Kita mesti memperhatikan rona hati kita yang sejatinya lebih penting ketimbang rona wajah, jagalah hati karena ia adalah panglima
Oleh: Ali Mustofa Akbar
Hidayatullah.com | APA KABAR hati kita, apakah ia masih berfungsi dengan baik, masih dapat mendeteksi kebaikan dan keburukan? Ataukah ia sedang mati sehingga butuh di-log in lagi? Rona artinya menutupi sehingga membutakan hati.
Coba kita croschek, bila berbuat taat terasa nikmat dan berbuat maksiat terasa rungkad (tumbang, red). Itu tanda hati kita masih hidup.
Namun sebaliknya, bila rajin maksiat, hati kok fine-fine saja, jangan-jangan hati sedang mati. Apa penyebab hati tidak lagi mampu berfungsi dengan baik?
Dijelaskan dalam Al-Quran bahwa tiada lain adalah dosa-dosa kita.
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Sekali-kali tidak! Tetapi apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifiin: 14).
Mengenai ayat ini, Hasan Al-Bashri rahimahumullah mengatakan sebagaimana terdapat dalam tafsir Ibnu Katsir:
وقال الحسن البصْري :هو الذنب على الذنب، حتى يعمى القلب، فيموت
“(yang menutupi hati) itu adalah dosa bertumpuk dosa sehingga membutakan dan mematikan hati.”
Senada dengan Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan dalam tafsirnya:
هو الذنب بعد الذنب
“Itu adalah dosa setelah (dilanjutkan) dosa berikutnya.”
Begitu yang terjadi jika melakukan maksiat di awal-awal berbuat maka hati masih akan mampu merasakan ketidak nyamanan, timbul perasaan cemas disertai penyesalan, tapi jika dosa itu diulang-ulang, akhirnya rasa cemas itupun menjadi hilang.
Sebagai contoh saat kita meninggalkan sholat, meninggalkan halaqah (mencari ilmu), dan mengerjakan sesuatu yang dimurkai oleh Allah lainnya kemudian hati kita ada perasaan cemas, maka kita layak bersyukur karena InsyaAllah hati kita masih hidup.
Demikian halnya dalam dimensi politik, terlebih menghadapi tahun-tahun politik. Manakala kita sebagai politisi meninggalkan menyerukan kembali kepada syariat Allah, meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, dan justru bertahkim dengan hukum sekulerisme, berkompromi dengan liberalisme, dengan sudah tidak ada lagi perasaan bersalah.
Maka perlu kita periksa lagi hati kita. Jika berbuat dosa hati sudah merasa nyaman, maka hati butuh di-charger dengan taubat, istighfar dan meninggalkan perbuatan dosanya itu.
Sebagaimana dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ اللَّهَ وَتَابَ، صُقِلَ قَلْبُهُ، فَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا، حَتَّى تَعْلُوَ عَلَى قَلْبِهِ (وَهُوَ الرَّانُّ) الَّذِي ذَكَرَ اللَّهَ فِي كِتَابِهِ: كَلَّا بَلْ رانَ عَلى قُلُوبِهِمْ مَا كانُوا يَكْسِبُونَ
“Sesungguhnya apabila seorang hamba berbuat dosa, terdapat satu bintik hitam di dalam hatinya. Kemudian jika ia beristighfar dan bertaubat kepada Allah, bersihlah hatinya. Namun, jika ia kembali berbuat dosa, maka bintik hitam tersebut akan semakin bertambah di hatinya, sehingga menutupi hatinya sepenuhnya. Inilah yang disebut ‘ar-rann’ yang disebutkan oleh Allah dalam kitab-Nya: “Sekali-kali tidak! Tetapi apa yang mereka kerjakan itu menutupi hati mereka’ (QS. 83:14).“ (HR. Tirmidzi)
Karena itu, sudah selayaknya kita mesti memperhatikan rona hati kita yang sejatinya lebih penting ketimbang memperhatikan rona wajah. Jagalah hati karena ia adalah panglima. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah bahwa dalam jasad manusia ada segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruh anggota dan jika maka rusaklah seluruh anggota, ketahuilah itulah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).*
Mahasiswa Ash-Shofwa University Mesir