APA hakikat tujuan kehidupan manusia? Mungkin pertanyaan ini terbilang klasik tapi sejatinya ialah kemudi yang menyetir langkah manusia selanjutnya.
Faktanya, tak sedikit manusia yang lalai atau terperosok dalam fananya kehidupan dunia. Apalagi dengan berbagai potensi dan nikmat yang meruah yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya.
Di sisi lain, sejak awal Allah menggariskan misi utama tersebut. Yaitu “dzikra ad-dar” atau menjadikan Akhirat sebagai tujuan dan dunia menjadi perantara yang menghubungkannya.
Bahwa pekerjaan utama orang beriman adalah berdakwah di jalan Allah. Menyeru kepada segenap manusia untuk mengingat kehidupan Akhirat (akhirat oriented).
Bagi seorang Muslim, inilah ketetapan Allah dalam melakoni kehidupan sementara di dunia.
Sebuah aturan main sekaligus garis pemisah antara kemuliaan dan kehinaan seorang hamba kelak.
Ketika orang itu meniatkan hidupnya di dunia untuk kehidupan abadi di hari Akhirat. Niscaya seluruh perilakunya senantiasa terkontrol dengan rambu-rambu syariat.
Bahkan ketika ia menguasai segenap kekuasaan dan kekuatan serta ilmu pengetahuan sebagai pilar utama dalam meraih sukses hidup. Iapun tak mudah goyah dari setiap bujuk rayu kesenangan dunia.
Olehnya Allah tak segan menyanjung manusia demikian sebagai manusia-manusia terbaik pilihan Allah. Hal itu dikarenakan seluruh amal perbuatannya bernilai ibadah di sisi Allah.
Allah berfirman:
وَٱذۡكُرۡ عِبَـٰدَنَآ إِبۡرَٲهِيمَ وَإِسۡحَـٰقَ وَيَعۡقُوبَ أُوْلِى ٱلۡأَيۡدِى وَٱلۡأَبۡصَـٰرِ (٤٥) إِنَّآ أَخۡلَصۡنَـٰهُم بِخَالِصَةٍ۬ ذِڪۡرَى ٱلدَّارِ (٤٦) وَإِنَّہُمۡ عِندَنَا لَمِنَ ٱلۡمُصۡطَفَيۡنَ ٱلۡأَخۡيَارِ (٤٧)
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri Akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS. Shad [38]: 45-47).
Menurut mufassir Abdurrahman as-Sa’di, para Nabi yang digelari “al-mushtafaina al-akhyar” (orang-orang pilihan di sisi Allah) disebabkan . mereka banyak mengingat mati dan Hari Akhirat.
Dengannya, hati mereka tenang menghadapi godaan dunia. Jiwa mereka khusyuk menghamba hanya kepada Allah.
Di waktu yang sama, orang-orang pilihan Allah itu kian bergairah menunaikan aktifitas sosial.
Mereka sadar, ilmu itu bisa mengalirkan pahala ketika diamalkan dan diajarkan kepada orang lain.
Mereka yakin, kekuasaan tersebut baru bermanfaat jika dimaksimalkan untuk mengayomi seluruh lapisan masyarakat.
Dua Potensi Manusia
Dalam ayat di atas, secara tersurat Allah menyebut sebagian rahasia kemuliaan Nabi Ibrahim dan keturunannya, yaitu ulil aidiy dan ulil abshar.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir merangkum pendapat terkait dua potensi tersebut.
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma (Ra) berkata, dua kekuatan itu adalah kekuasaan sebagai seorang umara (pemimpin) dan keluasan ilmu sebagai seorang ulama.
Imam Mujahid menerangkan, uli al-aidiy adalah kekuatan untuk taat beribadah kepada Allah dan uli al-abshar berarti pandangan mendalam tentang al-haq (kebenaran).
Sedang Qatadah dan as-Siddiy menuturkan, ulil aidiy dan ulil abshar bermakna mengerahkan segenap kekuatan fisik dalam rangka beribadah dan kemapanan ilmu agama.
Jadikan Sebab dan Bukan Tujuan
Menurut al-Alusi, pengarang Tafsir Ruh al-Ma’ani, meski Allah memerintahkan secara langsung untuk meraih dan mengumpulkan dua kekuatan tersebut.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Namun tujuan kehidupan seorang Muslim bukan untuk meraih itu semata. Sebab ia hanyalah sebab dan sarana saja. Bukan sebagai tujuan akhir kehidupan manusia.
Dzikru as-sabab yuradu bi hi al-musabbab (Menyebutkan suatu sebab namun yang diinginkan adalah akibat). Demikian sebuah kaidah ilmu mengajarkan.
Sesungguhnya dua potensi yang diperintahkan Allah tersebut hanyalah sebagian dari materi yang ada dalam kehidupan dunia.
Untuk itu Allah mengingatkan agar tidak membatasi dan merasa cukup setelah meraih kekuasaan atau kekuatan serta ilmu pengetahuan.
Sebab hakikatnya, dua hal itu hanya sebagai perangkat dan wasilah saja. Bukan sebagai target akhir kehidupan manusia di dunia.
Kelak potensi atau materi tersebut hanya bisa bernilai jika benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah dan perjuangan menegakkan agama.
Sebaliknya, jika tidak dimanfaatkan dengan benar, justru ia bisa berubah menjadi bumerang. Menjadi sumber fitnah dalam kehidupan dunia yang mempersulit pemiliknya (hujjatun alaihi) di Yaum al-Hisab nantinya.*/Masykur Abu Jaulah