SUASANA sejenak berubah menjadi hening. Bukan sekali ini Nabi Syuaib dicela oleh kaumnya.
Sejarah mencatat, sepanjang jalan dakwah yang dilakoni oleh Nabi Syuaib, sejauh itupula pertentangan yang dilancarkan oleh penduduk kota Madyan.
Madyan adalah sekelompok bangsa Arab yang mendiami antara wilayah Hijaz dan Syam. Tempat itu tak jauh dari daerah Ma’an, di tengah kedua wilayah di atas.
Demikian penjelasan muafssir pengarang tafsir Ibn Katsir.
Kali ini, kaum Nabi Syuaib kembali berulah. Alih-alih mendengar dan menyambut seruan dakwah Nabi Syuaib, kaum Madyan tersebut justru melontarkan olok-olokan yang menghina utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) tersebut.
Dengan nada menghina, kaum Madyan mengadang ajakan dan peringatan Nabi Syuaib. Mereka berkata, apakah ibadah shalatmu menyuruh kami meninggalkan sesembahan yang diwariskan oleh bapak-bapak kami.
Apakah ibadahmu melarang kami berbuat sekehendak hati terhadap harta-harta kami?
Menurut Imam asy-Syaukani, penulis Tafsir Fathu al-Qadir, ungkapan itu sebagai pelecehan terhadap peringatan Nabi Syu’aib.
Senada, Abdurrahman as-Sa’di menambahkan, ucapan tersebut sengaja dilontarkan untuk mengaburkan masalah yang sebenarnya.
Seolah-olah mereka berkata, engkau tak punya kewajiban mengatur apalagi melarang perbuatan kami.
Tugasmu hanyalah shalat dan tunduk beribadah kepada Allah saja (As-Sa’di, tafsir Taisir Karim ar-Rahman fi Kalam al-Mannan).
Orang-orang Madyan beranggapan, perbuatan yang mereka lakukan dan harta yang mereka kelola adalah privasi dan kewenangan mutlak mereka. Tak layak bagi orang lain turut campur mengurusi kepunyaan mereka.
Menurut kaum Nabi Syu’aib, hal semacam itu tak pantas diperingati dan diurus oleh agama. Apalagi sampai harus meninggalkan ajaran moyang dan leluhur mereka sendiri.
Puncaknya, olok-olokan penduduk Madyan tersebut berujung kepada tuduhan bahwa Nabi Syuaib sebagai orang yang sangat penyantun lagi berakal.
Allah berfirman:
قالوا يا شعيب أصلاتك تأمرك أن نترك ما يعبد آباؤنا أو أن نفعل في أموالنا ما نشؤا إنك لأنت الحليم الرشيد
“Mereka berkata: Hai Syu’aib, Apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami berbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (Surah Hud [11]: 87).
As-Sa’di menjelaskan, ucapan itu dimaksudkan membalik makna. Yaitu Nabi Syu’aib dianggap sebagai orang dungu dan tak beradab.
Sebab jika Syu’aib benar sebagai orang santun dan berakal, berarti sebaliknya para leluhur dan orang tua mereka adalah orang-orang bodoh.
Sedang mereka tidak mungkin menyalahkan dan menyelisihi kebiasaan orang tua mereka dalam menyembah berhala dan patung-patung yang mereka buat.
Awas sekularisasi agama
Sekilas, tak ada yang keliru dengan ucapan atau pemikiran penduduk Madyan di atas.
Faktanya, shalat adalah ibadah ritual (mahdhah) yang bersifat hablun minallah (hubungan hamba dengan Allah).
Sedang mengurus harta, bermuamalah kepada sesama manusia dan lingkungan adalah hablun minannas (hubungan horizontal manusia dengan makhluk lainnya).
Dikatakan, inilah benih awal paham sekularisasi agama tersebut. Dengan picik, kaum Nabi Syu’aib berkata, kami bebas berbuat apa saja dalam kehidupan ini tanpa perlu diatur oleh ajaran agama.
Mereka berani meledek Nabi Syuaib serta menggugat, apakah peringatan dan larangan itu sebagai buah dari shalat yang Syu’aib kerjakan selama ini?
Sedang menurut mereka, tak perlu lagi bawa-bawa nama Tuhan dan ajaran Tuhan dalam urusan keseharian dan perniagaan mereka.
***
Pemikiran demikian, oleh syariat Islam dihukumi sebagai biang kerusakan di tengah masyarakat. Sebab orang tersebut diantar untuk memisahkan antara ajaran agama dengan kehidupan itu sendiri.
Hingga kini, perlahan umat Islam terus dicekoki dengan dikotomi antara agama dan kehidupan di dunia. Akibatnya, tak sedikit umat Islam merasa tak butuh dengan agama. Jika pun mengaku beragama, mereka memilih dan memilah sesuai dengan kesenangan dan kepentingan duniawi semata.
Sebagai renungan penutup, mundurnya umat Islam bukanlah semata karena keterbelakangan ilmu yang dipunyai. Tapi juga ketika ilmu itu tak lagi membekas dalam amalan-amalan keseharian mereka.
Sebab perkara iman bukan sekedar urusan rajin ke masjid dan berhaji setiap tahun, misalnya. Tapi iman yang juga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai pribadi beriman, ia dituntut tak hanya shalih secara infiradiy (personal) saja namun juga menjadi shalih jama’iy (sosial) menuju terwujudnya masyarakat “baldatun thayyibah wa rabbun ghafur”.*/Masykur