SEORANG pemuda mendatangiku saat aku keluar untuk sebuah keperluan di teras kamar tamu di sebuah pesantren di Kalimantan Selatan.
Pemuda ini sebenarnya punya pendidikan D II di bidang bahasa Arab. Namun, ia merasa dirinya tak berarti kala menyadari dirinya tak bisa berangkat studi ke Timur Tengah.
“Bukan tidak lulus, Bang,” ucapnya menegaskan kepadaku.
“Aku tidak bisa ke Mesir karena tidak ada biaya. Padahal saat itu proposal telah kusampaikan pada pemerintah, sudah disetujui. Tapi qadarullah, pencairannya justru saat tenggat waktu berangkat telah berlalu. Bahkan saat kucoba untuk mengambil, tiba-tiba ada musibah bencana alam, sehingga dikabarkan kepadaku, dana itu teralihkan untuk membantu korban bencana,” tuturnya dengan suara yang berat.
Pemuda ini pun tertunduk dan seakan-akan pikirannya melayang andai bisa memutar keadaan, pastilah kini ia sudah di Timur Tengah.
Menyaksikan itu, aku menghela napas panjang. Lalu kukatakan kepadanya, “Banyak orang Islam tahu rukun iman, utamanya iman kepada taqdir baik dan taqdir buruk. Ya, banyak yang tahu. Tetapi tidak mengerti bagaimana mengoperasikan iman kepada taqdir itu sendiri,” uraiku yang menjadikan wajah sang pemuda sedikit terangkat.
“Akibatnya kala tiba ketetapan Allah yang tidak sesuai keinginan hati, diri merasa menyesal, merasa bersalah, bahkan lebih jauh merasa tidak lagi berarti. Padahal, perasaan itu muncul boleh karena kita khawatir dengan pandangan orang. Ah, tidak hebat kalau bukan lulusan Timur Tengah. Ah, tidak berarti kalau lulusan universitas di Indonesia,” sambungku yang membuat sang pemuda buru-buru menyahut. “Betul, betul, Bang,” timpalnya.
Allah Maha Baik
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)
Betapa banyak orang merasa hidupnya tak berarti hanya karena pikirannya terhadap apa yang dialami bertentangan. Padahal, betapa banyak orang akhirnya mengerti bahwa apa yang dahulu disesali, dibenci, justru menjadi penyelamat di masa kemudian.
Asbabun nuzul ayat di atas memang berkaitan dengan konteks sikap orang yang enggan pergi jihad ke medan perang. Akan tetapi pada ayat “Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia sangat buruk bagimu,” bermakna umum.
Ibn Katsir mengatakan, “Bisa saja seseorang menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu tidak mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan baginya.”
Seperti kita ketahui, Nabi Muhammad adalah orang yang sejak kecil telah mengalami beragam kesulitan. Namun, karena optimisme, keyakinan, yang dibuktikan dengan konsisten membangun karakter pribadi yang jujur, beliau mampu hadir sebagai manusia yang mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala.
Jadi, situasi sulit, atau tidak sesuai dengan harapan yang disikapi dengan keyakinan baik kepada Allah, disertai langkah-langkah positif dalam mengisi kehidupan, pada akhirnya akan memberikan banyak kebahagiaan secara nyata.
Seorang dai yang bertugas di Papua pernah bertutur, “Saat saya tugas merintis cabang ke Maluku dan Papua, pesan dari pembimbingku sangat sederhana. Nak, kamu berangkat tugas jauh, mengarungi lautan yang luas. Tapi percayalah, Nak. Seluas laut yang kau seberangi, seluas itulah ujian, tantangan, dan kenikmatan yang akan engkau terima dari Allah Ta’ala. Itulah yang membuatku yakin, terus bergerak. Alhamdulillah sampai saat ini.”
Oleh karena itu, jangan sekali-kali berprasangka buruk kepada Allah atas hal yang tidak kita harapkan terjadi dan menimpa hidup kita. Justru sebaliknya, kita harus bersyukur. Sebab, setiap kesulitan yang disikapi secara tepat dalam pandangan iman, pastilah akan menjadi wasilah kebaikan di masa yang akan datang.
Dalam kitab Al-Hikam, Ibn Athaillah berkata, “Barangsiapa mengira kelembutan Allah itu terlepas dari taqdir-Nya, maka itu karena kedangkalan pandangannya.”
Maksudnya adalah akal pikiran kita terhalang dari menyaksikan hadirnya karunia Allah dalam setiap musibah atau hal yang tidak kita inginkan. Padahal, tidaklah sebuah keadaan buruk menimpa seseorang melainkan Allah sediakan limpahan nikmat dan karunia pada sisi lain dan dimasa yang akan datang.
Di sini, iman memang harus bisa “bekerja” secara aktif agar lika-liku kehidupan tak mengguncangkan hati dan pikiran kita. Untuk itu, penting sekali terus mengenal Allah sebagai yang Maha Membuat Keputusan, yang berarti Allah Maha Berkehendak yang itu bisa terjadi melalui dan atau tanpa sebab.
Al-Kindi mengatakan, “Pengetahuan tentang sebab lebih mulia daripada pengetahuan tentang akibat, sebab kita bisa memiliki pengetahuan lengkap tentang segala sesuatu yang bisa diketahui hanya ketika kita memperoleh pengetahuan penuh atas sebabnya.”
Artinya, kalau kita yakin, percaya sepenuh hati apa yang kita alami adalah dari Allah, maka reaksi atau pun respons yang akan kita berikan terhadap apapun adalah yang selalu mampu dan pasti menguatkan iman, mengokohkan rasa percaya diri dalam amal shaleh, dan tidak melakukan apapun kecuali kemaslahatan. Bukan yang sebaliknya, membuat loyo, lesu, tak bergairah dan putus asa, apalagi sampai (mohon maaf) menilai seakan-akan Allah salah dalam memberi keputusan dalam hidup ini. Allahu a’lam.* Imam Nawawi