Hidayatullah.com | DIKISAHKAN dari Khalaf bin Buhaim; Hari itu, Ibrahim dan Adham bertemu Syaqiq AI-Balkhi di Makkah. Ibrahim berkata kepada Al-Balkhi, “Maukah engkau menceritakan kepadaku awal kisah perjalanan spiritualmu?”
Lalu, Al-Balkhi pun bercerita, “Waktu itu, saya sedang berjalan melintasi sebuah padang. Tiba-tiba, saya melihat seekor burung yang patah sayapnya.” Dalam hati, saya bergumam, “Lihat dan perhatikanlah, dari mana burung ini mendapatkan makanannya?”
Lalu, saya duduk di samping burung itu. Sesaat kemudian, tiba-tiba datanng seekor burung lain sambil membawa makanan berupa belalang di paruhnya, lalu meletakkan belalang itu di paruh burung yang patah sayapnya tersebut.
Melihat kejadian tersebut, saya berkata dalam hati Lihat dan perhatikanlah! “Sesungguhnya Dia Yang telah mengadakan seekor burung yang normal bagi burung yang patah sayapnya ini di tengah padang seperti ini, Dia juga kuasa memberiku rezeki di mana pun saya berada.”
Lalu, sejak saat itu, saya memilih memfokuskan diri untuk beribadah dan tidak bekerja. Selesai mendengarkan ceritanya tersebut, lantas Ibrahim berkata kepadanya.
“Wahai Syaqiq, kenapa engkau justru memilih menjadi seperti burung yang patah sayapnya itu, dan bukan memilih menjadi burung yang normal dan sehat yang telah memberi makan burung yang sakit tersebut? Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ”Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah?” Bukankah di antara tanda seorang mukmin sejati adalah, dia menginginkan satu dari dua derajat yang lebih tinggi dalam segala hal, hingga dia mencapai tingkatan Al-Abrar (orang vang banyak berbakti)?”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Syaqiq AI-Balkhi pun langsung memegang dan mencium tangan Ibrahim bin Adham seraya berkata, “Anda guru kami, wahai Abu Ishaq.”* (dari buku 500 Kisah Orang Saleh Penuh Hikmah)