Hidayatullah.com | “Wahai anakku,” pesan Luqman kepada putranya sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an Surat Luqman [31] ayat 13. “Janganlah engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
Zalim, menurut para ulama, adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Lawan dari zalim adalah adil.
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin membuat defisi lebih detil soal zalim. Menurut beliau, zalim adalah “bersikap kurang”, sebagaimana ungkapan dalam al-Qur’an surat Al Kahfi ayat33, “Kedua kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tidak kurang (lam tazhlim) buahnya sedikit pun.”
Bersikap kurang, menurut Syekh al-Utsaimin, ada banyak maknanya. Bisa berarti melakukan hal yang tidak diperbolehkan, atau melalaikan apa yang diwajibkan kepadanya.
Namun, inti dari kezaliman itu berpusat pada dua hal, yakni meninggalkan kewajiban, atau melakukan yang haram.
Allah Ta’ala jelas melarang perbuatan zalim. Di dalam al-Qur’an surat Hud [11] ayat 18, Allah Ta’ala berfirman, “… Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang zalim.”
Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Jauhilah kezaliman kaarena kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat,” (Riwayat Muslim).
Namun, di antara banyak perbuatan zalim tersebut, yang terbesar adalah syirik, atau beribadah kepada selain Allah Ta’ala. Ini disebutkan oleh Rasulullah ﷺ saat ditanya sahabat, “Dosa apa yang paling besar?“ Rasulullah ﷺ menjawab, “Engkau menjadikan sesuatu sebagai sekutu Allah, padahal Allah yang menciptakanmu,” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Mengapa perbuatan syirik –atau pelakunya disebut musyrik– disebut sebagai perbuatan zalim paling tinggi? Mengapa bukan penipu, pembunuh, pezina, atau penguasa yang diktator dan kejam? Bukankah banyak orang musyrik yang berjiwa sosial, tidak pernah menipu orang lain, bertutur lemah lembut? Mengapa mereka harus distempel pelaku zalim paling berat?
Ini dijelaskan oleh As Sa’di ketika menafsirkan surat Lukman [31] ayat 13 yang telah disebutkan di atas. Menurut As Sa’di, tidak ada yang lebih buruk dari orang yang menyetarakan mahluk dengan Sang Pemilik semua mahluk, atau menyetarakan mahluk yang tak memiliki apa pun dengan Dzat yang memiliki semuanya, menyetarakan mahluk yang serba kurang dengan Rabb yang sempurna dan Maha Kaya, menyetarakan mahluk yang tidak bisa memberikan satu nikmat pun dengan Dzat yang memberikan semua nikmat, baik agamanya, dunianya, maupun akhiratnya. Padahal hati dan raga orang tersebut berasal dari Allah Ta’ala, dan tidaklah keburukan tercegah darinya kecuali karena Allah Ta’ala.
“Maka adakah kezaliman yang lebih besar dari itu?” tulis As Sa’di dalam Taisir Karimmirrahman.
Jadi, janganlah kita tertipu dengan pelaku kezaliman jenis ini, terutama saat memilih sahabat atau memilih pemimpin. Mereka, di mata Allah Ta’ala, amat jahat. Kejahatannya melebihi kejahatan-kejahatan lain.
Namun, bukan berarti kita boleh berlaku zalim kepada mereka yang berlaku zalim kepada Allah Ta’ala. Kita dilarang oleh Allah Ta’ala untuk berlaku zalim kepada siapa saja, baik kepada sesama Muslim, atau kepada orang-orang kafir, bahkan kepada hewan dan tumbuhan, terlebih-lebih berlaku zalim kepada Sang Khaliq.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Andaikan perbuatan yang kalian lakukan terhadap binatang itu diampuni (oleh Allah), maka ketika itu (bakal) diampunilah banyak dosa,” (Riwayat Ahmad).
Jika berbuat zalim kepada binatang saja sudah tercatat sebagai dosa, apatah lagi kepada sesama manusia, dan terlebih kepada Sang Pencipta. Wallahu a’lam.*/ Mahladi Murni