“Lawanlah nafsu bicara dengan menutup mulut. Hadapilah persoalan pelik dengan tafakur,” demikian ungkap Imam Syafi’I yang dikutip Imam Ghazali dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dholal.
Jika seseorang merasa hidupnya tak ada harapan, sebaiknya dia bersegera untuk bertafakur, terutama tentang akhirat. Hal ini menurut Imam Ghazali akan memudahkan hati untuk insaf, semakin teguh keyakinan bahwa akhirat lebih utama dan kekal, serta muncul harapan besar bahwa Allah pasti menolong.
Beberapa pekan lalu, saya sempat bersua seorang pengusaha di daerah Yogyakarta. Awalnya ia merasa percaya diri dengan kemampuan marketing dan manajemen bisnisnya. Tetapi, setelah diterapkan, semua perencanaan yang secara manajemen modern telah memadai itu, tidak bersahabat dengan kenyataan. Gagal-lah dia.
Tentu hatinya sangat terpukul, mendapati kenyataan seperti itu. Tetapi, ia tidak marah, kecewa dan murka. Ia terus bertafakur, berpikir usaha apa yang tepat. Tidak berhenti disitu, ia juga bertafakur apa yang kurang ya dalam pandangan Allah. Setelah sekian lama berpikir, akhirnya ia temukan, yakni tidak mendekat kepada Allah Ta’ala.
Akhirnya, ia bersedekah, bantu anak-anak yatim dan peduli terhadap tetangga yang berkebutuhan serta tidak lupa sholat Dhuha setiap hari. Apa yang terjadi, kini sang pengusaha berkseimpulan bahwa mentaati Allah adalah kunci sukes dari bisnis yang dibangunnya.
Tidak lagi dia berpendapat bahwa bisnis yang bagus adalah dengan menyediakan gadis-gadis cantik dengan rambut yang dicat dan diurai disetai pakaian tidak patut sebagai cara menarik perhatian calon pembeli.
Idealnya seorang Muslim, menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin membiasakan diri bertafakur dengan model sebagai berikut.
Pertama, apakah sesuatu yang saya akan lakukan diridhoi Allah atau tidak?
Kedua, jika ternyata suatu jalan itu tidak disukai Allah, bagaimana cara kita menjauh dan terhindar darinya?
Oleh karena itu, insan beriman mesti selektif terhadap dirinya agar terlepas dari segala hal yang tidak mengundang keridhoan-Nya.
Sayidah Aisyah adalah sosok yang patut kita teladani. Istri Rasulullah itu amat ketat dalam menjaga dirinya, bahkan terhadap larangan-larangan yang dianggap kebanyakan manusia sepele, soal mainan.
Diriwayatkan, Aisyah radhiyallahu anha pernah mendengar bahwa keluarganya memiliki permainan dadu di rumahnya. Aisyah langsung berkirim surat kepada mereka dan berkata, “Jika kalian tidak membuangnya keluar, maka aku akan mengeluarkan kalian dari rumahku.” (HR. Bukhari).
Seolah tidak mau kehilangan waktu, bermain-main di dalam rumah pun Sayyidah Aisyah menolak. Dan, kalau kita pelajari ulama terdahulu, memang mereka sangat selektif dalam memanfaatkan waktu, utamanya untuk ibadah dan tafakur.
Kemudian kita bisa belajar dari kisah Imam Syafi’i. Ulama kelahiran Gaza itu mampu tidak tidur semalam suntuk dalam tafakur dan berhasil memecahkan 70 masalah fiqih; dan sepanjang itu, Imam Syafi’i tidak batal hingga melaksanakan sholat Shubuh dengan wudhu’ sholat Isya’.
Dalam soal ucapan misalnya, kebanyakan orang bermain-main dengan banyak bercanda. Baik melalui lisan maupun tulisan via group-group di aplikasi chatting smart phone. Fudhail bin Iyadh biasa menghitung apa yang diucapkannya dari minggu ke minggu. Mengapa bisa? Boleh jadi karena terinspirasi dengan kebiasaan Nabi Isa Alayhissalam, yang disebutkan, “Bicaranya adalah dzikir dan diamnya adalah berpikir.”
Dalam Ihya’ Ulumuddin Imam Ghazali juga memberikan kita panduan, bahwa seorang Muslim patut berpikir kemudian mengevaluasi pada setiap aktivitas anggota tubuhnya. Terhadap lisan misalnya, “Sesungguhnya lisan itu menghadap kepada mengumpat, berdusta, menyucikan diri, menertawakan orang lain, berbantah-bantahan, berenda-gurau dan terjun pada apa yang tidak penting dan lain-lainnya dari yang disukai.”
Buya Hamka dalam bukunya Pribadi Hebat menegaskan bahwa “Lidah mewakili kebatinan kita.” Oleh karena itu kendalikan lidah dengan tafakur. Al-Jahiz berkata, “Sebaik-baik perkataan adalah sedikit, tetapi bermanfaat daripada banyak bicara, tetapi kosong.”
Pada akhirnya, tafakur memang benar-benar kita butuhkan untuk selamat dunia-akhirat. Ibn al-Jauzi dalam bukunya Shaid al-Khatir menuliskan, “Orang yang memikirkan akhir kehidupan pasti akan menaruh kewaspadaan, dan orang yang meyakini lamanya perjalanan tentu akan melakukan persiapan.”
Ada ungkapan penting yang amat patut kita renungkan, bahwa “Tidak ada tafakur yang lebih berfaedah daripada membaca Al-Qur’an, merenungkan isinya dan menyalami artinya.” Dan, kita bisa lihat bagaimana antusiasme ulama terdahulu dalam membaca dan mentadabburi Al-Qur’an.
Kemudian, sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban menyebutkan, “Berpikir sesaat lebih utama daripada ibadah setahun.”
Ini karena berpikir bisa memberi manfaat-manfaat yang tidak bisa dihasilkan oleh suatu ibadah yang dilakukan selama setahun.
Abu Darda’ seorang sahabat yang terkenal sangat abid pernah ditanya tentang amalan yang paling utama, ia menjawab, “tafakur.”
Dengan tafakur seseorang bisa memahami sesuatu hingga hakikat, dan mengerti manfaat dari yang membahayakan. Dengan tafakur, kita bisa melihat potensi bahaya hawa nafsu yang tersembunyi di dalam diri kita, mengetahui tipu daya setan, serta kelengahan dan kelalaian diri yang merasa benar dalam ketidakbermanfaatan sepanjang hari seumur hidup. Oleh karena itu, mari bertafakur. Jika sulit memulainya, awalilah dengan terbiasa membaca Al-Qur’an yang disertai keinginan kuat memahami makna dan maksudnya. Insya Allah ada pertolongan-Nya.*