Oleh: Abdullah al-Mustofa
SEBUAH sinetron berdasarkan kisah nyata dari Mesir beberapa hari yang lalu ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta tanah air. Sinetron tersebut mengisahkan seorang ibu yang diajak putranya pergi ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah umrah. Betapa bahagianya si anak karena ibunya dapat mengunjungi Tanah Suci. Tapi kebahagiannya itu berubah menjadi kesedihan tatkala ibunya berada di dalam kawasan Masjidil Haram tidak bisa melihat Ka’bah karena tidak bisa melihat apa-apa kecuali kegelapan.
Dia tidak putus asa. Dia tiada putus memohon kepada Allah swt agar Dia berkenan mengampuni dosa-dosa ibunya serta membuat ibunya bisa melihat Ka’bah. Namun Allah swt belum berkenan mengabulkan doa-doanya hingga saatnya harus kembali ke tanah air mereka. Dia pun tidak putus asa untuk mengajak ibunya untuk pergi ke Tanah Suci hingga lima kali umrah dan satu kali haji meskipun ternyata ibunya tetap mengalami hal yang sama, ibunya selalu mengalami kebutaan ketika berada di kawasan Masjidil Haram.
Di laman web onislam.com berbahasa Inggris ada seorang yang telah tiga kali melaksanakan haji dan berencana akan melaksanakan haji tahun ini mengajukan pertanyaan apa yang sebaiknya dia lakukan antara memenuhi keinginan diri sendiri dengan melaksanakan haji lagi dan memenuhi kebutuhan umat dengan jalan membantu meringankan beban umat Islam yang dirundung kemalangan.
Setiap tahun selalu ada saja sejumlah artis atau selebritis Indonesia yang berkesempatan pergi ke tanah suci untuk berumroh atau berhaji. Mantan model dan peragawati, Okky Asokawati yang sudah pernah haji pada tahun 2003, tahun ini kembali ke Tanah Suci dengan mengajak suami tercinta, Nono Patromodimulyo.
Haji Sebagai Gaya Hidup
Di jaman yang penuh dengan kemudahan dan fasilitas ini menunaikan ibadah umrah dan haji telah menjadi gaya hidup sebagian kaum Muslimin dari sudut dunia manapun baik itu pejabat pemerintah, tokoh agama, kalangan selebritis, pengusaha maupun mereka yang berasal dari kalangan awam. Mereka dengan mudah dan ringan mengunjungi Baitullah (Rumah Allah) layaknya mengunjugi rumah kawan, kenalan atau kerabat di luar desa atau di luar kota. Saking mudah dan ringannya hingga sebagian dari mereka mampu haji atau umrah setiap tahunnya. Bahkan juga tidak mengherankan ada yang mampu beberapa kali dalam setahun ulang alik antara Tanah Air dan Tanah Suci.
Fenomena tersebut patut disyukuri. Hal ini secara kasat mata menunjukkan adanya peningkatan ghiroh keislaman dalam beramal di kalangan umat Islam. Namun fenomena ini juga patut menjadi keprihatinan dan bahan renungan kita bersama.
Apakah patut menjadikan haji dan atau umroh sebagai gaya hidup sedangkan pada saat yang sama ada begitu banyak saudara-saudara seiman (dan jumlah mereka ini jauh melebihi mereka yang mampu menjadikan haji dan umrah sebagai gaya hidup) yang menjadi korban peperangan, bencana alam, bencana ekonomi dan bencana sosial?
Pribadi yang berakal sehat dan beriman tentu tidak bisa menerima hal ini dan menjawab tidak patut!
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ أَوْ قَالَ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antaramu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setiap orang yang waras tentu mencintainya dirinya sendiri, untuk itu dia tidak pelit untuk mengerahkan daya, upaya, waktu dan dana untuk menjaga keberlangsungan, kesejahteraan dan keselamatan hidupnya. Salah satu tanda keimanan seorang Muslim adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Dengan demikian dia tidak akan pelit mengerahkan daya, upaya, waktu dan dana untuk menjaga keberlangsungan, kesejahteraan dan keselamatan hidup saudara-saudara seagamanya.
“Jihad” Sebagai Gaya Hidup
Lalu apa yang patut dan mesti dilakukan? Yang bisa ditawarkan adalah menjadikan “jihad” dalam arti yang sebenarnya – bukan yang salah dimengerti dan dalam pengertian yang salah – sebagai gaya hidup di kalangan umat Islam.
Syeikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya “Fiqhul Jihad” berpendapat bahwa kata jihad mempunyai makna yang lebih luas daripada kata peperangan (al-qital), meskipun kata beliau, fiqih memahami kata jihad hanya berarti peperangan.
Beliau mengemukakan berbagai definisi jihad yang diberikan para ulama. Beliau lebih memilih jihad yang didefinisikan sebagai pengerahan usaha dan kemampuan di jalan Allah dengan nyawa, harta, pikiran, lisan, pasukan, dan lain sebagainya. Menurut beliau definisi ini yang lebih tepat karena mencakup seluruh jenis jihad yang diterangkan al-Qur’an dan Sunnah.
Dengan mengutip pendapat Ibnu Taimiyah beliau memberikan isyarat bahwa jihad mencakup aktivitas hati berupa niat dan keteguhan, aktivitas lisan berupa berupa dakwah dan penjelasan, aktivitas akal berupa pemikiran dan ide, serta aktivitas tubuh berupa perang dan lain sebagainya.
Beliau membagi jenis jihad menjadi :
1. Jihad Militer: Jihad Perlawanan dan Jihad Penyerangan
2. Jihad Spiritual
3. Jihad Dakwah
4. Jihad Sipil (al-Jihad al-Madani). Jihad sipil ini mencakup Jihad Ilmu, Jihad Sosial, Jihad Ekonomi, Jihad Pengajaran, Jihad Kesehatan, dan jihad lainnya.
Berdasarkan makna, definisi, konsep dan cakupan “jihad” sebagaimana yang dijelaskan Syeikh Yusuf Qardhawi, maka masih banyak ladang dakwah dan amal-amal sosial yang bisa diterapkan dan mampu menyelesaikan problematika umat Islam kontemporer.
Dr. Wael Shihab, yang memperoleh gelar doktor dalam bidang Studi Islam dari Universitas Al-Azhar Mesir, mantan Ketua Unit Fatwa di IslamOnline.net memaparkan, tidak bisa diterima jika seorang Muslim berulang kali melakukan ibadah umrah dan haji yang merupakan ibadah sunah tapi meninggalkan kewajibannya membantu saudara seagamanya untuk mempertahankan identitas dan keyakinan agama mereka, melindungi kehidupan mereka, mendukung dakwahnya, kesejahteraan masyarakat, mendukung proyek-proyek keislaman seperti pusat Islam dan sekolah-sekolah yang mendidik Muslim dan non-Muslim untuk mengetahui Islam dan ajaran-ajarannya, serta mendidik generasi penerus umat Islam dengan nilai-nilai Islam.
Rasulullah saw bersabda yang artinya:
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw ditanya, “Amal apakah yang paling utama?” Maka beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ditanyakan lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ditanyakan lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, ada baiknya, jika kita memiliki harta berlimpa, mari kita semua memberikan prioritas pada tugas dan ‘jihad sosial’. Tanpa melarang keinginan melakukan haji dan umrah, sebaiknya ibadah ini kita lakukan sekali-dua kali, bukan berulang kali. Wallahu a’lam
Penulis adalah peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur, kandidat Master Studi Al-Qur’an di IIUM (International Islamic University Malaysia)
Keterangan: Umroh bersama artis