MUHAMMAD bin Sirin adalam ulama masa Tabi’in. Lahir dua tahun sebelum berakhirnya masa Kekhalifahan Utsman bin Affan. Selain menyibukkan diri untuk mengkaji ilmu dan mengajarkannya kepada kaum Muslimin, beliau juga berprofesi sebagai saudagar.
Kejujuran menjadi landasan utamanya dalam menjalankan perniagaannya. Dalam berjual-beli Ibnu Sirrin tidak hanya mementingkan keuntungan pribadi, tapi juga kemaslahatan kaum Muslimin, meski untuk itu beliau harus menerima kerugian besar bahkan dipenjara sekalipun.
Suatu ketika Muhammad bin Sirin membeli minyak seharga 40.000 dirham sebanyak satu bejana penuh dibayar belakangan. Ketika diperiksa ternyata terdapat bangkai tikus yang telah membusuk di dalamnya.
Mendapati hal itu Ibnu Sirrin berpikir; “Minyak ini ditampung dalam suatu wadah dan najisnya tidak hanya di sekitar wadah itu. Jika aku kembalikan kepada penjualnya, pasti akan dijualnya kembali kepada orang lain.”
Agar tak terjadi apa yang menjadi kekhawatiran Ibnu Sirrin membuang seluruh minyak yang ada di bejana tersebut. Peristiwa inilah yang menjadi salah satu faktor gulung tikarnya usaha sang ulama. Akhirnya beliau terlilit hutang. Si pemilik minyak menagih hutangnya, sedangkan Muhammad bin Sirin tak memiliki uang untuk melunasinya. Karena merasa dirugikan, si pemilik minyak mengadukan persoalannya kepada pihak yang berwenang. Akhirnya pengadilan pun memutus agar Muhammad bin Sirin dipenjara sampai mampu melunasi hutang-hutangnya.
Ibnu Sirrin cukup lama mendekam di penjara, sehingga penjaga penjara merasa kasihan karena mengetahui keteguhan agama dan ketakwaannya dalam ibadah.
Kepada sang syaikh, seorang sipir penjara berkata, “Wahai Syaikh, pulanglah kepada keluargamu bila malam tiba dan kembalilah kemari pada pagi harinya. Anda bisa melakukan itu sampai bebas nanti,” ucapnya.
Terhadap tawaran sang sipir penjara, Muhammad bin Sirin menolak tegas. Kepadanya ia berucap,
“Tidak, Demi Allah aku tidak akan pernah melakukan itu,” tegasnya.
Penasaran, si penjaga menanyakan prihal alasan di balik keberatan sang imam. Inilah jawaban Ibnu Sirrin.
“Agar aku tidak membantumu mengkhianati pemerintah,” ungkapnya kepada si penjaga penjara yang langsung semakin membuatnya terkagum-kagum dengan kemulian kepribadian sang imam.*/Khairul Hibri, anggota Asosiasi Penulis Islam (API) Indonesia. Naskah diambil dari kitab Shuwaru Min Hayaati at-Tabi’in, karangan, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya