TAHUN 2015 umat Islam mengalami banyak masalah, baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi eksternal umat Islam dikejutkan dengan adanya terompet yang dibuat dari cover al-Quran. Kemudian ada juga penggunaan adzan dalam perayaan Natal. Sementara itu, isu terorisme masih terus diarahkan pada batang hidung umat Islam.
Sementara itu di sisi internal, umat Islam masih belum membuka diri untuk melakukan beragam upaya komunikasi dan koordinasi untuk mewujudkan Islam yang sesungguhnya, dimana sinergisitas dalam memajukan umat bisa berjalan dengan baik, sebagaimana yang Allah tegaskan di dalam Al-Quran, bahwa kecintaan-Nya jatuh kepada Muslim yang mampu bersatu, rapi dalam shaf-shaf perjuangan laksana gedung yang kokoh.
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِهِۦ صَفّٗا كَأَنَّهُم بُنۡيَٰنٞ مَّرۡصُوصٞ ٤
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. 61: 4).
Dalam konteks kekinian, kebutuhan untuk umat ini bersinergi atau tepatnya bersatu membangun Jama’atul Muslimin tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Pertama, secara faktual, umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia sering mendapat perlakuan-perlakuan tidak menyenangkan. Dalam beberapa kasus justru didiskreditkan (baca terorisme).
Di lapisan bawah dari umat Islam, mereka yang secara ekonomi masih lemah, tidak jarang menjadi sasaran empuk pemurtadan, sementara sebagian besar dari umat ini belum menyadari atau bahkan tidak mampu merespon hal yang sangat krusial tersebut.
Kedua, dalam kacamata globalisasi, sudah bukan masanya lagi suatu permasalahan diserahkan pada sosok pemimpin semata. Tetapi mengharuskan tim yang hidup dalam kerjasama. Dalam bahasa Islam, maka tidak mungkin umat ini akan bangkit dan menjadi teladan alias terdepan jika jamaah kaum Muslimin tidak pernah diupayakan.
Dalam situasi dimana masyarakat berubah sangat cepat dengan tuntutan yang kian besar dan beragam, mengandalkan kemampuan diri masing-masing dari diri atau kelompok umat Islam, hanya akan membuat umat Islam secara keseluruhan kian tertinggal dan tertatih-tatih dalam kompetisi membangun peradaban.
Lebih spesifik lagi, mesti disadari dengan sebaik-baiknya, bahwa kemampuan manusia belajar segala hal amatlah terbatas. Sementara kompleksnya tuntutan yang ada sangat banyak dan meliputi segala sektor kehidupan. Dengan demikian, membangun persatuan jamaah-jamaah dari umat Islam bukan saja penting dan mendesak, tetapi sudah amat dibutuhkan, sebagaimana manusia berhajat terhadap oksigen.
Janine Garner dalam bukunya From Me to We: Why Comercial Collaboration Will Future-Proof Business, Leaders aand Personal Succes menyatakan bahwa sekarang sudah bukan lagi masanya ungkapan kuno diterapkan; “Siapa yang kuat dialah yang menang.” Tetapi ini adalah era dimana siapa yang mampu menjalin hubungan bersama secara kuat akan menjadi besar.
Bahkan, lebih jauh mungkin, ungkapan yang bertahan bukanlah yang terkuat, tetapi yang paling adaptif terhadap perubahan juga tidak lagi memiliki relevansi yang tinggi dalam konteks mewujudkan Umat Islam sebagai khayru ummah. Tetapi, yang akan terdepan hanyalah yang berjamaah. Sungguh amat aneh jika umat Islam yang memiliki konsep jamaah, justru yang paling belakang sadar akan pentingnya berjamaah ini.
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءٗ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنٗا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٖ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ ١٠٣
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imran [3] :103).* (BERSAMBUNG)