Hidayatullah.com- DI SAMPING mengandung ajaran aqidah dan syari’ah, ia juga amat memperhatikan akhlak dan adab. Tidak hanya adab terhadap sesama manusia, Islam juga menekankan ajaran adab kepada benda-benda yang memiliki kemuliaan, seperti kitab-kitab ilmu.
Bagi penuntut ilmu sendiri, kitab merupakan sarana yang amat penting dalam menuntut ilmu. Imam Badruddin Ibnu Jama’ah berkata,”Hendaklah bagi penuntut ilmu untuk memiliki perhatian dalam memperoleh buku-buku yang diperlukan yang dimungkinkan diperoleh dengan cara membeli. Jika tidak, maka dengan menyewa atau meminjam, karena ia merupakan alat untuk memperoleh (ilmu).” (Tadzkirah As Sami` wa Al Mutakallimin, hal. 161)
Meminjamkan Buku Perkara yang Mustahab (Sunnah)
Meminjamkan buku hukumnya mustahab, jika peminjam tidak dirugikan karena hal itu, kepada pihak yang dipinjami yang juga tidak dirugikan karena hal itu. (Tadzkirah As Sami` wa Al Mutakallimin, hal. 162)
Dan peminjam buku hendaklah berterima kasih kepada orang yang meminjaminya, dan tidak berlama-lama meminjamnya jika tidak perlu untuk itu tapi segera mengembalikannya jika keperluannya sudah selesai. (Tadzkirah As Sami` wa Al Mutakallimin, hal. 163)
Peminjam buku tidak diperbolehkan membenarkan isi buku tanpa izin dari pemiliknya, juga tidak menulis catatan pinggir, serta tidak menulis sesuatu pun di halaman kosong, baik di halaman awal mauapun di akhir halaman. (Tadzkirah As Sami` wa Al Mutakallimin, hal. 163)
Peminjam buku juga tidak boleh meminjamkan buku itu kepada orang lain, dan tidak pula menitipkannya jika tidak dalam kondisi darurat. (Tadzkirah As Sami` wa Al Mutakallimin, hal. 164)
Adab Meletakkan Buku
Hendaklah tidak meletakkan buku di atas tanah, namun diletakkan di atas alas, baik itu alas buku, maupun kayu atau sejenisnya, sehingga buku tidak cepat rusak.
Demikian pula perlu memperhatikan adab dalam meletakkan buku-buku dengan melihat dari segi ilmu dan kemuliaanya, serta melihat para penulisnya dan kebesaran mereka. Maka perlu meletakkan buku yang paling mulia di tempat paling atas, kemudian diikuti sesuai dengan urutannya. Jika di antara buku-buku itu ada mushaf Al Qur`an, maka ia diletakkan paling atas. (Tadzkirah As Sami` wa Al Mutakallimin, hal. 164)
Mushaf Al Qur`an Diletakkan di Tempat Tinggi
Para ulama sepakat mengenai kewajiban untuk menjaga mushaf Al Qur`an dan memuliakannya. Untuk memuliakan Al Qur`an, ketika ia diletakkan di rak, maka ia diletakkan di bagian paling atas dari rak itu dan diharamkan meletakkannya di lantai, tapi harus ditinggikan darinya meskipun sedikit, sesuai dengan urf. (Tuhfah Al Habib, 1/554)
Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam fatwanya mengharamkan membuka lembaran mushaf dengan jari-jari yang diberi ludah. Tidak boleh menempelkan ludah di bagian manapun dari mushaf. (Hasyiyah At Tarmasi, 1/702)
Kemudian buku-buku Hadits seperti Shahih Muslim, kemudian tafsir Al Qur`an, kemudian tafsir Hadits, kemudian buku-buku ushuluddin, lalu ushul fiqih, lalu fiqih, lantas nahwu dan tashrif, lalu kitab syair-syair Arab lantas Al Arudh. (Tadzkirah As Sami` wa Al Mutakallimin, hal. 164)
Jika ada dua kitab dalam satu displin ilmu, maka yang paling tinggi adalah yang paling banyak terdapat Al Qur`an atau yang terbanyak Haditsnya. Jika dalam hal itu keduanya sama, maka yang dipertimbangkan adalah kebesaran penulisnya. Jika dalam hal itu sama, maka yang dipertimbangkan adalah yang paling dulu ditulis, dan paling banyak dimiliki oleh para ulama dan orang-orang shalih. Jika hal itu sama, maka yang diutamakan adalah kitab yang paling shahih. (Tadzkirah As Sami` wa Al Mutakallimin, hal. 164)
Hendaklah tidak menjadikan buku sebagai alas kepala, juga tidak sebagai kipas, juga tempat bersandar, juga tidak sebai tempat untuk membunuh kutu. (Tadzkirah As Sami` wa Al Mutakallimin, hal. 164)
Adapun menjadikan kitab sebagai bantal dikarenakan hanya itu satu-satunya cara agar kitab tidak dicuri, maka perbuatan itu dibolehkan. (Syarh Ta’lim Al Muta’allim, hal. 58)
Tidak juga melipat sudut kertas atau pinggirnya dan tidak mengajarkan kitab dengan ranting, tapi dengan kertas. Jika memiliki kuku panjang, maka hendaklah tidak membuka halamannya dengan kuku secara kuat. (Tadzkirah As Sami` wa Al Mutakallimin, hal. 164)
Termasuk adab terhadap kitab, tidak menjulurkan kaki kepada kitab, juga tidak meletakkan sesuatu di atas kitab. Syeikh Burhanuddin mengisahkan dari seorang ulama, bahwasannya ada seorang faqih meletakkan tempat tinta di atas sebuah kitab, maka ia pun berkata,”Engkau tidak memperoleh manfaat darinya.” Namun Qadhi Fakhruddin berpendapat, jika hal itu dilakukan tidak dalam rangka meremehkan, maka tidak mengapa dilakukan, namun lebih baik ditinggalkan. (Ta`lim Al Muta’allim, hal. 83)
Berwudhu ketika Memegang Kitab
Az Zarnuji berkata,”Dan termasuk pengagungan terhadap ilmu adalah pengagungan terhadap kitab. Maka hendaklah bagi penuntut ilmu tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci.” Dikisahkan dari Syeikh Syams Al A’immah Al Hulwani, di mana ia berkata,”Sesungguhnya aku memperoleh ilmu ini dengan pengagungan. Sesungguhnya aku tidak memegang buku, kecuali dalam keadaan suci.” (Ta’lim Al Muta’allim, hal. 82)
Imam Syams Al A’immah Asy Syirakhsyi suatu saat menderita sakit perut dalam suatu malam. Dan saat itu ia mengulang wudhu hingga delapan belas kali. Hal itu dikarenakan Asy Syirakhsyi tidak menela’ah kitab kecuali dalam keadaan memiliki wudhu. Karena baik wudhu maupun ilmu kedua-duanya adalah cahaya, ketika ada dua cahaya, maka semakin bertambah cahaya ilmu (Syarh Ta’lim Al Muta`allim, hal. 57)