Oleh: Sholih Hasyim
ADA pesan orang bijak, “pandai-pandailah melihat masa lalu.” Menengok masa lalu kita perlukan untuk mencermati timbul dan tenggelamnya pendahulu kita. Dengan cara demikian, kita mengambil referensi (rujukan) kehidupan untuk meraih keberhasilan masa sekarang dan masa depan. Dan kita bisa menyikapi diri kita dan memandang jasa pendahulu kita. Sesungguhnya kehidupan manusia hanya dibingkai oleh masa lalu, kini dan hari esok.
Jika kita tidak berhasil mengambil ibrah pada masa silam, kita kehilangan rujukan kehidupan dan kita akan memulai kehidupan ini dari nol. Alangkah sulitnya jika kita memulai kehidupan dari awal. Demikian pula kita tidak tepat dalam menempatkan diri dan menyikapi orang lain. Sedangkan ilmu, pengalaman, umur seseorang memiliki masa ajal. Setiap person dan umat diliputi oleh berbagai keterbatasan.
Ada ungkapan Arab berbunyi: Al Afdhalu lil mubtadi walau ahsanal muqtadi (keutamaan itu bagi perintis, sekalipun pelanjut itu lebih baik). Pun dalam ungkapan lain disebutkan: Al Bidayatu ahsanu min kulli syaiin (perintis itu lebih baik dari setiap aspek, karena telah memulai separo perjalanan lebih).
Karena itu Rasulullah bersabda, ”Tidak termasuk golongan kami yang tidak menghormati generasi tua dan tidak menyayangi yang kecil.”
Di lembaga pendidikan informal India ada kejadian menarik, seorang guru menegur dengan menjewer muridnya dan kabur pulang, namun yang menarik, bapak-ibunya bersikeras mengantarkan putranya untuk kembali ke lembaga pendidikan tersebut. Ia tidak memilih untuk memprotes gurunya. Ia tunjukkan hubungan yang akrab, dekat dan erat dengan guru anaknya. Terkadang, anak usia 10 tahun tidak shalat, boleh dipukul dengan pukulan yang mendidik. Ia menyadari pendidikan bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya tidak berjalan tanpa pendidikan.
Selain India, ada kisah dari Singapura, negara kecil tapi paling maju di Asia. SIngapura sangat konsern dengan bidang pendidikan. Sekalipun seorang perdana mentri dan pejabat tinggi Negara, tetap antri di ATM. Bahkan jika mereka bersamaan dengan seorang guru ia mendahulukan guru. Dan public telah memaklumiknya. Ia sadar, sekiranya guru terlambat masuk sekolah, bagaimanakah nasib anak-anaknya.
Kontak Batin Orangtua Dan Guru
Bercermin dari kisah diatas, betapa penting mengambil ‘ibrah, hikmah di balik keberhasilan santri tadi dalam meniti karir kehidupannya setelah dewasa. Dan betapa besar pengaruh pendidikan yang diserap dari pola transaksi spiritual (mu’asyarah bil ma’ruf) yang menyejukkan, yang pernah dibangun antara orangtuanya dengan gurunya serta pengasuh anak-anaknya. Tidak sekedar transaksi administratif, formal, yang kering dari makna kehidupan. Pola hubungan al Mawaddah fil Qurab (kedekatan kekeluargaan) ini dibangun karena tugas kita dalam mendidik anak tidak sekedar menttransfer ilmu tetapi mentransformasikan nilai.
Alangkah ironisnya, karena merasa bisa membayar mukafaah/bisyarah kepada guru, kemudian mengecilkan pola interaksi yang baik, dengan cara bersikap tidak patut kepada pahlawan tanpa tanda jasa itu.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf [menolak dengan cara yang baik dan memaafkan perilaku yang kurang sopan dari penerima] lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS: Al Baqarah (2) : 262-263)
Hubungan kedua orangtua dengan anak, juga santri/murid dengan guru, sesungguhnya berpijak/bertumpu pada nilai-nilai adab islami yang saling memuliakan. Sayangnya, itu kurang terjadi di zaman seperti ini.
Banyak kita temukan seorang santri yang cerdas di pondok, setelah lulus menjadi orang biasa. Kiprah yang diperankan di tengah-tengah masyarakat tidak menonjol. Sedangkan banyak pula santri yang belajarnya tidak teratur, bahkan sering remidi, dia hanya mengabdikan diri secara all out (mati-matian) berkhidmat untuk kebutuhan pondok, patuh dan hormat kepada para guru, memelihara nilai-nilai keikhlasan, berorientasi pada amal shalih, bukan jabatan, setelah pulang ke kampungnya hidup di tengah-tengah masyarakat berhasil mendirikan pondok sendiri dan memiliki ilmunya begitu bermanfaat. Salah satu di antara rahasia keberkahan rizki dan kehidupnya adalah ikatan batin orangtua dengan para gurunya.
Pentingnya Ilmu
Adalah Khalifah Islam ke-4, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu yang menyadari betapa pentingnya ilmu. Begitu pentingnya menjaga dan menghormati para pendahulu kita yang mengajarkan ilmu, hingga Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan: “Ana ‘abdun liman ‘allamani harfan.” (saya siap menjadi budak kepada orang yang mengajariku satu huruf).
Jika tidak mengerti huruf, maka tidak mengerti kata, jika tidak mengerti kata, maka tidak mengerti kalimat. Jika ketiganya tidak dimengerti secara baik, berarti tidak mendapatkan ilmu sedikitpun. Padahal ilmu memiliki arti sesuatu yang jelas dan terang.
Jika kehidupan ini tanpa disinari oleh ilmu, maka akan tetap dalam keadaan gelap. Penghuninya gelap mata dan gelap pikiran dan hatinya. Bukankah perilaku yang buruk berawal dari pikiran yang buruk pula. Karena tidak trampil memililah-milah, memetakan, mengurai masalah dan memutuskan. Orang bodoh biasanya menyelesaikan problem dengan adu otot, bukan adu otak. Orang bodoh suka mengamuk dan mengkambinghitamkan orang lain. Maka kehadiran orang bodoh bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi.
Banyak santri selalu mendoakan guru-gurunya dalam sujud terakhirnya untuk kebaikan para gurunya setelah meninggal.
Adalah Imam Ahmad Bin Hambal (164-241 H), salah satu ulama madzhab 4, berasal dari Bagdad, ulama yang dikenal amat tegas terhadap hukum ini sangat tawadhu’ dan hormat dengan gurunya, Imam Syafi’i. Meski banyak berbeda pendapat, beliau terus mendoakan gurunya sampai 40 tahun lama di setiap doanya. Subhanallah.
Untuk mempunyai keturunan yang shalih, kita harus menjadi anak yang shalih terhadap orangtua kita. Mustahil kita dikaruniai anak shalih jika kita tidak berhasil menjadi anak shalih untuk bapak ibu kita. Dan Bapak dan Ibu mertua kita. Jadi, keberhasilan dan keberkahan kehidupan kita berbanding lurus dengan hubungan yang baik dengan sesepuh kita.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: “ Jadilah kamu orang ‘alim, atau pelajar, atau senang mendengarkan kajian keilmuan, atau mencintai orang berilmu dan pelajar, janganlah kamu menjadi orang nomer lima, maka kamu kelak akan hancur.” (al Hadits).
Ada ungkapan pendidikan yang menarik, ”Qaddimil khidmah qablal ‘ilmi (dahulukan pengabdian sebelum berilmu). Ada proses spiritual yang dijalankan sebelum otaknya diisi dengan ilmu pengetahuan.
Itulah sebabnya para ulama dan kiai punya cara untuk ‘menjinakkan’ hatinya santri-santrinya dengan riyadhoh, mujahadah (latihan batin), dengan menunjukkan pengabdian tanpa pamrih. Sehingga ketia mereka siap diterjunkan di tengah umat, ia sudah siap bekerja tanpa pamrih apapun, kecuali ridho Allah Subhanahu wata’ala.
Banyak santri di pondok pesantren mendapatkan tambahan “Ta’limul Muta’allim” (Kode Etik Pelajaran), dan kitab-kitab akhlak karya ulama mashur. Bacaan mereka adalah Safinatun Najah (perahu keselamatan), Sullamut Taufiq (tangga menuju taufiq), Tafsirul Jalalain (Tafsir Kebahasaan Disusun Dua Imam Jalaluddin), ‘Uqudul Lajin (Ikatan Suami Istri), Tanbigul Ghafilin (peringatan bagi yang lalai), Ta’limul Muta’allim dan masih banyak lagi yang isi sebenarnya adalah untuk ‘melembut’ kan hati mereka.
Pelajaran seperti ini selalu diulang-ulang dengan niat mengamalkan agar setelah lulus ilmu mereka bisa lebih barakah (menambah kebaikan).
Agak berbeda dengan pendidikan di sekolah-sekolah jaman sekarang. Bergantu menteri dan berganti kurikulum, tetap tidak bisa melahirkan generasi yang memeliki hati yang “lembut”. Banyak sekolah dengan gedung-gedung bagus, namun hasilnya ternyata menyimpan prahara (tsunami) agama. Yakni, miskinnya adab, akhlaq dan krisis moralitas.
Bedakan dengan referensi yang diterima murid-murid zaman sekarang, kemungkinan niat mencari ilmu supaya nanti dapat kerjaan yang layak dan dapat ijazah, ilmu hanya sebagai kekayaan kognitif. Boleh jadi karena ini kehidupan mereka kurang barakah.
Pendidikan modern, kata Mohammad Iqbal tidak mengajarkan air mata pada mata dan kesejukan di hati. Inilah prahara dunia pendidikan kontemporer.
Murid-murid yang lahir oleh pendidikan modern, tidak berdaya meluluskan pelajar yang salimul aqidah (aqidahnya steril dari syirik), shahihul ibadah (ibadahnya benar dan lurus), karimul akhlak (mulia akhlaknya), mujahid lidinihi (pejuang bagi agamanya), multazimun bil Imamah wal Jama’ah (memiliki keterikatan yang kuat dengan pola kepemimpinan imamah dan jama’ah), shalihun linafsihi wa nafi’un lighoirihi (sholih untuk dirinya dan memberikan manfaat untuk orang lain).*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah