Ia punya cara sendiri mengetahui waktu-waktu shalat. Ungkapan hatinya yang sekian lama diijabah Allah
Hidayatullah.com–Malam itu Rasman bersama tiga kawannya pergi melaut. Di tengah gelap malam, deruan ombak, dan hembusan angin laut, empat laki-laki itu meninggalkan daratan, menuju titik buruan.
Setelah sampai di target tujuan, mesin perahu dimatikan. Semua siap siaga untuk memulai aksi pemburuan ikan. Salah satu dari mereka, mengambil satu buah dinamit (bom ikan). Kemudian mengikatnya dengan sebuah tali ukuran panjang. Setelah yakin kuat, iapun membakar sumbunya, dan bergegas melemparkan ke laut.
Pluuung…!
Dinamit itu pun mendarat di laut. Ditunggu beberapa lama, tidak ada reaksi. Curiga ada problem, si pelempar bergegas mengecek. Ditariknya tali pengikat, kemudian disambarnya dinamit itu. Dicek. Oh, ternyata api disumbu mati. Wajar tidak ada ledakan.
Tak butuh waktu lama, ia kembali menyulut sumbu bahan peledak itu dengan sebuah korek yang ada di genggaman. Sejurus kemudian, dilemparkannya kembali ke luat. Namun ternyata, sama dengan lemparan yang pertama; masih belum meledak. Kali ini, si teman meminta Rasman untuk menarik ulang dinamit, dan menginstruksikan untuk membakar sumbunya kembali.
Bergegas ayah dua putri ini menjalankan permintaan temannya itu. Naas baginya. Ketika tangannya menyentuh dinamit, didapati ternyata sumbu masih menyala dan hanya tersisa beberapa senti saja. Tak bisa mengelak.
Mendadak. Duaaar!!
Dinamit meledak. Suara ledakannya begitu keras. Akibatnya, nyaris sekujur tubuh Rasman terbakar. Terutama bagian tangan kanannya terluka parah. Saat itu Rasman masih sadarkan diri. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Yang dirasakan sakit dan perih. Darah mengucur deras.
Kapal yang ditumpangi pun langsung balik ke darat. Kemudian ia dilarikan ke rumah sakit. Setelah menjalani perawatan beberapa hari, vonis dokter jatuh; tangan kanannya harus diamputasi karena luka bakarnya sangat parah dan berpotensi merambat ke organ tubuh lain, bila tak diambil tindakan tersebut.
Putra Abdul Hamid dan Samianti ini berusaha tegar menghadapi situasi itu.
Adapun untuk kedua matanya, mulanya ia masih bisa melihat, meski tak begitu terang. Namun, lambat laun penglihatannya semakin rabun. Sampai akhirnya, hanya bisa melihat dengan jarak yang begitu dekat. Itupun, akunya, tidak seberapa jelas.
Dalam kondisi demikian, ujian berat lain kembali menghinggapinya. Kali ini menghantam biduk rumah tangganya. Di tengah ketidakberdayaan secara fisik, sang istri meninggalkannya dengan dua putri yang masih kecil-kecil. Sebagai suami, Rasman sejatinya merasa terpukul. Tapi ia berusaha tabah.
Yang disyukuri anak ketiga dari lima bersaudara ini, ia memiliki orangtua, saudara, dan sahabat yang senantiasa menyemangati dan kerap memberi nasehat agar sabar menghadapi ujian.
Ia pun berusaha menata hati untuk ridha menerima segala yang telah ditetapkan Allah SWT bagi dirinya. Hal inilah yang kemudian menjadi penguatnya untuk menjalani kehidupan.
“Kita hidup kan ada yang mengatur; Allah. Ya mau apa lagi, kalau Dia-nya berkehendak demikian. Tinggal jalani saja. Semua pasti ada hikmahnya, baik bagi diri saya maupun orang lain,” ungkapnya.
Kata Rasman, butuh waktu dua tahun lebih untuk proses pemulihan. Dalam kurun waktu itu, ia tak bisa beraktivitas banyak. Kebutuhan hidupnya ditumpukan pada orangtua dan saudara-saudaranya yang lain.
Setelah pulih, derita belum selesai. Pria asal Dalegan, Panceng, Gresik, Jawa Timur ini kesulitan mencari kerja. Faktor fisik menjadi kendalanya. Hari-harinya banyak dihabiskan di rumah dengan diisi mendengarkan ceramah dari radio. Usia Rasman saat itu baru sekitar 25 tahunan.
Disapa Hidayah
Suatu hari, ada tamu bertandang ke rumah Rasman. Modin desa. Yang mengagetkan, tokoh agama itu memintanya menjadi muazin.
Tanpa berpikir panjang, Rasman langsung menyanggupi tawaran itu. Selain untuk mengisi waktu yang kosong, ada hal lain yang membuatnya menyambut gembira ajakan itu.
“Ini seakan menjadi jawaban akan harapan saya di masa lalu,” ucap sosok yang telah berambut putih ini.
Apa itu? Ketika hari Jumat, kenang Rasman, karena tuntutan pekerjaan, ia bersama teman-temannya berangkat mencari ikan. Ketika matahari di ubun-ubun, sayup-sayup terdengar seruan azan shalat Jumat di tengah deruan ombak dan hembusan angin laut. Rasman tertegun. Ada kesedihan di hatinya tak bisa menunaikan kewajibannya sebagai Muslim.
“Kapan yah, saya bisa melaksanakan shalat berjamaah di masjid terus?” selorohnya, yang dibalas senyum kawannya.
Setelah benar-benar menjadi muazin, ia mengaku sering digoda oleh kawan-kawannya semasa melaut dulu; “Itulah ucapan yang keluar tak disengaja, tapi langsung diijabah oleh Sang Mahakuasa,” kata Rasman menirukan ucapan kawannya.
Bersenjatakan Radio
Jarak rumah Rasman dengan masjid berkisar 250 meter. Jarak tempuh yang cukup jauh bagi seorang tunanetra. Tapi karena sudah hapal lokasinya, ia mengaku tidak pernah tersesat. Apalagi, akunya, ia sering mendapat bantuan dari warga sekitar.
“Tidak hanya orang dewasa. Anak-anak yang sedang bermain, juga sering membimbing saya menuju masjid,” katanya.
Hal menarik lainnya, tentang cara Rasman mengetahui jam waktu shalat. Ia mengandalkan radio lawas miliknya. Radio itu selalu disetel pada satu gelombang favoritnya, yang memiliki program menyampaikan jadwal shalat lima waktu.
Jadi, radio itu nyaris tidak bisa lepas dari pangkuan Rasman. Terus dihidupkan, kecuali tidur. Seperti siang itu ketika Suara Hidayatullah mendatangi rumahnya. Ternyata, ia tengah bertandang ke rumah salah seorang tetangganya.
Dengan mengenakan sarung bermotif kotak dan kemeja bercorak hijau muda lengan panjang, ia duduk di teras rumah bersama sang tuan rumah. Pandangannya beberapa kali tertuju ke berbagai arah. Sementara jari-jemari tangan kirinya meraba dan memutar-mutar tombol pencari gelombang radio yang ada di pangkuannya.
Rasman mengaku dalam menjalankan amanah sebagai muazin sama sekali tak terbebani. Yang ada justru bersyukur. Sebab, selain bisa menuntun diri untuk senantiasa dekat kepada Allah juga dengan keterbatasannya itu, ia bisa menyeru orang lain untuk berbuat baik, beribadah kepada-Nya.
“Senang saja. Shalat berjamaah di masjid jadi bisa lebih terjaga,” ungkap sosok yang telah mengemban amanah muazin selama 30 tahunan ini. *Robinsah/ Hidayatullah.com