Banyak kisah ini menjadi sindiran tajam bagi mereka yang lebih mementingkan ibadah sunnah sementara mengabaikan kewajiban agama
Hidayatullah.com | DALAM sejarah Islam, tidak jarang ditemukan kisah-kisah jenaka yang menyindir kebiasaan manusia dalam memahami agama.
Salah satu kisah menarik datang dari Abu Al-‘Aynā’ yang menceritakan pengalamannya melihat seorang budak perempuan yang enggan kembali kepada tuannya.
Suatu hari, Abu Al-‘Aynā’ melihat seorang budak perempuan yang bersama seorang pedagang budak. Dia bersikeras bersumpah bahwa dia tidak akan kembali kepada tuannya.
Penasaran, Abu Al-‘Aynā’ pun bertanya alasan di balik penolakannya.
Dengan nada jengkel, budak perempuan itu menjawab:
“Wahai tuanku, dia menyetubuhi saya dalam keadaan berdiri, tetapi shalatnya dilakukan sambil duduk. Dia mencaci maki dengan bahasa Arab yang fasih, tetapi saat membaca Al-Qur’an, dia banyak melakukan kesalahan. Dia rajin berpuasa pada hari Senin dan Kamis, tetapi tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Dia mendirikan shalat Dhuha, tetapi meninggalkan shalat wajib.”
Mendengar hal itu, Abu Al-‘Aynā’ pun menggelengkan kepala dan berkata: “Semoga Allah tidak memperbanyak orang seperti dia di kalangan kaum Muslimin.” (Sumber: Syihabuddin Abul Fath, Al-Mustatraf fi Kulli Fann Mustazraf, 166).
Di antara hal lucu dari kisah ini terletak pada kontradiksi dan ironi dalam perilaku majikan yang diceritakan oleh sang budak perempuan. Majikan tersebut melakukan berbagai hal yang tidak konsisten dan bahkan bertentangan dengan ajaran agama:
Pertama, dia berhubungan intim dalam posisi berdiri. Sedangkan saat shalat dengan posisi duduk. Kedua, dia menggunakan tata bahasa yang benar saat menghina, tetapi melakukan kesalahan tata bahasa saat membaca Al-Qur’an.
Ketiga, dia berpuasa pada hari Kamis dan Senin, tetapi tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Keempat, dia melakukan shalat dhuha, tetapi meninggalkan shalat wajib.
Kelucuan muncul dari fakta bahwa perilaku majikan tersebut sangat tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan ajaran agama. Komentar terakhir Abu Al-‘Aina yang berharap agar tidak banyak orang Muslim yang seperti majikan tersebut menambah unsur humor dan ironi dalam cerita ini.
***
Kisah ini menjadi sindiran tajam bagi mereka yang lebih mementingkan ibadah sunnah sementara mengabaikan kewajiban agama. Islam mengajarkan keseimbangan dalam menjalankan ibadah, dan kewajiban selalu lebih utama daripada sunnah.
Oleh karena itu, jangan sampai kita terjebak dalam kebiasaan yang mirip dengan si tuan dalam kisah ini, yang lebih memilih puasa sunnah daripada puasa wajib, dan mengutamakan shalat Dhuha tetapi melupakan shalat fardhu.
Terdapat setidaknya dua pendapat di kalangan ulama terkait hukum membatalkan puasa secara sengaja di siang hari bulan Ramadhan:
Pertama, pendapat yang mewajibkan kafarat. Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, serta tokoh seperti Atha’, Hasan al-Bashri, az-Zuhri, Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i, Ishaq, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa siapa saja yang membatalkan puasanya secara sengaja, baik dengan makan, minum, atau lainnya, wajib membayar kafarat.
Mereka berdalil dengan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ رَجُلًا أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ، فَأَمَرَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنْ يُعْتِقَ رَقَبَةً
“Bahwa ada seorang lelaki yang berbuka di bulan Ramadhan, lalu Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk memerdekakan seorang budak.”
Juga berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ مُتَعَمِّدًا، فَعَلَيْهِ مَا عَلَى الْمُظَاهِرِ
“Barang siapa yang berbuka di bulan Ramadhan dengan sengaja, maka ia wajib melakukan apa yang harus dilakukan oleh orang yang melakukan zihar.”
Berdasarkan hadits ini, mereka memahami bahwa kafarat tidak hanya berlaku bagi orang yang membatalkan puasa karena berhubungan suami istri, tetapi juga karena makan dan minum dengan sengaja.
Kafarat tersebut adalah: Pertama, memerdekakan seorang budak mukmin. Kedua, Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut. Ketiga, Jika tidak mampu juga, memberi makan 60 orang miskin.
Menurut mayoritas ulama, kafarat ini harus dilakukan secara berurutan, tidak bisa berpindah ke pilihan berikutnya kecuali jika benar-benar tidak mampu melaksanakan yang sebelumnya.
Pendapat kedua, pendapat yang tidak mewajibkan kafarat. Di sisi lain, Syafi’iyah dan Hanabilah, serta tokoh seperti Said bin Jubair, an-Nakha’i, Ibnu Sirin, Hammad, dan Dawud berpendapat bahwa membatalkan puasa dengan makan dan minum secara sengaja tidak mewajibkan kafarat, melainkan cukup dengan taubat dan mengganti (qadha) puasa tersebut.
Mereka berpendapat bahwa kewajiban kafarat hanya berlaku bagi mereka yang membatalkan puasa karena hubungan suami istri, karena itu adalah pelanggaran yang lebih berat.
Mereka berpegang pada prinsip bahwa hukum asalnya tidak ada kewajiban kafarat kecuali ada dalil yang jelas dari syariat. Dalam kasus ini, menurut mereka, dalil-dalil hanya menunjukkan kewajiban kafarat bagi yang melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, bukan untuk makan dan minum.
Bahkan, jika seseorang membatalkan puasanya dengan cara yang tidak lazim, seperti menelan batu atau tanah, atau bahkan murtad (menurut pendapat Malikiyah), hal itu tidak mewajibkan kafarat meski tetap diharuskan bertaubat dan mengganti puasanya.
Berdasarkan uraian data tersebut, dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama mewajibkan kafarat bagi yang sengaja membatalkan puasa di siang hari Ramadhan, baik karena makan, minum, atau lainnya.
Jadi, selagi tidak ada halangan, tetaplah berpuasa. Hindari apa yang dilakukan oleh seorang tuan dari kisah tersebut yang mengerjakan puasa sunnah Senin dan Kamis tapi meninggalkan puasa Ramadhan.
Sebagian ulama berpendapat kafarat hanya wajib bagi mereka yang membatalkan puasa karena hubungan suami istri, sedangkan untuk makan dan minum cukup dengan qadha dan taubat.
Bagi yang harus membayar kafarat, jumhur ulama mewajibkan secara bertahap (memerdekakan budak, puasa dua bulan, lalu memberi makan 60 orang miskin). Malikiyah membolehkan memilih salah satu dari tiga bentuk kafarat tersebut.*/Mahmud Budi Setiawan