JANGANLAH kalian (cepat) kagum terhadap amal seseorang sebelum kalian melihat akhir amalnya. (HR. Thabrani).
Mata, telinga, dan hati kita sering kali cepat terjebak oleh sesuatu yang memberi kesan “wah” pada diri orang lain. Kita lebih cepat tertarik oleh seseorang yang berpenampilan necis dengan wajah menawan dan gaya bahasa memukau, dibandingkan dengan seseorang yang terlihat sangat biasa dari sudut pandang mana pun. Apalagi jika kita termasuk tipikal orang yang jarang melibatkan hati saat menilai orang.
Memang manusiawi bila kesan pertama bisa begitu menggoda. Sebab, kita dianugerahi pancaindra sebagai jendela untuk mengenal orang lain. Tetapi, sebagai insan yang juga dianugerahi akal dan nurani, tentunya langkah selanjutnya terserah kita. Apakah kita cukup berhenti mengandalkan pancaindra kita untuk segera menganggap bahwa orang yang baru kita kenal adalah sosok yang baik? Atau, apakah kita masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk mempersilakan nurani dan akal untuk menilainya?
Sebagian besar orang, mungkin termasuk kita, hanya berhenti pada penilaian dengan pancaindra. Dengan demikian, kita tidak memberi kesempatan kepada akal dan nurani untuk turut andil dalam menilai seseorang. Ironisnya, akal dan nurani ikut terbutakan oleh janji dan mimpi.
Jika sekadar kenal seseorang, maka hal itu tidak akan berpengaruh terhadap keseharian kita. Namun, bila akhirnya kita mengikatkan diri dengannya, entah dengan kerja sama untuk usaha, investasi modal, pengangkatan karyawan, ataupun lebih intens untuk menjadi pasangan hidup, maka sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kehidupan kita.
Betapa banyak gadis yang terenggut mahkotanya sebelum malam pertama tiba hanya karena terbuai janji dan indahnya mimpi dari seorang pemuda yang mengaku anggota aparat negara. Begitu pun dengan orang lain yang gampang menginvestasikan modal berjuta-juta rupiah demi sebuah harapan lantaran manisnya mimpi yang dijanjikan oleh orang berdasi.
Sebenarnya, hal itu sudah jauh-jauh hari diisyaratkan oleh Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya, seseorang melakukan perbuatan ahli surga seperti yang tampak di mata orang-orang, sedangkan hakikatnya dia termasuk ahli neraka.”
Begitulah, bahwasanya banyak orang di dunia ini yang melakukan sesuatu, yang sepertinya sangat baik di mata manusia. Mereka ingin menolong, mengentaskan orang-orang dari kemiskinan, rajin ibadah, suka beramal, dan lain sebagainya. Tetapi, sebenarnya yang mereka lakukan tidak lebih dari topeng untuk mengelabuhi orang lain.
Mengenai itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Dan, di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan, apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (QS. al-Baqarah [2]: 204-205).
Orang yang bijak tentu takkan mudah menilai seseorang hanya dari segi penampilan. Sebab, kepribadian dan hakikat seseorang yang sesungguhnya akan diketahui setelah sekian lama kita mengenalnya. Boleh jadi, seseorang berpura-pura kaya dalam waktu sehari, dua minggu, ataupun satu bulan. Tetapi, jika ia tidak benar-benar kaya, maka ia takkan mampu mempertahankan kedoknya dalam waktu lama.
Orang yang tidak benar-benar rajin ibadah, tentu akan terbongkar seiring berjalannya waktu. Maka, sungguh benarlah apa yang tertuang dalam hadits riwayat Thabrani agar kita tidak cepat menilai seseorang sebelum diuji oleh waktu. Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Janganlah kalian (cepat) kagum terhadap amal seseorang sebelum kalian melihat akhir amalnya.”*/Fahruddin Ghozy, dikutip dari bukunya 100% Person! Smart Personality Tanpa Diskon!