Dari kerisauan, munculah rasa kepedulian. Dengan berbagai keterbatasan, mendirikan sekolah di kolong rumah
Hidayatullah.com–Anak-anak kecil itu berlari meninggalkan rumah masing-masing. Beberapa di antara mereka memakai celana merah dan kemeja putih. Sebagian yang lain memakai baju bebas dan tidak memakai alas kaki. Mereka bertemu di suatu titik, kemudian berlari beriringan sambil bercanda dan tertawa.
Waktu itu jarum jam menunjukkan pukul enam. Masih terlalu pagi untuk anak-anak kecil keluar rumah. Setelah satu jam lebih berlarian, barulah mereka tiba di sebuah rumah panggung terbuat dari kayu yang cukup sederhana. Beberapa anak terlihat sudah lebih dulu tiba.
Di depan rumah itu, seorang wanita yang sudah tidak lagi muda menyambut kedatangan mereka. Satu per satu anak-anak itu menyalaminya. Lalu, Ummi Suraidah, panggilan akrab wanita itu, mempersilakan anak-anak untuk masuk ke dalam sebuah ruangan.
Ruangan berukuran 6 X 9 meter itu sejatinya kolong rumah panggung Suraidah, yang sebagian ruangnya hanya disekat dengan potongan tripleks sebagai tanda batas ruang satu dengan ruang lainnya.
Di ruangan itulah sosok Suraidah mengabdikan dirinya untuk mendidik anak- anak di wilayah tapal batas. Tepatnya, di Desa Sungai Limau, Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara.
Di dalamnya tidak ada meja dan kursi seperti sekolah pada umumnya. Hanya tampak beberapa deret meja ala kadarnya dari tripleks, karpet plastik sebagai tempat lesehan, dinding kayu yang dicat hijau ditempeli ijazah, penghargaan yang berjajar dengan poster bergambar huruf abjad dan huruf Arab serta foto kegiatan sekolah.
Di sekolah kolong yang biasa di sebut Sekolah Tapal Batas inilah, mantan Dosen Keperawatan Universitas Hasanuddin Makassar itu, ingin merajut mimpi anak-anak di perbatasan Indonesia-Malaysia.
Kerisauan Seorang Bidan
Lewat sambungan telepon kepada Suara Hidayatullah, Suraidah menceritakan bagaimana proses hijrahnya sehingga ia “terdampar” di Pulau Sebatik. Ibu satu anak yang masyarakat setempat akrab menyapanya sebagai Ibu Bidan, karena awal kedatangannya sebagai seorang bidan ini menjelaskan bahwa di pulau itu, ia menemukan anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada putus sekolah dan bahkan tidak pernah sekolah sama sekali.
“Alasan mereka putus dan tidak bersekolah, di antaranya karena tidak punya identitas kependudukan. Rendah kesadaran pentingnya pendidikan dan juga perjalanan panjang untuk melintasi batas Negara. Mereka harus lewati setiap hari dengan penuh resiko,” jelasnya.
Dari kerisauan itu, muncul rasa kepedulian. Dengan berbagai keterbatasan ia mendirikan sekolah di kolong rumahnya.
“Perjuangan agar anak dapat sekolah di sini sungguh luar biasa. Mereka tidak mengenal lagu Indonesia Raya, tidak mengetahui betapa besar serta luasnya negara kita ini. Sehingga saya berusaha bagaimana caranya agar mereka cinta Negara ini, mengenal Indonesia, Pancasila,” kata wanita berusia 66 tahun itu.
Untuk meyakinkan anak-anak belajar di Sekolah Tapal Batas, Suraidah dan para relawan mendatangi para calon muridnya di kebun-kebun sawit di perbatasan Malaysia-Indonesia.
Meyakinkan hati calon walimurid, yang mayoritas sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit Malaysia, bukanlah pekerjaan mudah. Banyak orangtua yang tidak mengizinkan anaknya menyeberangi perbatasan negara untuk pergi ke sekolah yang berjarak sekitar empat kilometer dari tempat tinggal mereka. Atau butuh waktu lebih dari sejam dengan berjalan kaki.
Belum lagi tantangan dari petugas perbatasan. Anak-anak harus mendapatkan izin polisi Malaysia untuk melintasi perbatasan. Tanpa izin, mereka akan diburu serta ditangkap untuk dikurung selama dua hari, karena telah melanggar batas negara.
Kegigihan para guru dan para relawan mendapat jalan keluar setelah Komando Rayon Militer (Koramil) dan Camat Sebatik Tengah menerbitkan kartu jaminan khusus.
Dengan kartu itu para murid bisa melintas bebas di perbatasan guna menuntut ilmu. Para orangtua pun mulai memberikan kepercayaan kepada Suraidah.
Ingin Mendirikan Pesantren
Pada tahun 2014, secara resmi Suraidah mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Furqon dan terus berkembang. Sekitar tahun 2017 Sekolah Tapal Batas pindah ke lokasi baru berkat bantuan dari berbagai pihak. Jadi, sudah tidak lagi menggunakan kolong rumah sebagai ruang kelas. Di lokasi baru awalnya hanya ada tiga ruang kelas berbentuk rumah panggung dari kayu.
Saat ini ada lebih 40 siswa yang menempuh pendidikan di sana. Ada 2 asrama difungsikan sebagai tempat tinggal murid dan pengajar. Kata Suraidah, selain dirinya, ada lima orang pengajar yang juga mengabdi di sekolah tersebut. Satu orang berasal dari warga lokal, dua orang relawan dari lembaga zakat, dan dua lainnya merupakan anggota TNI.
Ia berharap, apa yang dilakukannya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Hingga anak-anak di perbatasan mendapatkan hak pendidikan seperti anak Indonesia pada umumnya. Ia juga ingin memberi bekal pengetahuan agama serta akhlaq yang mulia bagi muridnya. Salah satunya, dengan membiasakan murid –murid melaksanakan shalat lima waktu, shalat sunah, dan menghafalkan al-Qur’an.
“Kami menargetkan anak yang lulus MI ini minimal sudah hafal juz amma atau juz 30,” harapnya.
Jauh dilubuk hatinya, Suraidah juga memiliki mimpi untuk mendirikan lembaga pendidikan seperti pesantren dengan sistem boarding (asrama). Menurutnya, model boarding sangat sesuai untuk menangani masalah pendidikan anak-anak TKI di perbatasan.
“Anak-anak tidak sekadar butuh pengetahuan, tetapi juga pendidikan karakter. Pesantren sangat tepat untuk mendidik karakter mereka,” jelasnya.