GEGAP-GEMPITA Piala Dunia di Rusia 2018 begitu menggema resonansinya di berbagai penjuru negeri. Piala yang diperebutkan setiap lima tahun sekali ini begitu diminati oleh berbagai negara di dunia. Negara-negara yang notabene berpenduduk muslim mayoritas pun juga begitu antusias untuk mengikutinya. Kehadiran Mesir, Arab Saudi, Tunisia dan Maroko dalam turnamen paleng bergengsi ini, juga turut menyemarakkan kemeriahannya.
Sebagai sebuah permainan –selama tidak melanggar ketentuan syariat-, sah-sah saja umat Islam ikut bergembira dan mengikuti setiap perkembangan pertandingannya. Bahkan –karena ini adalah masalah keduniaan- hukum asalnya adalah mubah selagi tidak ada nas yang melarangnya. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan kemudian: antusiasisme dan semangat dalam mengikuti berbagai hal terkait Piala Dunia apa berbanding lurus –minimal- dengan kepedulian mereka pada “Piala Akhirat” (masalah Akhirat)?
Di dalam Al-Qur`an –jika ditadabburi dengan saksama- ada diksi-diksi menarik yang penting untuk diperhatikan bagaimana seharusnya orang beriman memperlakukan hal-hal yang berkaitan dengan dunia dan akhirat (dan yang berkaitan dengannya).
Dalam mencari rezeki (yang merupakan urusan duniawi), yang diperintahkan dalam Al-Qur`an adalah:
فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
“Maka berjalanlah di segala penjurunya.” (QS. Al-Mulk [67]: 15) Di sini dengan sangat jelas, anjuran untuk mencari rezeki tidak harus ngoyo, ambisius dan mati-matian, tapi cukup dengan berjalan.
Bandingkan ketika Allah menyuruh orang-orang beriman untuk shalat (yang merupakan urusan ukhrawi):
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah,” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9)
Urusan shalat, di sini harus disegerakan. Dalam bahasa Arab, kata “sa’yu” artinya adalah berjalan dengan lekas atau cepat.
Perbandingan selanjutnya juga bisa dilihat pada ayat berikut:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi,” (QS. Al-Qashash [28]: 77).
Di sini, kalau untuk urusan akhirat, umat Islam disuruh mencari dan mengharapkannya, sedangkan dalam urusan dunia diksi yang digunakan hanya “jangan lupa bagian duniamu!”
Kalaupun dunia harus dicari atau perlu berkeliling dunia untuk mencari rezeki maka itu setelah yakin bahwa prioritas akhirat sudah dijalankan; sebagaimana ayat berikut:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. AL-Jumu’ah [62]: 10).
Dalam ayat ini juga ditekankan bahwa, dalam aktivitas mencari karunia Allah di dunia pun tidak lepas dari bingkai akhirat (mengingat Allah) agar menjadi orang-orang beruntung. Dengan demikian, aktivitas di dunia itu sejatinya untuk kepentingan akhirat, bukan semata dunia.
Bahkan untuk urusan memohon ampunan dan Surga –yang berkaitan erat dengan akhirat- ada dua diksi yang digunakan di dalamnya:
Pertama
وَسَارِعُواْ
“Dan bersegeralah kalian.” (QS. Ali Imran [3]: 133).
Kata “Saari’u” juga bisa diartikan berlekas atau cepat-cepatlah.
Kedua
سَابِقُوا
“Berlomba-lombalah kalian!” (QS. Al-Hadid [57]: 21)
Di sini sangat menarik, untuk urusan ampunan dan surga (akhirat) orang mukmin disuruh bersegera, cepat-cepat dan berlomba-lomba. Kalau dunia dianjurkan slow, santai tapi kalau akhirat adalah laksana orang yang sedang berlomba-lomba.
Puncak dari akhirat adalah ketika orang beriman mendapat rida Allah Subhanahu wata’ala. Berkaitan dengan Allah, diksi yang digunakan untuk menuju-Nya adalah:
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ
“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 50)
Kata “Fafirru” asal artinya adalah: maka berlarilah kalian. Menuju kepada Allah tidak dengan sambil lalu, harus bersemangat laksana orang yang sedang lari.
Dari diksi-diksi yang digunakan Al-Qur`an tersebut, seyogianya umat Islam bisa mengambil pelajaran. Untuk urusan Piala Dunia yang masuk dalam ranah duniawi yang hukumnya halal, maka biasa saja, sekadarnya, dan tak perlu menggebu-gebu sampai melupakan akhirat. Sebaliknya, untuk masalah akhirat, harus cepat, lekas, berlomba-lomba, berlari seolah-olah sedang di arena pacu merebutkan “Piala Akhirat” yang paling bergengsi di sisi Allah.
Maka, dalam momentum Piala Dunia yang sedang hit-hitnya sekarang ini, bagaimana sikap umat Islam pada umumnya: lebih antusias pada Piala Dunia atau “Piala Akhirat”? Di situ –berdasarkan Qur`an- keimanan seseorang bisa diuji kualitasnya.*/Mahmud Budi Setiawan