KEHIDUPAN di dunia ini sejatinya adalah tempat dimana manusia diukur, dinilai dan ditetapkan tempatnya kelak di akhirat. Jika seseorang beriman dan beramal shaleh, maka kelak berada di dalam surga-Nya.
Akan tetapi, mengakui apalagi sampai pada tingkat mengimani Allah sebagai Ilah (Tuhan yang disembah) bukanlah perkara mudah. Terlebih suara yang memberikan keterangan mengenai hal itu datang dari orang yang secara status sosial bukan siapa-siapa.
Hal ini pernah terjadi pada sosok Raja bernama Namrudz yang memandang remeh seorang Ibrahim, hanya karena dia bukan seorang berkedudukan. Ia hanya pemuda yang menurut pandangannya tak berpengalaman dan tak berdaya.
Hingga tiba suatu waktu dimana ia dibuat tak mampu mengelak dari hujjah kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim Alayhissalam. Yakni saat Ibrahim ditangkap dan diadili di hadapan orang banyak untuk mempertanggungjawabkan perihal hancurnya berhala-berhala yang mereka sembah.
قَالُوْٓا ءَاَنْتَ فَعَلْتَ هٰذَا بِاٰلِهَتِنَا يٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۗ
“Mereka bertanya, “Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?”” (QS. Al-Anbiya'[21]:62).
قَالَ بَلْ فَعَلَهٗ كَبِيْرُهُمْ هٰذَا فَسْـَٔلُوْهُمْ اِنْ كَانُوْا يَنْطِقُوْنَ
“Dia (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.”” (QS. Al-Anbiya'[21]:63).
فَرَجَعُوْٓا اِلٰٓى اَنْفُسِهِمْ فَقَالُوْٓا اِنَّكُمْ اَنْتُمُ الظّٰلِمُوْنَۙ
“Maka mereka kembali kepada kesadaran mereka dan berkata, “Sesungguhnya kamulah yang menzalimi (diri sendiri).”” (QS. Al-Anbiya'[21]:64).
ثُمَّ نُكِسُوْا عَلٰى رُءُوْسِهِمْۚ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هٰٓؤُلَاۤءِ يَنْطِقُوْنَ
“Kemudian mereka menundukkan kepala (lalu berkata), “Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara.”” (QS. Al-Anbiya'[21]:65).
قَالَ اَفَتَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْـًٔا وَّلَا يَضُرُّكُمْ ۗ
“Dia (Ibrahim) berkata, “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu?” (QS. Al-Anbiya'[21]:66).
فٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
“Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?”” (QS. Al-Anbiya'[21]:67).
قَالُوْا حَرِّقُوْهُ وَانْصُرُوْٓا اٰلِهَتَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ فٰعِلِيْنَ
“Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.”” (QS. Al-Anbiya'[21]:68).
قُلْنَا يٰنَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَۙ
“Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!”” (QS. Al-Anbiya'[21]:69).
وَاَرَادُوْا بِهٖ كَيْدًا فَجَعَلْنٰهُمُ الْاَخْسَرِيْنَۚ
“Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi.” (QS. Al-Anbiya'[21]:70).
Kisah yang tertuang di dalam Al-Qur’an tersebut menggambarkan kepada siapapun juga bahwa tidak mungkin ada Tuhan selain Allah. Dan, dalam konteks sejarah Nabi Ibrahim, sang raja sadar bahwa benar apa yang disampaikan oleh Ibrahim muda kala itu.
Lihatlah bagaimana hal itu menghampiri hati dan kesadaran sang raja yang kafir itu.
“Kemudian mereka menundukkan kepala (lalu berkata), “Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara.”
Akan tetapi, karena manusia merasa dirinya memiliki kekuasaan, bisa melakukan apapun secara semena-mena, maka kesadaran itu ditenggelamkan, hingga tumbuhlah angkara murka di dalam dirinya. Lantas raja itu mengeluarkan kebijakan untuk membakar hidup-hidup Nabi Ibrahim.
Tetapi, apa yang terjadi, kala kebijakan itu benar-benar dilakukan? Api menjadi dingin atas kehendak Allah.
يٰنَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَۙ
“Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (QS. Al-Anbiya [21]: 69).
Dengan demikian, kita mestinya insyaf sedini mungkin, bahwa tidak mungkin kita melawan Allah dengan menjadikan diri yang punya kuasa berbuat semena-mena.
Sungguh, kekuasaan, jabatan, pengaruh, dan kekuatan hanyalah titipan sementara yang Allah berikan guna menilai seperti apa sebenarnya kualitas seseorang sebagai manusia.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Lihatlah apa yang Allah kehendaki terhadap Raja Namrudz kala berkehendak brutal kepada kekasih-Nya, Nabi Ibrahim. Allah tidak datangkan kekuatan macam-macam, tapi Allah perintahkan api agar tidak membakar Nabi Ibrahim. Selamatlah Nabi Ibrahim, di dunia dan di akhirat. Sedangkan sang raja, terlaknat dan celaka dunia dan akhirat.
وَاَرَادُوْا بِهٖ كَيْدًا فَجَعَلْنٰهُمُ الْاَخْسَرِيْنَۚ
“Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi.” (QS. Al-Anbiya'[21]:70).
Ibn Katsir menerangkan dalam tafsirnya bahwa mereka yang dzalim, semena-mena, menolak kebenaran, akan menjadi orang yang kalah dan hina.
“Karena mereka hendak menipu daya seorang Nabi Allah, maka Allah pun menipu daya mereka dan menyelamatkan Nabi-Nya dari api. Dengan demikian mereka pun kalah,” tulisnya.
Dengan demikian, mari insyaf diri, sungguh tidak akan pernah ada kekuatan yang dapat mengalahkan kebenaran, keimanan seorang Muslim, dan kesungguhan mereka di dalam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Sekalipun ada kesempatan menganiaya orang-orang beriman, maka itu hanya akan menjadi bukti sekaligus undangan datangnya pertolongan Allah kepada perindu kebenaran. Dan, sungguh sejarah yang ada di dalam Al-Qur’an adalah pelajaran berharga, jika kita benar-benar mau membaca dengan segenap daya. Allahu a’lam.* Imam Nawawi