Hidayatullah.com—Dosen Epidemiologi, Biostatistika, Kependudukan, dan Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR), Dr Arief Hargono drg MKes turut memberikan tanggapan atas berita meningkatnya penyakit HIV dan AIDS.
Tanggapan ini disamsampaikan terkait heboh berita meningkatnya kasus HIV/AIDS, terutama di kalangan ibu rumah tangga. Dilansir dari data Kementerian Kesehatan RI tahun 2022, ada sebanyak 466.978 kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Arief Hargono mengatakan, HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiebcy Virus, yakni virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Sementara AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV.
“Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan ODHA (orang dengan HIV/AIDS, red) amat rentan dan mudah terjangkit macam-macam penyakit.” Ujar Arief dalam webinar Airlangga Public Health Student Association (APHSA) yang terselenggara oleh BEM FKM UNAIR pada Ahad (27/8/2023).
Ia menyebut bahwa seseorang dapat terinfeksi penyakit HIV/AIDS melalui darah dan cairan reproduksi. Hal ini, lanjutnya, ketika orang itu melakukan hubungan seksual dengan ODHA, menggunakan alat medis yang tercemar HIV, serta penularan dari ibu pengidap HIV ke bayi selama masa kehamilan, persalinan, atau menyusui.
Tingginya kasus HIV/AIDS, kata Arief, juga terpengaruhi faktor tanpa gejala atau asimptomatik. “Seorang pengidap HIV pada stadium awal terlihat seperti orang normal karena tidak menunjukkan gejala klinis. Hal ini bisa terjadi selama 5 sampai 10 tahun,” terangnya.
Manajemen Program HIV/AIDS
Menurut Arief, pemerintah terus melakukan berbagai upaya pencegahan yang berbasis perilaku maupun biologis untuk eliminasi penularan HIV/AIDS. Dari aspek perilaku, terdapat anjuran ABCDE, yakni abstinence, be faithful, use condom, no drugs, dan education. Kemudian, pencegahan melalui vaksin, profilaksis, serta pengobatan antiretroviral (ARV).
“Pemerintah telah menindaklanjuti sistem program strategis untuk monitoring dan evaluasi. Di antaranya, surveilans HIV/AIDS, peningkatan cakupan obat ARV, hingga kolaborasi TB-HIV,” tutur ketua Pengurus Cabang Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Kota Surabaya itu.
Selain pemerintah, menurutnya, perlu kolaborasi multi helix yang melibatkan peran masyarakat, akademisi, swasta, bahkan media massa. Hal ini berkaitan dengan masalah diskriminasi yang rentan dialami pengidap HIV/AIDS. Arief pun mengajak masyarakat agar menghapus stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
Pada akhir, ia berharap generasi muda juga dilibatkan dalam upaya pengendalian dan pencegahan HIV/AIDS. Langkah tersebut berupa optimalisasi pengetahuan mengenai pendidikan seks, literasi media, dan program kesehatan.
“Mengintegrasikan pendidikan seks dengan media teknologi untuk mengakses informasi yang benar dari sumber kredibel. Selain itu, promosi tes HIV rutin agar mempercepat eliminasi penularan HIV/AIDS,” pungkasnya.*