TAK biasanya, suasana majelis ilmu yang diasuh oleh Imam Malik Rahimahullahu (Ra) mendadak gaduh.
Bukan karena ulah bising sebagian murid-muridnya. Tapi tiba-tiba terdengar suara riuh dari arah jalan di kota Madinah.
Rupanya ada serombongan musafir dari India sedang melintas dengan kafilah gajah-gajahnya.
Kian mendekat, suara itu makin nyaring bertalu. Seolah beri isyarat agar semua penduduk kota Madinah bersegera keluar menyambut kedatangan mereka.
Tak terkecuali murid-murid Imam Malik. Sontak konsentrasi belajar mereka buyar.
Satu persatu bahkan meminta izin ikut berhambur keluar, sekadar ingin menonton pertunjukan pawai keliling tersebut. Hingga akhirnya yang tersisa tinggal seorang murid lagi.
Alih-alih menengok keluar, apalagi sampai menghampiri pawai gajah itu.
Murid itu tak henti menatap lekat ke depan, memperhatikan wajah gurunya, Imam Malik.
Ada apa denganmu? Mengapa engkau tak ikut keluar melihat kerumunan gajah itu?
Penuh perhatian, Imam Malik pun mendekat dan bertanya kepada muridnya itu.
Aku jauh-jauh datang dari Andalus ke Madinah hanya untuk melihatmu, bukan untuk melihat gajah.
Jawaban itu meluncur deras dari mulut sang murid. Sedikitpun tak terbersit keraguan apalagi basa-basi dari jawaban tersebut.
Kisah di atas direkam dengan memesona oleh Imam adz-Dzahabi, dalam karya agungnya, Siyar A’lam an-Nubala.
Kisah seorang penuntut ilmu bernama Yahya bin Yahya al-Laitsi. Sosok pembelajar yang nantinya dikenang sebagai murid kesayangan Imam Malik.
Tak sungkan, Imam Malik bahkan menggelarinya dengan sematan ‘Aqilu Andalus’ (lelaki berakal dari Andalusia).
Disadari, dalam meniti tujuan hidup, manusia seringkali berhadapan dengan tantangan ataupun godaan.
Entah itu berasal dari dalam diri manusia (internal) ataupun lainnya.
Jelasnya kesuksesan itu tak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan motivasi besar serta perjuangan yang kuat.
Kisah sederhana di atas menoreh pelajaran berharga. Apa salahnya Yahya jika ingin menengok pawai gajah tersebut?
Toh, sang guru juga sudah membolehkan murid-muridnya meninggalkan majelis ilmu sementara waktu.
Bukankah kawan-kawannya juga telah menghambur dan ikut berjejal bersama orang-orang lainnya.
Sekali lagi, tak ada yang keliru. Tapi inilah obsesi besar dari seorang penuntut ilmu atau pejuang kesuksesan.
Baginya semua itu dianggap sebagai distraksi alias gangguan. Sesuatu yang dikiranya bisa memalingkan dari target yang hendak dicapai.
Sebab setan terlalu ulung dan lihai dalam urusan memalingkan manusia dari kebaikan yang dikerja.
Lihat saja, tak sedikit manusia yang awalnya konsisten dalam menyebar dan mengajarkan kebaikan agama.
Justru hari ini berubah menjadi antipati bahkan jadi Islamphobia. Bukan ia tak tahu persoalan atau bodoh (jahil) dengan masalah itu tapi boleh jadi orientasi geraknya sudah tak sama dengan sebelumnya.
Akibatnya, ia belajar bukan untuk beribadah dan mendekat kepada Allah.Justru yang dipelajarinya itu kian menjauhkan dirinya dari Allah. Ia pintar agama tapi buta akan hidayah.Ia hafal dalil yang dimaksud, tapi justru dijadikan permainan dan penistaan agama semata.
Terakhir, semoga kita semua diberi hidayah dan keistiqamahan untuk menapaki jalan lurus tersebut.
Jalan yang di sana didapati jaminan keselamatan dan keberuntungan hidup, dunia dan akhirat. *