Hidayatullah.com–Akhir bulan lalu, majalah Unispiegel menurunkan laporan menarik seputar hasil jajak pendapat tentang teori Darwin dengan judul ’Künftige Lehrer zweifeln an Evolution’ (Para calon guru meragukan evolusi).
Dalam laporan yang terbit 26 April 2007 ini disebutkan bahwa sebanyak 12,5% atau 1 dari 8 mahasiswa calon guru yang baru diterima di Universitas Dortmund tidak begitu yakin bahwa evolusi benar-benar terjadi. Dalam lembaran jajak pendapat yang mereka isi, banyak di antara mereka yang memilih jawaban “Saya sama sekali tidak sependapat.” Sebagian mereka memilih jawaban seperti “Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Manusia berevolusi dari makhluk hidup lain.”
Secara lebih khusus, dari 148 orang mahasiswa jurusan guru mata pelajaran biologi, 5,5% meragukan teori ini. Bahkan 9% menolak bahwa mereka berkerabat dengan simpanse dan memiliki satu nenek moyang yang sama. Demikin hasil jajak pendapat yang diketuai oleh profesor Dittmar Graf, dosen biologi di Universtas Dortmund.
Profesor Graf nampak tidak puas dengan hasil ini, dan berharap bahwa pandangan yang tidak meyakini penuh kebenaran teori evolusi ini, terutama di kalangan mahasiswa biologi, akan berubah selama masa kuliah.
Kritik Teori Evolusi
Di Jerman, teori evolusi, yang menyatakan bahwa makhluk hidup tidak diciptakan sengaja, melainkan ada dengan sendirinya secara kebetulan, bukan lagi satu-satunya dogma yang diajarkan di sekolah untuk menjelaskan asal usul kehidupan. Paling tidak itulah yang terjadi di beberapa sekolah, termasuk misalnya di sebuah sekolah swasta kristen yang telah mendapat pengakuan pemerintah di kota Gießen, demikian papar majalah Schulspiegel, 19 September 2006.
Di lembaga pendidikan ini, disamping teori evolusi Darwin, diajarkan pula penjelasan asal usul kehidupan dari sudut pandang Intelligent Design (Perancangan Cerdas) dan menurut Penciptaan dalam agama Nasrani.
Adanya pengajaran yang mengkritisi teori evolusi ini tidak terlepas dari karya ilmiah yang dijadikan pegangan dalam pengajaran sudut pandang Perancangan Cerdas dan Penciptaan.
Di antara karya yang memuat kritik terhadap teori evolusi ini adalah buku “Evolution, Ein kritisches Lehrbuch” (Evolusi, Sebuah Buku Pelajaran Kritis) karya Dr. Reinhard Junker dan Prof. Dr. Siegfried Scherer. Buku ilmiah bermutu tinggi dengan gambar berwarna tersebut di tahun lalu telah mengalami revisi yang keenam kalinya, dengan memasukkan informasi terkini seperti asal usul informasi biologis.
Menentang Teori Evolusi
Prof. Dr. Siegfried Scherer, salah satu penulis buku di atas, yang membantah secara ilmiah dan panjang lebar tentang teori evolusi, bukanlah orang biasa. Ilmuwan biologi Jerman kelahiran 1955 ini pernah menduduki jabatan penting di lembaga ilmiah dan akademis Jerman, serta penerima sejumlah penghargaan penting atas prestasi ilmiah yang diraihnya, sebagaimana tercantum dalam situs TU München, http://www.wzw.tum.de/micbio/sigfried-scherer.php
Selain namanya telah tercantum sebagai penulis di lebih dari 100 publikasi ilmiah, kini Prof. Dr. Siegfried tercatat sebagai profesor dan dosen di salah satu universitas terkemuka di Jerman, Technische Universität München, bidang mikrobiologi.
Selain itu terdapat pula Dr. Henrik Ullrich, seorang dokter medis terkemuka di Zentrum für Diagnostische und Interventionelle Radiologie di rumah sakit Riesa-Großenhain, negara bagian Sachsen. Dr. Ullrich saat ini adalah ketua dari sebuah kelompok studi “Wort und Wissen” , sebuah organisasi Jerman yang sangat aktif menentang teori evolusi secara ilmiah dan memaparkan fakta ilmiah penciptaan. Selain Dr. Ullrich, ada pula Prof. Dr. Peter Imming dari Halle yang menjadi ketua II di organisasi tersebut. Peter Imming adalah dosen politeknik dan profesor di bidang kimia-farmasi dan kimia-kedokteran.
Demikianlah perkembangan di salah satu negara terbesar di negara Eropa, Jerman. Bukti-bukti ilmiah terkini semakin melemahkan dogmatisme evolusi, yang semakin mendapatkan penentangan oleh para profesor dan doktor di negara-negara Eropa. Mereka bahkan berjuang untuk memasukkan pelajaran yang mengkritisi teori evolusi di sekolah-sekolah dengan membuat buku ilmiah yang dijadikan acuan pelajaran sekolah. Bagaimana dengan di Indonesia? [cr/hidayatullah.com]