BIDUK rumah tangga bak bahtera yang berlayar di tengah lautan. Lautan tentu tak selamanya tenang dan nyaman, kadang kala harus menghadapi badai, ombak, angin kencang, atau cuaca yang tidak bersahabat. Itulah mengapa dalam Islam suami dinobatkan sebagai kepala rumah tangga atau pemimpin (imam) bagi keluarganya.
Bahkan tanggung jawab seorang imam keluarga tidak saja terbatas di dunia semata, tetapi berlanjut hingga ke akhirat. Di sini para suami sangat penting mengetahui bagaimana menjadi imam yang baik bagi keluarganya.
Lebih dari Istri
Lebih di sini tiada lain adalah lebih dalam segala sifat positif. Seperti lebih ikhlas, lebih sabar, lebih dewasa, dan lebih yang lainnya. Kompetisi dalam hal ini sangat-sangat positif. Seperti kompetisi antara Abu Bakar dan Umar dalam hal amal shaleh.
Hal ini tiada lain karena seorang suami telah menjadi tumpuan, harapan, dan masa depan istri serta anak-anaknya. Suami adalah kekayaan paling nyata bagi seorang istri. Selain itu, masa depan suami juga ditentukan oleh baik tidaknya keluarga yang dipimpinnya.
Oleh karena itu, tidak patut seorang suami tidak menghargai, tidak menghormati dan tidak memuliakan istrinya. Suami harus mampu memuliakan istrinya, menasehati sekaligus membimbingnnya agar tidak keliru dalam kehidupan.
Namun demikian, ada cara yang mesti ditaati oleh para suami dalam menasehati, membimbing atau pun membina istrinya. Hal ini karena wanita adalah sosok perasa, mungkin ada yang sangat sensitif, sehingga perlu seni dan kehati-hatian dalam membimbing mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Nasehatilah para wanita dengan baik, sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (laki-laki) sebelah kanan, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya, maka seandainya engkau berusaha meluruskannya, niscaya dia akan patah dan kalau engkau biarkan, ia akan tetap bengkok. Nasehatilah para wanita dengan baik.” (HR. Bukhari Muslim).
Bijaksana
Kebijaksanaan seorang suami itu hanya bisa diwujudkan manakala dirinya memang lebih dari istri. Dengan kata lain, seorang suami harus lebih peduli, lebih peka, dan lebih memahami mana yang terbaik bagi istri dan keluarganya sesuai dengan tuntunan syari’ah-Nya.
Kebijaksanaan akan menjadikan suami lebih tepat dalam mengambil keputusan, lebih arif dalam perkataan dan lebih hati-hati dalam menjaga perasaan istri, sehingga tidak mudah terbawa emosi manakala dirinya melihat ada kekurangan atau pun kesalahan dari sang istri.
Hal ini tidak lain karena dibalik kekurangan atau sesuatu yang dianggap kurang dari istri pasti tetap ada sisi lain yang menjadi keunggulan seorang istri. Itulah mengapa Rasulullah mengingatkan para suami agar tidak terjebak emosi dan buta mata hati ketika melihat kesalahan atau kekurangan seorang istri.
Beliau bersabda, “Tidaklah seorang mukmin marah kepada wanita yang beriman, jika dia membenci darinya satu sifat, dia akan menyukainya karena sifatnya yang lain.” (HR. Muslim).
Maka dari itu, sudah seharsunya bagi suami untuk mengingat-ingat kebaikan dan kelebihan istrinya. Menimbang-nimbang apa yang tidak disukainya dengan hal yang disukai. Dengan begitu, Insya Allah, dia akan menemukan kebaikan yang sangat besar. Dan, kebaikan besar tidak akan dimiliki kecuali oleh pemimpin yang bijaksana.
Menjamin Kehalalan Nafkah
Selain mencari nafkah, satu kewajiban yang tidak boleh dianggap ringan oleh seorang suami adalah menjamin kehalalan nafkah yang diperoleh dan dikonsumsi atau digunakan istri dan keluarga. Di sini peran suami sebagai seorang pemimpin sangat menentukan masa depan kehidupan keluarganya dunia-akhirat.
Allah Ta’ala berfirman;
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah [2]: 233). Ma’ruf dalam ayat tersebut bermakna cukup, tidak berlebihan apalagi kekurangan.
Namun demikian, apabila ternyata takdir belum memberikan kelapangan rizki sehingga harus hidup dalam keadaan kekurangan, maka seorang suami harus tetap sabar dan tawakkal sembari terus berusaha memperbaiki kondisi ekonominya dengan cara yang halal.
Jangan sampai, karena dorongan membahagiakan keluarga, seorang suami nekat melakukan perbuatan curang, sehingga harta yang diperoleh dan makanan yang dikonsumsi istri dan keluarganya adalah makanan yang haram. Cara seperti ini tentu tidak bijaksana dan bisa berakibat fatal dunia-akhirat.
Oleh karena itu, setiap suami wajib hukumnya mengetahui apa yang halal dan apa yang haram. Jangan sampai karena alasan ekonomi dan kebutuhan keluarga, seorang suami mengabaikan aturan halal-haram yang sesungguhnya sangat berpengaruh bagi kehidupan diri dan keluarganya.
Bersama Bangun Keteguhan
Suami yang bisa menjadi imam yang baik adalah suami yang senantiasa mengajak istri dan keluarganya memiliki keteguhan hati, sehingga lahirlah sifat qana’ah, sabar, dan tawakkal. Sifat seperti itu sangat diperlukan agar dalam mengarungi biduk rumah tangga, keluarga tetap utuh terjaga dan mampu menghadapi segala situasi dengan penuh iman dan ketakwaan.
Demikianlah yang telah ditauladankan oleh Nabi Ibrahim Alayhissalam. Bagaimana beliau menanamkan keteguhan hati yang sangat kuat kepada Siti Hajar, sehingga tidak ada yang diharapkan kecuali hanya pertolongan Allah Ta’ala.
Dengan keteguhan hati, seorang istri akan tabah menghadapi ujian dan pandai mendidik buah hati. Selain itu, seorang istri atau ibu yang memiliki keteguhan hati, ia akan mampu menularkan sifat mulianya itu kepada anak-anaknya. Itulah yang terjadi pada Nabi Ismail Alayhissalam. Sekalipun lama ditinggal sang ayah, Ismail kecil tetap tumbuh menjadi pemuda yang sabar dan penuh ketakwaan.
Oleh karena itu, jadilah imam yang baik bagi keluarga, dengan senantiasa mengarahkan istri pada ketaatan, memberikan nafkah yang halal, serta mendidiknya untuk memiliki keteguhan hati. Insya Allah, keberkahan dan kebahagiaan akan senantiasa menghampiri perjalanan rumah tangga. Bahkan bukan tidak mungkin, akan lahir anak-anak yang kelak dapat mengantarkan ayah dan ibunya ke dalam surga, amin.*/Imam Nawawi