KEKERASAN dalam rumah tangga, terutama terhadap perempuan dan anak, membunuh jauh lebih banyak orang daripada di dalam perang dan merupakan bencana yang sering diabaikan dengan biaya ekonomi dunia lebih dari 8 triliun dolar (sekitar Rp 94.000 triliun) per tahun, kata para ahli, Selasa (9/9/2014).
Penelitian, yang penulisnya menyebutkan sebagai upaya pertama untuk memperkirakan biaya global terhadap kekerasan, mendesak PBB untuk lebih memperhatikan kekerasan yang terjadi di rumah, yang kurang mendapat perhatian dibanding konflik bersenjata dari Suriah sampai Ukraina.
“Untuk setiap kematian dalam medan perang saudara, kira-kira (sama dengan) sembilan orang … tewas dalam perselisihan antar-pribadi,” kata Anke Hoeffler dari Universitas Oxford dan James Fearon dari Stanford University, yang menulis dalam laporan penelitiannya.
Dari sengketa domestik sampai perang, mereka memperkirakan bahwa semua kekerasan di seluruh dunia menelan biaya 9,5 triliun dolar (sekitar Rp 111.625 triliun) per tahun, terutama untuk kehilangan perolehan ekonomi, yang setara dengan 11,2 persen dari produk domestik bruto dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 20-25 negara mengalami perang saudara, menghancurkan banyak ekonomi lokal dan biaya sekitar 170 miliar dolar (sekitar Rp 1197, 5 triliun) per tahun. Pembunuhan, terutama laki-laki yang tidak terkait dengan sengketa domestik, menelan biaya 650 miliar dolar (sekitar Rp 7637,5 triliun).
Tapi angka-angka itu dikerdilkan menjadi 8 triliun dolar per tahun untuk kekerasan dalam rumah tangga, terutama terhadap perempuan dan anak.
Studi ini mengatakan, sekitar 290 juta anak-anak menderita kekerasan kedisiplinan di rumah, menurut perkiraan berdasarkan data dari UNICEF.
Berdasarkan estimasi biaya, mulai dari cedera sampai kepada layanan kesejahteraan anak, studi memperkirakan pelecehan anak non-fatal menghabiskan 1,9 persen dari PDB di negara-negara berpenghasilan tinggi dan sampai 19 persen dari PDB di sub-Sahara Afrika. Di kawasan ini disiplin berat merupakan hal biasa.
Bjorn Lomborg, kepala Copenhagen Consensus Center yang ditugaskan menyusun laporan, mengatakan, kekerasan rumah tangga sering diabaikan, sebagaimana kecelakaan mobil kurang menarik perhatian dibanding kecelakaan pesawat, walaupun lebih banyak orang meninggal dalam kecelakaan di jalan. “Ini bukan lagi sekadar dikatakan, ‘ini adalah masalah besar’,” katanya kepada Reuters. “Tetapi ini adalah cara untuk mulai mencari solusi cerdas.”
Lembaganya mengacu pada karya lebih dari 50 ekonom, termasuk tiga pemenang Hadiah Nobel, yang membahas cara-cara efektif untuk memerangi segala sesuatu, mulai dari perubahan iklim sampai malaria.
Penelitian ini dimaksudkan untuk membantu target desain PBB pada tahun 2030 untuk keberhasilan Millennium Development Goals, yang dirancang dari tahun 2000 sampai 2015, termasuk membatasi kemiskinan dan meningkatkan pasokan air. Tujuan baru mencakup mengakhiri pemukulan terhadap anak-anak dalam penerapan kedisiplinan misalnya, atau mengurangi kekerasan terhadap perempuan di rumah.
Rodrigo Soares, profesor pada School of Economics di Sao Paulo, Brasil, mengatakan, penelitian ini baik untuk menyoroti sejumlah besar kematian akibat kekerasan dalam rumah tangga, meskipun ia mengatakan program ini “sedikit terlalu ambisius” untuk memperkirakan biaya global akibat kurangnya data.
Perkiraan biaya tersebut didasarkan pada penelitian sebelumnya di Amerika Serikat yang menempatkan biaya rata-rata kasus pembunuhan 9,1 juta dolar (Rp 107 miliar), termasuk pendapatan yang hilang dan biaya untuk sistem peradilan.
Penelitian ini kemudian mengekstrapolasi biaya-biaya tersebut ke negara-negara lain berdasarkan GDP mereka, berupa setiap kehidupan senilai $ 910.000 (Rp 10,6 miliar) setiap negara, dengan PDB per kapita adalah sepersepuluh dari Amerika.”
Untuk kekerasan non-fatal terhadap perempuan dan anak, laporan mendasarkan diri pada penelitian di AS yang memperkirakan biaya setiap serangan kekerasan sekitar $ 95.000 (Rp 1,1 miliar) dari biaya medis untuk kerugian pendapatan.*