan madrasah aliyah di tempat tinggal mereka. Maklum, di pulau itu belum berdiri sekolah menengah atas terutama berbasis Islam. Tak ayal, para pelajar yang berhasrat untuk melanjutkan jenjang pendidikannya harus menyeberang ke pulau sebelah yang tentu saja memakan banyak waktu dan biaya.
Inilah yang kemudian menyebabkan masyarakat berinisiatif mendirikan pesantren ataupun madrasah. Hidayatullah kemudian dipercaya untuk mengemban amanah itu. Sebidang tanah yang luasnya berkisar satu hektare setengah diwakafkan oleh seorang muwakif untuk dimanfaatkan. Tanah inilah yang diamanahkan kepada lajang asal Madura ini untuk dikelola dan dikembangkan menjadi madrasah sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.
Menebangi Kayu Hutan
Tidak lama dari acara peletakkan batu pertama, Sahar dan beberapa tokoh serta perwakilan dari masyarakat mengadakan rapat koordinasi. Dari situ, diambillah keputusan bahwa perintisan akan segera dimulai. Langkah awalnya, menebangi pohon-pohon besar di hutan yang akan dijadikan bahan bangunan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dari pagi sampai menjelang ashar, bersama sebagian masyarakat, pemuda kelahiran 1989 ini merobohkan pohon-pohon besar di hutan dengan menggunakan mesin pemotong pohon kemudian membelah menjadi papan dan sebagainya untuk siap guna. Ini berjalan hingga tiga bulan.
Lazimnya para perintis yang berjibaku untuk kelanjutan lembaganya, Sahar mengaku mendapati kesulitan serupa. Di tengah proses pembangunan pesantren, ada saja oknum yang mencoba mengendurkan tekadnya untuk mendirikan pesantren. Mereka mencibir, sekolah yang tengah dirintis itu dijamin tidak akan jadi. Dan memang minimnya dukungan finansial, beberapa kali menyebabkan proyek pembangunan lokal berjalan di tempat untuk beberapa saat.
“Terutama ketika telah mendekati akhir tahun ajaran, cibiran semakin terasa karena anak-anak sudah mau lulusan, tapi sekolah belum rampung,” jelasnya.*