Suara tersebut keluar dari mulut kecil Azizah, seorang gadis cilik berusia 8 tahun. Saat itu Azizah sedang “hompimpa” alias berbagi kelompok dengan bocah sebayanya.
Mereka adalah anak-anak yang tinggal bertetangga dengan rumahku. Sebuah perumahan kecil di ujung desa Kalimulya, Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Bersama Azizah tampak Yahya adikku yang masih kelas III Sekolah Dasar (SD) ikut bermain bersama mereka.
Entah sejak kapan, halaman depan rumahku selalu dijadikan wahana bermain oleh anak-anak tetangga.
Bagiku, hal itu adalah hiburan tersendiri melihat laku kocak mereka. Terlebih orang tuaku juga tidak pernah keberatan dengan volume suara mereka yang nyaris tak pernah turun tersebut.
Sore itu, aku hanya bisa tersenyum mendengar kata “muhrim” itu. Sebab kata itu adalah istilah “dewasa” yang diucap oleh seorang gadis berusia 8 tahun.
Jamak diketahui, syariat Islam mengajarkan aturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (tidak punya hubungan nasab atau pertalian darah keluarga).
Salah satunya adalah larangan ikhtilath (bercampur, pergaulan bebas) dengan wanita yang bukan mahram apalagi sampai menyentuhnya secara sengaja.
Uniknya meski sebutannya keliru, menyebut istilah mahram dengan kata muhrim, tapi setidaknya itu menandakan jika Azizah sudah mengenal sejak dini batasan pergaulan tersebut.
Aku yang tadinya hanya membiarkan mereka bermain, kini beralih memperhatikan mereka. Senyum sekaligus kagum kepada anak-anak kecil tersebut.
Ungkapan itu masih terngiang mengitari kepalaku. Memaksaku untuk melipat buku yang sedari tadi asyik kubaca sambil bersantai di teras rumah.
Aku kagum, sebab ucapan itu menunjukkan bahwa Azizah paham tentang makna dari kata mahram serta bagaimana mengaplikasikan ilmu tersebut dalam realitasnya.
Darimana Azizah tahu kata tersebut? Siapakah yang mengajari dia sebelumnya.
Tanpa sadar, pertanyaan itu kini mengejarku. Meski tak mengetahui persis keadaan keluarga Azizah. Tapi aku yakin, cahaya itu pasti bersumber dari orang tua anak kecil tersebut.
Merekalah yang telah mendidik anak-anaknya. Mengenalkan ajaran agama sejak dini. Bahwa rumah adalah pondasi awal untuk semua ilmu pengetahuan yang dibangun di atasnya.
Ketika pondasi adab dan ilmu-ilmu agama itu kokoh terpatri dalam diri seorang anak, niscaya ada harapan ilmu-ilmu yang diberikan selanjutnya bisa diolah dengan baik dan menghasilkan manfaat bagi orang lain.
Sebaliknya, ketika asas pendidikan di dalam keluarga itu rapuh, maka mudah ditebak, ilmu pengetahuan yang dipunyai terasa gersang dan hanya akan mendatangkan kecelakaan dan kesengsaraan hidup.
Masih di teras yang sama, tiba-tiba aku juga teringat kejadian beberapa hari lalu. Saat itu aku baru pulang dari belanja bumbu masakan di sebuah pasar kecil tak jauh dari rumahku.
Dalam perjalanan pulang, aku melihat seorang anak kecil berusia sekitar 5 tahun. Anehnya, bocah itu meludahi hampir setiap orang yang lewat depan rumahnya.
Entah apa maksud anak itu, aku sendiri tak habis pikir dengan perbuatan jorok tersebut. Sambil berjalan, pikiranku kembali dijejali pertanyaan. Darimana anak kecil itu mencontoh perbuatan meludah itu ya?
Jika orangtunya tidak mengajarkan demikian, lalu kepada siapa anak itu berkiblat?
Apakah kepada saudara-saudaranya? Ataukah teman bermainnya? Ataukah ia berhasil dipandu oleh kotak hitam berlayar kaca yang biasa ada di setiap rumah itu?
Entahlah, aku juga tidak tahu. Pastinya Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) sudah mengingatkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim [66]: 6).*/Musyarrafah, mahasiswi LIPIA Jakarta