DEWASA ini, menjelang dihelatnya hajatan nasional Pilpres 2019, persatuan dan kesatuan anak bangsa semakin tergerus. Perbedaan haluan dan pilihan politik yang dalam iklim negara demokrasi merupakan hal wajar, pada realitanya di lapangan membuat hubungan antar anak bangsa terancam. Persekusi demi persekusi lahir akibat perbedaan tajam ini.
Anak bangsa terpolarisasi dengan sangat tajam. Yang satu mati-matian membela calonnya, tanpa memperdulikan kekurangan dan aib yang ada pada dirinya. Sebaliknya, yang lain ngotot dengan deklarasi-deklarasi yang menunjukkan sikap “emoh” dengan penguasa yang ada. Yang ada di pikirannya: ganti pemimpin; titik! Mereka ini sudah muak dengan janji-janji yang tak ditepati oleh penguasa. Mirisnya, hal ini terkadang –kala bukan sering—malah menutupi sisi baik yang ada pada penguasa yang dikritik.
Ironisnya, pihak yang paling terdampak pada persaingan tak sehat yang bisa mengancam persatuan ini –baik disadari atau tidak– adalah mayoritas umat Islam. Perpedaan pilihan calon seringkali membuat hubungan senjang di antara mereka bahkan menimbulkan permusuhan yang menafikan persaudaraan sesama muslim.
Polemik dan konflik demikian, jika terus meruncing semacam ini, kemudian masing-masing tidak bersikap dewasa untuk bisa meredamnya dan senantiasa mencari solusinya, maka tidak menutup kemungkinan yang rugi nantinya adalah umat Islam sendiri secara khusus, bahkan seluruh bangsa Indonesia.
Baca: Kekerasan atas Tokoh-tokoh Agama, Waspadai Upaya Adu Domba
Dalam surah al-Anfal ayat 46, ada solusi jitu untuk menjaga stabilitas keharmonisan umat Islam. Di samping taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hal yang sangat ditekankan adalah jangan sering cekcok (berbantah-bantahan dan konflik yang kontraproduktif) antar sesama umat Islam sehingga bisa hilang kekuatan bahkan menimbulkan kegagalan. Semua itu –baru bisa dilakukan dengan baik bila—diiringi dengan kesabaran.
Bila konflik semacam ini dibiarkan berkembang, maka umat akan mudah ditunggangi oleh pihak-pihak berkepentingan atau pihak ketiga. Pada lembaran sejarah, bisa ditilik, salah satu keberhasilan penting kolonialisme dalam menghunjamkan cakar penjajahannya di bumi pertiwi adalah dengan memanfaatkan konflik-konflik internal anak bangsa, khususnya umat Islam.
Dalam realitas sejarah, salah satu langkah yang digunakan untuk memanfaatkan peluang itu adalah dengan sistem politik “devide et impera” (belah bambu atau memecah belah).
Sebagai contoh, adalah kelicikan dan kepintaran Belanda mampu mengadu domba bangsa Nusantara. Negara penjajah ini, di satu sisi mengikat perjanjian damai dengan Jawa Mataram, namun diam-diam mereka juga mengadakan perjanjian rahasia dengan raden Trunojoyo dari Madura dan kelompok orang Makassar. (Wahyu, Amangkurat Agung: Prahara Takhta Mataram, 2014:325) Akibatnya, jelas perang saudara –yang merupakan mayoritas muslim—tak terdapat terelakkan. Dan yang diuntungkan dalam konflik ini adalah penjajah.
Perang Aceh pun demikian. Untuk menguasai daerah yang dijuluki Serambi Mekah ini, kolonial Belanda mengirim Snouck Hurgronje. Dinasihatilah pemerintah kolonial untuk merangkul ulama yang menganggap Islam sebatas agama rituil dan memerangi muslim yang memperjuangkan Islam melalui politik. Taktik ini berhasil memecah belah rakyar Aceh bahkan sebagian tokohnya bisa ditangkap. (Sabili, Islam Lawan atau Kawan, 2004) Lagi-lagi, pihak ketigalah yang diuntungkan dalam konflik internal umat Islam.
Masih terngiang juga dalam memori umat Islam terkait Perang Padri (1821-1837). Konflik internal umat Islam yang dipimpin Imam Bonjol antara kaum adat dan paderi ini terjadi akibat provokasi pemerintah kolonial Belanda agar terjadi perang antara kaum adat kontra kaum Padri. (Mansur, 2015: 202) Akibatnya jelas, ketika sesama saudara bertempur, maka kolonial bisa mensukseskan penjajahan di daerah tersebut.
Pada kasus lain, Kesunanan Surakarta dengan Kesuhunan Pakubuwono IV oleh Belanda diperkecil dan ditandingkan dengan kekuasaan politik tingkat kadipaten yang dipimpin oleh adipati Mangkunegara. Yogyakarta juga ditandingi dengan P. Natakusuma atau P. Paku Alam. (Manshur, 2015: 200) Metofe semacam ini jelas-jelas merugikan umat karena akan memicu konflik berdarah di internal umat.
Selanjutnya, masih segar dalam ingatan kolektif sejarah umat Islam di Indonesia, salah satu yang menyebabkan keretakan partai Islam adalah politik devide et impera Belanda. Kata Mansur Suryanegara dalam “Api Sejarah I” (Mansur, 2015: 543), “Baik P.S.I.I maupun P.N.I terkena dampak politik devide et impera pemerintah kolonial Belanda.” Terbelahlah umat Islam dan bangsa Indonesia ketika dan harus menunggu untuk mewujudkan kemerdekaannya.
Kelahiran PKI dalam tubuh Syarikat Islam yang kemudian membuat SI terbelah menjadi SI Merah dan SI Putih adalah bagian dari politik devide et impera pemerintah kolonial Belanda. Ini tentu menguntungkan Belanda. Pada gilirannya ajaran teologi ideologi Islam akan tergantikan dengan ideologi marxist yang mengajarkan ateisme. (Mansur, 2015: 511)
Dari sisi umum kebangsaan Indonesia, terlihat jelas bahwa contoh-contoh tadi menunjukkan konflik antar penduduk bangsa yang tak teredam bisa menimbulkan masalah besar bagi persatuan dan kesatuan sehingga susah untuk meraih cita-cita bersama. Yang lebih parah, konflik itu malah ditunggangi oleh yang sengaja menangguk keuntungan; sebagaimana Belanda.
Dari sisi internal umat Islam, konflik antar saudara akibat perbedaan haluan politik dan lain sebagainya, jelas juga sangat merugikan. Hal ini bisa dilihat dari contoh sejarah.
Singgih Nugroho –seperti yang dinukil oleh Arif Wibowo dalam buku “Berebut Indonesia” (2018: 158) menyebutkan bahwa pasca meletusnya G 30 S- PKI, yang kemudian diiringi tindakan kekerasan bahkan pembunuhan yang merupakan kolaborasi milisi Islam dan militer, membuat orang-orang PKI (yang pada umumnya adalah beragama Islam walaupun hanya KTP) pindah agama Kristen. Jumlahnya cukup fantastis, Averry T Willis menyebutkan ada sekitar 2 juta orang yang berkonversi agama dari Islam ke Kristen demi alasan keamanan.
Dari peristiwa sejarah tersebut hendaknya umat Islam secara khusus, dan secara umum bangsa Indonesia berhati-hati. Kita tentu tidak mau konflik yang ada di antara internal umat dan anak bangsa dibiarkan begitu saja sehingga akan ditunggangi oleh pihak ketiga.*/Mahmud Budi Setiawan