Hidayatullah.com | SIAPA yang tidak kenal dengan kontes kecantikan bertaraf internasional seperti Miss World dan Miss Universe? Atau kontes bertaraf nasional seperti Putri Indonesia?
Konon, keduanya rutin diadakan sebagai ajang unjuk diri para wanita pilihan yang katanya menjadikan kecantikan hanya sebagai salah satu aspek penilaian, disamping kecerdasan, kepercayaan diri, kepedulian sosial dan lain-lain. Apa iya sih?
Disamping berbagai ajang kecantikan resmi tersebut, ada juga ajang kecantikan tidak resmi yang juga melakukan penilaian dan rangkingisasi kecantikan perempuan. Misalnya: akun Top Beauty (TB) World baik di Twitter maupun Youtube yang sempat meramaikan dunia maya Indonesia pada akhir tahun 2020 lalu sebab mengambil keputusan yang -dianggap- tidak tepat, yaitu memasukkan salah satu pedangdut Indonesia dalam jajaran atas.
Yang jelas, dua jenis kontes ini sama-sama menunjukkan bahwa masih banyak orang yang sibuk menilai orang lain, sibuk dengan menilai orang lewat kulitnya. Sebelum melanjutkan pembahasan, ada baiknya kita menengok arti dari kata ‘cantik’ itu sendiri.
Baca: Manfaat Buah Tin Bagi Kesehatan Ibu Hamil dan Kecantikan
Menurut KBBI, kata cantik memiliki dua makna: pertama, elok; molek (tentang wajah, muka perempuan) dan kedua, indah dalam bentuk dan buatannya. Maka, dilihat dari dua makna ini, kata cantik dalam bahasa Indonesia memiliki cakupan yang sempit, yang hanya berfokus pada rupa atau yang tampak oleh mata saja.
Sedangkan di dalam bahasa Arab akan kita temukan bahwasanya makna kata ‘kecantikan’, atau yang disebut dengan ‘al jamaal’ memiliki arti yang lebih luas. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Sayyidihi, seorang ahli bahasa dari Andalusia, bahwa al Jamaal (keindahan atau kecantikan) adalah ‘kebaikan/kebagusan pada perbuatan dan penciptaan’.
Menurut Ibnu Taimiyah, al Jamaal adalah apa-apa yang membuat seseorang terkenal dan terangkat derajatnya, baik dari perbuatan, akhlak, banyaknya harta, ataupun tubuh/ rupanya. Jadi, tidak melulu hanya soal paras yang rupawan.
Menyukai hal-hal yang cantik memang merupakan salah satu fitrah manusia, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana tergambarkan di dalam beberapa kisah dalam al-Quran dan hadits. Misalnya dalam kisah Nabi Yusuf di Surat Yusuf.
Ketika Nabi Yusuf hadir dalam sebuah jamuan, penampilannya membuat para bangsawan perempuan terbius sampai-sampai tidak terasa memotong tangan mereka sendiri dengan pisau makan yang tersedia. Hal ini terjadi saking takjubnya mereka dengan ketampanan Nabi Yusuf.
Atau juga kisah Sarah, yang saat itu dalam perjalannya bersama sang suami, Nabiullah Ibrahim dan tiba di Mesir. Kabar tentang kecantik istri Nabi Ibrahim terdengar oleh raja yang sedang berkuasa.
Raja yang dikenal suka kepada wanita tersebut memerintahkan bawahannya untuk mendatangkan Sarah kepadanya. Atas ijin Allah, Sarah berhasil terhindar dari gangguan raja tersebut.
Tak hanya dalam kisah-kisah masa lalu saja Islam berbicara tentang salah satu fitrah manusia ini. Dalam sebuah sabda Rasulullah ﷺ beliau menyampaikan empat kriteria yang bisa diperhitungkan saat hendak memilih pasangan, salah satunya adalah poin kecantikan. Makanya, sah-sah saja apabila seseorang memilih pasangan yang cantik nan sholihah ketimbang yang biasa tapi juga sholihah. Hal di atas pun menjadi bukti bahwa kecantikan memiliki porsi tersendiri dalam Islam.
Akan tetapi, apakah kecantikan dalam Islam hanya sebatas fisik dan kulitnya saja? Misalnya karena ukuran hidung, lebar wajah, atau bahkan -maaf- ukuran dada? Ataukah ada parameter khusus yang menentukan cantik tidaknya seseorang menurut Islam? Yang sesuai dengan pandangan Allah, misalnya?
Kecantikan dalam Islam
Dalam masalah penampilan. Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak akan masuk Surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji debu”. Seseorang pun bertanya: ‘Sesungguhnya setiap orang suka (memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, (apakah ini termasuk sombong?)’. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR: Muslim).
Dari hadits di atas setidaknya ada dua pelajaran yang bisa kita ambil.
Pertama: bahwasanya Islam memang menganjurkan untuk memperhatikan penampilan yang baik juga rapi, sebab Allah menyukai hal-hal yang demikian. Kedua: bahwasanya memperhatikan penampilan itu harus jauh dari niat sombong, atau merasa yang terbaik dan unggul dan menganggap yang lain lebih rendah darinya.
Dalam masalah kebersihan Islam jelas punya perhatian yang luar biasa akan hal ini. Lihat saja salah satunya perintah untuk berwudhu sebelum melaksanakan sholat lima waktu; sebuah gerakan membersihkan beberapa anggota tubuh yang paling bersinggungan langsung dengan kotoran di luar. Atau adanya perintah untuk mandi yang wajib; saat hendak sholat jum’at, sholat Id, atau selepas haid, nifas dan junub.
Ada lagi sebuah perintah untuk mensucikan diri sebab hendak melakukan suatu hal yang ibadah yang sakral (sholat ied dan Jum’at), ataupun pembersihan diri dari kotoran yang keluar dari dalam diri sendiri, atau hadats besar. Maka, menjadi catatan memang apabila kita temui seorang muslim/muslimah yang kedapatan memiliki bau badan yang kurang sedap, sebab perlilakunya kurang sesuai dengan apa yang sudah Islam ajarkan.
Tentang kecantikan paras. Meski memang bukan menjadi hal yang paling disorot secara umum, akan tetapi hal ini merupakan hal yang sangat penting pada orang, waktu dan tempat tertentu.
Lihat saja kisah beberapa shahabiyah dan perhatian mereka terhadap hal ini. Misalnya saja, kisah tentang Ibunda Siti Aisyah setelah satu bulan tinggal di Madinah.
Pada hari itu beberapa shahabiyah lain mendatangi rumahnya dan mendandaninya, sebab pada hari itulah ‘Aisyah akan mulai tinggal bersama dengan Rasulullah ﷺ.
Atau tentang kisah Ummu Sulaim, salah satu shahabiyah yang menunda memberitahukan kabar anak semata wayangnya pada sang suami, Abu Thalhah yang baru saja tiba dari perjalanan jauh. Ummu Salamah pun menyambut kehadiran suaminya itu dengan berdandan yang terbaik, dan baru mengabarkan kabar itu keesokan harinya.
Ada juga kisah tentang Rasulullah ﷺ yang mempertanyakan kondisi istri Utsman bin Madz’un, Khuwailah binti Hakim yang kala itu mengunjungi kediaman Sayyidah ‘Aisyah sedangkan kondisi dan penampilannya buruk.
Sayyidah ‘Aisyah pun menjelaskan bahwasanya Khuwailah ibarat seorang wanita yang tak memiliki suami, sebab terlalu sibuknya sang suami untuk sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya (sampai-sampai tidak memperhatikan istrinya). Rasulullah ﷺ pun menegur Utsman bin Madzun atas perbuatannya tersebut.
Dari sini pun kita tahu bahwasanya orang-orang mulia di jaman Rasul tidak menjadikan kecantikan paras seseorang, terutama seorang perempuan, sebuah konsumsi publik. Dari sini pun kita bisa ambil satu kesimpulan bahwasanya Islam telah mengatur semua urusan manusia, termasuk di dalamnya urusan kecantikan atau keindahan.
Maka, kecantikan yang hakiki yang tidaklah sebatas dalam urusan superfisial atau yang tampak dan terukur saja sebagaimana klaim cantik menurut para penyelenggara kontes kecantikan. Akan tetapi kecantikan hakiki adalah sebuah kecantikan dalam arti luas yang tentu saja diukur dengan parameter kecintaan dan keridhaan Allah, sebab apalah arti cantik paras tapi malah mengundang kemurkaan-Nya? Wallahu a’lam.*/ Asqina Hidayata An Najah, mahasiswa jurusan Syariah LIPIA